Sabtu, 22 Juni 2019

Melangkah di Atas Badai Sampah


Selaku pemerhati sampah yang menyoroti kinerja pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam tata kelola sampah - waste manajemen - Indonesia yang tidak berjalan sesuai perundang-undangan persampahan yang berlaku. Harus terus berpacu melawan badai dan walau terasa seperti memanjat hujan.
Sebenarnya judul tulisan "Melangkah di Atas Badai Sampah" adalah rencana judul buku yang akan saya terbitkan. Materi buku akan diisi dari pilihan tulisan-tulisan saya tentang sampah di Kompasiana. Ada lebih kurang 200 judul tulisan, akan saya pilih untuk dijadikan satu buku.
Sejak menggeluti dunia persampahan sekira tahun 2005. Penulis memulai debut di persampahan dan masuk lebih jauh mengolah sampah organik menjadi pupuk organik padat dan cair serta biogas. Pada masa-masa ini sungguh mengasyikkan di dunia persampahan. Karena bisnis sampah dianggap aneh dan langka, serta dianggap sebagai orang gila berurusan dengan sampah.
Suka duka saling datang menghampiri. Tahun demi tahun berlalu, beberapa instalasi pengolahan sampah terbangun di beberapa kabupaten dan kota di Indonesia sampai ke luar negeri. Namun dalam perjuangan menembus batas permainan oleh oknum-oknum birokrasi sangatlah mengharu-biru antara kepentingan dan pengabdian. Harus terus berpacu melawan badai dan walau semua itu terasa seperti memanjat hujan.
Memilih bisnis sampah organik karena kesempatan bisnis ini kurang orang atau pengusaha yang tertarik. Mungkin karena baunya menyengat dan kurang mengetahui nilai ekonomi yang ada dalam sampah. Tapi entahlah!
Tapi justru hal tersebut menjadikan saya tertantang untuk terus maju dan maju dalam urusan sampah. Saya memulainya sejak awal tahun 2005 sampai tahun 2013 persaingan bisnis sampah belum semarak dan sekeras saat sekarang tahun 2019 yang sudah dikerumuni mafia baru dan mafia lama. Bagaikan sepotong roti yang dikerumuni semut... memang bangsa ini latah. Akibat kurang baca, Indonesia harus menggerakkan dunia literasi, baca dan tulis.
Selaku pemerhati sampah yang banyak menyoroti kinerja pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam masalah tata kelola sampah -  waste manajemen - Indonesia yang tidak berjalan sesuai perundang-undangan persampahan yang berlaku.
Selain tumbuh suburnya usaha baru dan LSM sampah serta lingkungan, juga sangat banyak pengusaha bidang lain yang beralih dan tertarik ke bisnis sampah. Tiba-tiba jadi ahli sampah, ahli waste manajemen, dll. Memang Indonesia aneh, jiwa entrepreneur perlu dibangun dengan cara mengembangan pola praktek magang intrapreneur. Agar tidak latah dalam berusaha.
Kerasnya bisnis sampah, basisnya bukan pada persaingan bisnisnya secara langsung. Tapi kerasnya karena berhadapan pada oknum penguasa yang memelintir regulasi, agar pengelolaan sampah tetap di monopoli oleh oknum-oknum penguasa dan pengusaha konco-konconya. Sungguh miris melihatnya.
Tahun demi tahun berlalu, pemerintah dan pemda bukan semakin profesional, tapi lebih ke arah konvensional dan misregulasi persampahan. UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Justru semakin jauh dari harapan amanat regulasi sampah dan indikasi membumi hanguskan regulasi. 
Oknum birokrasi terpancing ikut berbisnis sampah. Termasuk memanfaatkan dana-dana instan program dadakan atas nama menyelamatkan bumi.
Pada masa berbisnis sampah organik tersebut, saya terus menelaah regulasi persampahan yang ada. Jadi saya tidaklah sebatas hanya berbisnis dalam sampah.
Lebih banyak waktu saya gunakan untuk menjadi narasumber pengelolaan dan pengolahan sampah di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan sampai di undang ke negara tetangga.
Sebenarnya SDM dan teknologi anak bangsa itu hebat-hebat lho, saya rasakan sampai di undang ke Malaysia, Singapore dan Korea Selatan. Hanya karena mereka ingin mengetahui bagaimana olahvsampah organik, bagaimana strategi regulasi sampah Indonesia dengan kaitan koperasi persampahan.

Mendirikan Lembaga Non Formal
Berbekal pengalaman bisnis pengolahan sampah dan fakta lapangan bahwa regulasi sampah tidak dijalankan dengan semestinya. "Terpaksa" demi atas nama profesionalisme - independen - berhenti berbisnis "olah" sampah secara langsung, demi menghindari komplik kepentingan bisnis (pribadi atau kelompok) dengan kepentingan rakyat atau kepentingan umum dalam menjalankan fungsi control sosial.
Selanjutnya mendirikan lembaga swadaya non formal Green Indonesia Foundation (GIF) yang berdomisili di Jakarta. GIF hanya konsentrasi mengawal regulasi sampah, lingkungan dan pengembangan pertanian organik yang diaplikasi secara compang-camping oleh oknum pemerintah dan pemda. Juga mengawal bank sampah yang tidak berjalan pada rel sesungguhnya.
Fakta dengan dihapuskannya Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah pada tahun 2016 setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program Kantong Plastik Berbayar (KPB). Padahal permen ini sangatlah penting sebagai pedoman utama di daerah dalam pengelolaan dan pengolahan sampah.
Pengelolaan sampah di hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, menunjukkan perjalanan kearah yang lebih keliru dan menjauhi perundang-undangan yang berlaku. Menurut temuan saya di lapangan, bahwa ada kepentingan bisnis yang saling tarik-ulur ditengah badai plastik KPB. Termasuk oknum di pemda sepertinya memanfaatkan issu plastik untuk melanggengkan "kekeliruan" pengelolaan sampah di daerah. 
Seperti diduga banyak terjadi penyalahgunaan dana-dana sampah, mulai dari tipping fee, retribusi sampah, pengadaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah, permainan dana konpensasi warga terdampak TPA dan lainnya.
Misteri Kantong Plastik Berbayar
Puncak masalah atau awal dari Issu Plastik di Indonesia setelah muncul kebijakan KPB. Kebetulan saya yang kritisi dengan keras, karena kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK cq: Dirjen PSLB3 KLHK melalui beberapa kali terbit Surat Edaran. Kekeh serta keras hati tidak mau berubah. Saya menduga keras terjadi gratifikasi (korupsi) dalam pengelolaan dana KPB sejak 2016 sampai sekarang.
Sebenarnya "kekeliruan" kebijakan KPB tersebut tidak perlu terjadi bila KLHK cq: Ditjen PSLB3 mau mendengar saran dan solusi yang saya berikan sejak bulan November 2015 sebelum kebijakan KPB tersebut terlaksana.
Tanpa bosan mengingatkan KLHK dengan berturut-turut dari tahun ke tahun sampai pada tahun 2019 sekarang. Tapi partner KLHK yaitu Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam menerbitkan SE tersebut juga semakin melangkah dengan tidak tahu diri bahwa kebijakan tersebut berpotensi bermasalah.
Bahwa apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya dan diprediksi akan memakan korban. Dimana Indonesia adalah negara hukum, ada aturan yang mengikat dalam menjalani kehidupan bernegara. Termasuk kehidupan bisnis, industri dan perdagangan. Negara tidak boleh diatur seenaknya oleh penguasa dan pengusaha demi kepentingannya. Harus mempertimbangkan secara cermat kepentingan masyarakat umum.
Lebih parahnya para pelaku, tidak sadar melakukan "kerja politik" tapi mengatakan tidak mau berpolitik. Padahal bisnis atau kerja asosiasi juga merupakan kerja politik. Benar-benar bangsa ini minus literasi. Mau kemana arah Indonesia, bila pembiaran ini terus dipelihara ?

Bangun Infrastruktur Sampah
Terus saya memberi masukan agar jangan keluarkan kebijakan KPB sebelum infrastruktur persampahan (Baca: Bank Sampah) terbangun massif di seluruh Indonesia. Karena kunci keberhasilan pengelolaan sampah terletak pada kemandirian bank sampah versi regulasi dalam menjalankan misinya sebagai wakil pemerintah terdepan dalam merubah paradigma kelola sampah di masyarakat.
Tapi PSLB3 KLHK berpendapat lain. Tetap menjalankan kebijakan KPB dengan arogan melepaskan APRINDO melalui anggotanya - peritel - untuk memetik uang rakyat (Baca: konsumen) melalui penjualan kantong plastik dan uang KPB sampai saat ini entah kemana. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung mencapai triliunan rupiah tersebut.
Sejak diberlakukan KPB, tidak henti-hentinya kami memprotes, mengoreksi dan memberi warning kepada stakeholder. Namun koreksi kami tetap selalu berusaha pada kondisi obyektif dan termasuk memberikan solusi. Sampai APRINDO memberhentikan sejak bulan oktober 2016, walau masih ada ritel modern yang memetik uang konsumen sampai sekarang.
Tapi anehnya APRINDO kembali menjual kantong plastik sejak tanggal 1 Maret 2018. Penulis menganggap APRINDO dan KLHK terlalu berani menembus batas dengan mengganti nama program KPB dengan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Hal KPB dan KPTG substansi dan maknanya sama saja "menjual". Hanya plintir literasi karena maknanya sama saja dengan KPB.
Solusi Sampah Plastik
Suatu ketika di ahir tahun 2016, saya diundang oleh Direktur Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK untuk membicarakan solusi sampah plastik versi KPB. Tapi lagi-lagi setelah saya memberikan solusi KPB pada Ditjen PSLB3 KLHK. Tidak ada langkah stratejik untuk berubah dan stag sampai sekarang.
Namun sepertinya Direktorat Jenderal PSLB3 KLHK hanya bersandiwara saja karena solusi yang diberikan itu diabaikan. Maka kami menduga bahwa dana KPB akan dibiarkan menjadi bancakan korupsi alias menjadi permainan gratifikasi oleh oknum-oknum tertentu.
Memang PSLB3 KLHK sepertinya tidak punya niat untuk menyelesaikan misteri KPB yang kronis itu. Tetap membiarkan bermasalah. Sepertinya ada kegamangan untuk menjalankan solusi yang telah diberikan. Padahal solusi tersebut sangatlah komprehensif dan holistik.
Malah lebih dahsyatnya muncul issu plastik, dengan memanfaatkan riset Jenna Jambeck (Amerika Serikat) sekitar tahun 2015 yang menempatkan Indonesia sebagai penghasil nomor dua plastik di dunia sebagai penyumbang sampah plastik ke laut setelah Cina. Issu tersebut bergulir sampai sekarang. Penumpang gelapnya semakin banyak dan saling memanfaatkan.
Maka dengan issu plastik, dijadikanlah plastik sebagai momok menakutkan. Sungguh jahat pengalihan issu plastik ini. Sampai Presiden Joko Widodo turun tangan untuk membenahi sampah, dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan strategis namun dinilai semu. Kebijakan Presiden Jokowi juga lumpuh tanpa ada hasil.
Kalau kebijakan perundangan tentang sampah mau dirubah atau tambah kurang alias revisi. Sangat susah rasanya para elit-elit KLHK itu berbuat. Karena motifnya sudah keluar dari rel. Bukan pada niat memperbaiki tapi diduga hanya punya niat membumikan KPB dan menghancurkan industri daur ulang plastik dengan berbagai cara.
Hehehe enak saja Bro and Sis. Janganlah semakin aneh karena banyak yang ingin membela pelaku-pelaku KPB dan sepertinya ingin menjadi pahlawan disiang bolong. Banyak komponen yang mendompleng pada issu plastik. Pemda tingkat 1 dan 2 ikut ramai menerbitkan pelarangan kantong plastik dan lainnya.
Jadi untuk membackup masalah KPB dengan menerbitkan kebijakan baru itu terbaca alibinya. Hanya untuk menutup dugaan kasus KPB. Semakin yakin diduga bahwa dana-dana KPB sudah masuk ke ranah korupsi - gratifikasi - pada oknum-oknum tertentu yang menjadi aktor kebijakan tersebut.

Varian Solusi Semu Pemerintah
Beberapa varian solusi kebijakan yang diwacanakan dan ditempuh oleh pemerintah sejak tahun 2016 antara lain; PPn DUP, Cukai Plastik, Aspal Mix Plastik. Semua gagal total karena memang motifnya hanya menutup misteri KPB.
Proyek Aspal Mix Plastik yang sepertinya sudah #diduga menjadi bancakan korupsi di Kementerian PUPR. Sampai pada munculnya SNI plastik yang juga diduga abal-abal, Dana Insentif Daerah (DID) dengan melibatkan Kementerian Keuangan untuk memberi insentif kepada daerah yang melaksanakan pelarangan kantong plastik. Semua varian solusi tumpul karena motivnya kepada pemberian dukungan atau pemanfaatan sebagai peluang proyek atas kegagalan KPB.
Termasuk terbitnya Perpres 18 Tahun 2016 Tentang PLTSa tahap I, Perpres 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah, Perpres 35 Tahun 2018 Tentang PLTSa tahap II (perpres reinkarnasi), Perpres 83 Tahun 2018 tentang Sampah Laut, semua perpres ini tumpul (coba baca saja batang tubuh semua perpres tsb). Belum lagi atas kekeliruan dan kealpaan memasukkan Menteri Pertanian dan Menteri ESDM. Jelas ini semua terjadi karena "stres" dalam penyusunannya. Karena lagi-lagi tentu akan menutupi Misteri KPB yang semakin terdesak dan mati akal.
Paling mencengankan terjadinya skenario pencabutan tanpa dasar kuat atas Permendagri 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah oleh Menteri Dalam Negeri pada tqhun 2016. lalu muncul rencana revisi Permen LH 13 Tahun 2012 (sudah dibahas sejak 2016 sampai sekarang). 
Bagi yang bisa baca dan analisa substansi regulasi sampah, pasti bisa analisa motifnya semua bahwa hanya untuk menutup pundi-pundi dana KPB dan melemahkan pengelolaan sampah. Entah siapa yang menikmati dana-dana KPB yang menjadi siluman sampai sekarang.
Tapi aktor dan aktris isu plastik berhasil mengalihkan perhatian para pengurus asosiasi, lembaga swadaya atau stakeholder lainnya. Sampai mengalihkan masalah dan wacana ke substansi "ramah lingkungan" yang melahirkan kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP) khusus pada kantong plastik, sedotan plastik dan PS-Foam atau Styrofoam.
Koreksi Menjadikan Dimusuhi
Agar jangan terpancing issu plastik. Maka dimana saja menjadi narasumber. Baik yang diadakan oleh lintas menteri, pemda, asosiasi dll. Senantiasa selalu mengingatkan bahwa issu plastik ini hanya menjadi penutup misteri KPB. 
Tapi stakeholder persampahan sepertinya tidak percaya analisa itu. Rendah benar analisa dan pikiran kita tersebut, sampai tidak bisa membaca alibi-alibi yang muncul atau memang sengaja ?
Padahal masalah plastik yang dijadikan momok tersebut solusinya hanya satu yaitu selesaikan masalah KPB. Solusinya sesuai Standar Operasional Prosedure (SOP) yang telah saya berikan pada awal tahun 2017. Karena sesungguhnya hanya menyelesaikan misteri KPB, maka terjadi solusi yang sesungguhnya dan akan menyelesaikan masalah sampah plastik dan sampah secara umum di Indonesia.
Akibat sikap kritis dan vokal, maka penulis sepertinya tidak punya tempat di pemerintah dan pemda. Malah KLHK membentuk Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional, dengan merekrut hampir semua asosiasi, lintas menteri, lsm dll. Diduga keras hanya untuk menahan laju koreksi dari KPB. Faktanya dewan pengarah tersebut juga lumpuh ditelan issu plastik. Harusnya dibubarkan oleh Menteri LHK.
Sungguh tidak mengerti alam pikiran oknum lintas kementerian yang seakan dijadikan musuh besar. Solusi yang diberikan secara resmi tertulis dan terjilid rapi tentang KPB dan solusi darurat sampah Indonesia, semua diabaikan tanpa alasan yang kuat. 
Tapi parahnya, PSLB3 KLHK dan lintas menteri yang seakan mendukung KLHK juga sama sekali tidak memiliki solusi stratejik untuk menyelesaikan masalah sampah. Hanya membuat dan menciptakan solusi tanpa follow up, hanya menjadi wacana saja sekaligus pencitraan.
Paling lucu dan memuakkan tindakan KLHK yang mengendorse dan mendukung pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menerbitkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik. sebenarnya ini merupakan solusi bunuh diri.
Sampai ahirnya Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) bersama beberapa perusahaan memohon ke Mahkamah Agung (MA) untuk diadakan uji materi terhadap Peraturan Gubernur Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Sulit rasanya penulis menerima secara logika akan kebencian yang dimunculkan oleh oknum-oknum pemerintah bila berdasar pada pemikiran profesional untuk menyelesaikan masalah sampah plastik dan sampah lainnya. Kecuali karena mungkin merasa kamilah menjadi penghalang rencana mereka.
Terkecuali nalar bisa menerimanya bila memang benar-benar terjadi kemufakatan jahat atas dana KPB yang ingin dilenyapkan untuk selanjutnya dinikmati oleh kelompok tertentu di republik ini.
Pertanyaannya kenapa dan dimana sekarang peran lembaga perlindungan konsumen tidak turun arena untuk membela konsumen. Malah diduga terjadi dukungan terhadap kebijakan KLHK menyuruh APRINDO menjual kantong plastik melalui beberapa kali surat edaran Dirjen PSLB3 KLHK. Serta dilain sisi melarang penggunaan kantong plastik.
Sangat sependapat para elit bila memberi cap pada kami sebagai orang yang vokal. Tapi tidak menerima bila dijustifikasi sebagai orang yang suka menyalahkan kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Meluruskan ya ? Termasuk meluruskan arah eksistensi bank sampah yang keliru besar. Tanpa disadari oleh semua pihak.
Paling mengherankan KLHK ingin merevisi Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah. Maksud dari revisi yang terbaca dalam draf revisi, akan memberi ruang pendirian Bank Sampah Induk (BSI). 
Benar-benar konyol rencana ini, karena BSI sangat kental menjadi alat monopoli bisnis oknum penguasa dan pengusaha. BSI ini sangat jelas keliru dan bertentangan dengan regulasi yang mengamanatkan bank sampah dalam menjalankan fungsi ekonomi melalui wadah koperasi. BSI bukan lembaga bisnis dan tidak bankcable.
Terlebih menyalahkan kebijakan yang benar. Itu sama sekali tidak penulis lakukan. Kecuali menyalahkan yang salah karena memang salah. KLHK melakukan kebijakan sepihak yang bertentangan perundangan persampahan nasional. Sengaja selalu mencari celah demi menutup kebijakan KPB yang memang senyatanya bermasalah.
Kalau memang pemerintah pusat menganggap kebijakannya benar dan stratejik, kenapa tidak abaikan saja koreksi dan tegaslah lakukan saja kebijakannya yang dianggap benar itu. Undangkan saja, jangan ragu, tapi semua itu tidak dilakukan oleh pemerintah dan sepertinya ragu mendapat sorotan. Ada apa ?
Berarti memang salah kan ? Termasuk Aprindo, kalau merasa benar. Tegas saja menjual kantong plastik. Jangan ragu, suruh semua anggotanya menjual kantong plastik itu. Memang aneh, satu sisi melarang kantong plastik dan dilain sisi malah menjual kantong plastik. Mana nuranimu Anda ?
Apa lagi saya ini tidak punya kekuatan, hanya sebagai rakyat biasa yang tidak punya daya, kecuali ingin konsisten dan berkata benar. Hanya ingin mengoreksi yang salah dan memberi solusinya, agar rakyat Indonesia tidak dibohongi atau dibodohi oleh oknum-oknum penguasa dan pengusaha yang dzalim, atau yang ingin mempermaikan dana-dana sampah yang besar.

Menerbitkan Buku Bank Sampah
Begitu seriusnya, sampai saya menulis dan menerbitkan buku "Bank Sampah, Masalah dan Sosial" yang di launching oleh Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada bulan Pebruari 2019.
Selanjutnya buku tersebut sudah beberapa perguruan tinggi di Indonesia ikut membedah. Dimana saya sering mengatakan bahwa progres bank sampah di Indonesia, sangat keliru dan tidak pula mengikuti arah regulasi. Bank sampah versi regulasi cukup berkantor di Kantor Desa atau Kelurahan. Bisnis bank sampah dikelola oleh Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS), PKBS ini didirikan secara mutual oleh bank sampah dalam satu wilayah kabupaten dan kota.
Sebagai rakyat Indonesia yang sedikit memahami masalah dan solusi persampahan Indonesia berpesan kepada stakeholder yang memplesetkan regulasi sampah. Ya sudahlah, ngaku sajalah atas kesalahan oknum elit pejabat pemerintahan atau kementerian di Kabinet Kerja Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Karena semua sudah terperangkap alias menyandera diri sendiri atas ulahnya ingin memonopoli pengelolaan sampah Indonesia dengan menyalahkan plastik untuk alasan penyelamatan bumi. Fakta oknum-oknum sudah menyandera dirinya dan tidak bisa lagi bicara secara normal, emosi yang membabi buta. Tanpa sadar sering berkata dan berucap tanpa kebenaran.
Dari pada nanti dipaksa oleh hukum. Saat ini sudah semakin terbuka "keberanian" akan permainan kotor itu. Maka logikanya, pihak berwenang akan semakin meneropong dan sudah mendekat disekitar Anda semuanya. Banyak program-program lintas menteri hal solusi sampah plastik, tapi hanya dibungkus pencitraan saja.
Sangat diyakini bahwa oknum penguasa dan pengusaha berada pada kondisi terjadi buah simalakama. Segeralah sadar untuk kembali ke jalan yang benar. Karena semakin bertahan, maka akan lebih menyulitkan gerak langkahnya.
Penulis berusaha selalu berpegang teguh pada prinsip dan ketegasan sikap dalam mengkritik. Berusaha pula setiap koreksi disertai solusi. Belum ada koreksi ke stakeholder sampah yang diberikan tanpa solusi. Namun semua solusi bijak berbasis regulasi nampak diabaikan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Padahal setiap koreksi berusaha selalu terbaik dan sempurna serta menjaga jangan sampai terpeleset dilembah kesalahan. Kondisi ini harus terjaga agar tetap vokal dalam kritis dan tidak asal bunyi (asbun) saja. Itu kami lakukan sebagai pemerhati dan pengawal regulasi persampahan Indonesia.
Makassar, 17 Juni 2019

KAN Sosialisasikan Skema Sertifikasi Produk dan Mekanisme Penggunaan Tanda Kesesuaian Berbasis SNI

Dalam rangka meningkatkan kualitas sistem sertifikasi produk melalui penerapan skema sertifikasi yang tepat, serta mendukung peraturan dari kementerian teknis yang mewajibkan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam meningkatkan perekonomian nasional dan melindungi masyarakat, Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyelenggarakan Sosialisasi Skema Sertifikasi Produk dan Mekanisme Penggunaan Tanda Kesesuaian Berbasis SNI di Jakarta pada Selasa (24/02/2015). Acara menghadirkan dua narasumber yakni Sekjen KAN, Suprapto, dan Manager Akreditasi Produk, Pelatihan dan Personel KAN, Donny Purnomo.