Selasa, 20 Maret 2018

"Masalah Sampah" Bukan Kelemahan Regulasi Tapi Kelalaian Birokrasi

Asrul Menyapu Koruptor Sampah
Makassar - Perundang-undangan sampah di Indonesia sudah sangat transparan, tepat dan up to date. Justru yang bermasalah dan lalai adalah birokrasi pelaksananya saja. Presiden Joko Widodo, tidak perlu risaukan dan perbaiki regulasi sampah, hanya diperlukan revolusi mental pelaksana yang mis-regulasi dan diduga "sangat" koruptif, itu yang perlu di restorasi. 

Penulis menduga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ibu Dr. Siti Nurbaya Bakar mendapat informasi AIS (Asal Ibu Senang) dari oknum bawahannya dan pengusaha serta pemerhati yang ikut kongkalikong dengan oknum birokrasi. Ahirnya secara tidak langsung oknum-oknum di pemerintah daerah (pemda) kabupaten dan kota di Indonesia ikut menikmati kelemahan pemerintah pusat ini. 

Penulis yakini itu, karena beberapa kebijakan pemerintah, penulis sempat kritis dan beri sumbang-saran secara tertulis dan langsung kepada KLHK khususnya pada Ditjen PSLB3 yang membidangi persampahan, antara lain kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) sejak  tahun 2016 sampai sekarang belum tuntas masalahnya, Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan PLTSa, Pelaksanaan Adipura masih diduga hanya seremoni dan terjadi pembohongan publik dan tidak memberi efek positif pada pelaksanaannya, dll. Karena penulis menduga semua ini terjadi mis regulasi dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Makanya itu penulis sangat paham, bahwa bukan regulasi yang bermasalah, tapi oknum-oknum di kementerian dan pemda yang bermasalah.

Berdasar kondisi laporan yang tidak valid tersebut, maka sampai juga tentunya kepada pemahaman Presiden Joko Widodo bahwa regulasi yang mengganggu pengelolaan sampah di Indonesia. Alibi dari informasi ini adalah terbitnya Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar.

Padahal walau tanpa perpres ini, bisa saja terjadi pembangunan infrastruktur persampahan dengan berdasar regulasi yang ada terdahulu. Namun Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa inipun telah digugat oleh Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah (penulis termasuk salah seorang penggugat didalamnya) ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016 dan selanjutnya MA mencabut perpres listrik sampah tersebut.

Sampai sekarangpun KLHK yang dikuatkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan Kemenko Bidang Ekonomi, Kementerian ESDM tetap selalu berusaha memunculkan dan/atau berkeinginan menerbitkan kembali perpres listrik sampah dengan segala upayanya, seakan dipaksa-paksakan (begitu kami baca disetiap presentase kementerian tentang PLTSa ini). termasuk di Kementerian PUPera ahir-ahir ini, memunculkan wacana solusi sampah plastik mix aspal, juga pada Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM ikut kebingungan mengatasi sampah yang bisa berimbas negatif pada pertumbuhan industri dan UKM itu sendiri. Sungguh kasian dan muak melihat tingkah-polah oknum birokrasi seperti ini, mencari dan menemukan sebuah solusi yang berpotensi merusak, koruptif dan tidak berdaya guna dalam kebijakannya, hanya pemborosan anggaran atau uang rakyat semata.

Semoga Presiden Jokowi tidak menyetujui lagi kebijakan-kebijakan yang sifatnya seremoni dan mis regulasi serta berpotensi korupsi itu. Karena pelanggaran atas UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah ini berpotensi digugat secara pidana, bukan hanya menggugat pencabutan atau pengguguran di Mahkamah Agung. Ingat bahwa Pasal 13 UU. 18 Tahun 2008 itu menggunakan klausul "wajib". Sangat memungkinkan penggunaan upaya pidana bagi pelanggaran undang-undang persampahan kepada pemerintah itu sendiri ?!.

Regulasi Sampah Sangat Komprehensif

Perlu penulis jelaskan bahwa regulasi sampah sudah sangat komprehensif. Perundangan utama persampahan adalah UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. sesungguhnya undang-undang ini sudah mempunyai turunan untuk pelaksanaannya di daerah, hanya perlu dikuatkan dengan peraturan daerah (perda) yang mengacu pada regulasi sampah nasional (umumnya pemda kab/kota di Indonesia belum merevisi perdanya yang mengacu pada regulasi sampah), antara lain turunannya :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. 
  2. Permendagri Nomor 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (namun permendagri ini sudah dicabut oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada bulan Juni 2016), Pencabutan ini sangat keliru karena tanpa alasan yang jelas oleh kemendagri. Permendagri ini sangat dibutuhkan untuk pedoman pemda dalam mengelola sampah. juga menjadi kekuatan pemda untuk bergerak dalam mengawal UU.18 Tahun 2008 tsb. Maka sepantasnya permendagri ini dihidupkan kembali (sebagai catatan dan usulan).
  3. PerMen Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah (permen ini juga seperti dilacikan oleh birokrasi)
  4. Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (permen ini hampir tidak dilirik dan diaplikasi oleh KLHK dan PUPera sendiri secara serius).
  5. Regulasi penunjang lainnya misalnya tentang limbah Berbau, Berbahaya dan Beracun (B3) Industri, Limbah medis dll. semua sudah ada dan lengkap, hanya perlu disinergikan antar turunan regulasi tersebut. Nah bila pengelolaan sampah B3 dan Medis atau rumah sakit ini dijalankan, tanpa mengikuti arah regulasi induk. Maka jelas sebuah pelanggaran pidana.
Makanya, penulis dalam kapasitas sebagai pemerhati sampah di Indonesia, selalu sampaikan di setiap pertemuan dengan pemerintah (kementerian terkait) dan pemda termasuk di banyak tulisan atau opini, media cetak mainstream lainnya dan media elektronik, bahwa regulasi sampah sudah cukup bagus dan komprehensif. Cuma regulasi ini tidak dijalankan dengan benar dan fokus oleh oknum birokrasi pemerintah dan pemda yang didukung oleh pengusaha dan pemerhati sampah yang ABS, khususnya Pasal 13 UU. 18 Tahun 2008.tersebut.

Pasal 13 ini sepertinya dilacikan oleh oknum nakal alias koruptif, karena menjadi "pencegah" perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara masif. Karena out put Pasal 13 ini adalah setiap pengelola atau penguasa kawasan wajib memilah dan/atau mengelola sampahnya dengan melibatkan masyarakat sekitarnya. Bila ini dilaksanakan, jelas terjadi minimalisasi sampah ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA), bahkan akan terjadi minimasi sampah ke Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS).

Kenapa dan Ada Apa Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 terkesan di"musuh"i oknum birokrasi dan mitranya ? Karena bila Pasal 13 ini dijalankan, maka:

PERTAMA; Pengelolaan sampah tidak sepenuhnya dikuasai oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, tapi akan diserahkan sebagian pekerjaan itu di masing-masing kawasan (sesuai bunyi pasal tersebut), atau kepada kelompok pengelola sampah atau pengelola Bank Sampah, tentu dengan koordinasi Camat, Lurah/Desa. SKPD terkait lebih berfungsi atau memiliki tugas pada fasilitasi, monitoring dan evaluasi yang tidak lagi menjadi eksekutor utama. Tantangannya; karena otomatis fulusnya kurang ditingkat SKPD dan/atau Bupati atau Walikota untuk dikuasai. Terjadi penyerahan sebagian besar urusan persampahan kepada pemerintah terdepan (Camat/Desa/Kelurahan), Silakan baca semua regulasi yang telah penulis sebut diatas.

KEDUA; Secara bertahap, sampah sangat minim diangkut ke TPA, karena dikelola dikawasan, dengan prinsip sampah hari itu diselesaikan hari itu juga. Artinya angkutan sampah ke TPA ini, banyak dana terserap dan potensi dipermainkan dalam angkutan sampah, termasuk pengadaan mobil atau sarana angkutan sampah lainnya, semua ini tidak diinginkan oleh oknum SKPD terkait yang nakal tersebut.

KETIGA; Dana pengelolaan sampah di TPA akan berkurang (berarti minim peluang permainan di TPA). Bila operasionalisasi sampah terpusat di TPA, sangat banyak dana bisa menguap dan memang sangat mudah dipermainkan, yaitu mulai dari tiping fee, pengadaan alat berat, permainan volume sampah yang masuk yang diangkut dan tidak diangkut ke TPA (permainan angkutan) sampai kepada permainan Dana Kompensasi Warga Terdampak TPA. Dana-dana semua ini sangat rentan dipermainkan oleh oknum-oknum terkait dalam pengelolaan sampah.

Masih banyak indikasi lain (pengadaan prasarana dan sarana persampahan dll) atas ketidaksetujuan birokrasi elit bila Pasal 13 ini dijalankan dengan jujur dan bertanggungjawab. Peluang atau kesempatan untuk kongkalikong antara penguasa dan pengusaha akan hilang, karena terjadi pencegahan korupsi oleh pelaksanaan Pasal 13 UU 18 Tahun 2008 tersebut.

Padahal, bila Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 dilaksanakan dengan benar berarti akan terjadi progres "Paradigma Baru Kelola Sampah" atau "Stop Sampah ke TPA" atau terjadi optimalisasi fungsi TPS. Secara otomatis akan terbuka lapangan kerja baru dan sumber ekonomi baru masyarakat dan termasuk sumber PAD baru bagi daerah yang bersangkutan. Begitu hebatnya regulasi sampah bila di jalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Beginilah seharusnya amanat regulasi persampahan yang ada itu. Sungguh hebat regulasi sampah ini yang merupakan produk pemerintahan SBY-JK pada tahun 2008. Regulasi yang baru pertama kali terbit sejak Indonesia Merdeka.

Sesungguhnya apa yang Presiden Joko Widodo harapkan agar pengolahan sampah ini dapat menjadi sebuah program yang sangat penting dan pengelolaannya bisa dilakukan terpadu, sistemik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. Itu tidaklah susah bila stakeholde persampahan Indonesia (pusat dan daerah) kembali sadar menjalankan perundang-undangan yang ada. "Yang paling penting, pengolahan sampah memberikan manfaat baik secara ekonomi dan tentu saja sehat lingkungan bagi masyarakat, dapat mengubah perilaku masyarakat," tegas Presiden Jokowi. Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi ini, adalah amanat regulasi itu sendiri.

Pertanyaannya, dimana letak "Permasalahan dan Kekurangan Regulasi Sampah" ini, yang dipersoalkan ? Kenapa setiap kebijakan KLHK mendapat resistensi, khususnya dari penulis sendiri yang sangat vokal menentang kebijakan-kebijakan tersebut, ya karena melabrak regulasi sampah yang pro-rakyat, pro-pengusaha, pro-industri serta pro-investasi. Regulasi sampah tidak Pro-Koruptor. Itulah napas dan kehendak regulasi sampah yang ada sejak tahun 2008.

*) H. Asrul Hoesein adalah Pemerhati Sampah dan Kebijakan Publik.

1 komentar:

  1. KABAR BAIK

    Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Zara, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 400 juta rupiah (Rp400.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Zaradam@yahoo.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

Mari Gabung Diskusi serta Mohon komentar dengan sopan, jangan SPAM atau SARA. Komentar SPAM atau SARA akan dihapus..Blog ini Bersifat Dofollow, Anda komentar dapat Backlink Otomatis untuk Meningkatkan PR Blog Anda...Terima kasih atas Kunjungan,Salam Sukses....!!!