Jumat, 13 Januari 2017

Presiden Jokowi Segera Moratorium Adipura


Ilustrasi Moratorium Piala Adipura [dok_Asrul]
Program Adipura ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak 1986 kemudian terhenti pada tahun 1998. Pada tahun 2002 Program Adipura ini kembali dicanangkan oleh pemerintah dan berlangsung sampai sekarang. Meraih Piala Adipura sudah menjadi semacam harapan sekaligus kewajiban setiap bupati dan walikota, dan kesan keberhasilan seorang kepala pemerintahan di nilai apakah kepala daerah tersebut dapat memboyong piala yang bergengsi tersebut dari Istana Presiden menuju kantor pemerintahan setempat. Paradigma ini pula harus dirubah oleh pemerintah kabupaten dan kota, jangan hanya fokus untuk mendapatkan hadiahnya, tapi melupakan substansi dan makna diadakannya penilaian ini, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, artinya ada pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable). 


Sementara fakta yang terjadi, setelah usai penilaian, berahir pula aktifitas. Semua daerah di Indonesia bernafsu untuk mendapat penghargaan kota terbersih dengan Piala Adipura. Sebagian ada yang benar-benar layak mendapatkannya. Namun sebagian besar lagi menggunakan cara-cara yang tidak pantas dan diduga terjadi permainan dengan Tim Penilai Pusat dan Pemda. Suap, adalah praktik ilegal pertama yang ditemukan dalam penilaian Adipura. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2011 menemukan adanya aliran dana tak wajar dari Pemkot Bekasi yang dipimpin oleh Mochtar Muhammad ke panitia Adipura. Sekedar mengingatkan saat disidang, Mochtar didakwa dengan empat perkara sekaligus. Yakni, suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, serta suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penyalahgunaan anggaran makan-minum. Total kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 5,5 miliar.

Rebranding Adipura Sekedar Formalitas

Wakil Presiden, Jusuf Kalla pada saat penyerahan penghargaan Adipura di Siak pada 22 Juli 2016, yang menyampaikan agar adanya aturan dan kriteria yang lebih ketat dalam pelaksanaan program Adipura ke depan. Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2016, mereformulasi penghargaan Adipura dengan strategi Rebranding Adipura. Salah satu proses penilaian yang harus dilalui oleh para bupati/walikota nominator penerima Adipura adalah presentasi dan wawancara di depan Dewan Pertimbangan Adipura, praktisi pengelolaan sampah dan bidang pemasaran, pejabat KLHK, akademisi perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta rekan-rekan media massa. Rebranding yang dimaksud KLHK ini pula tidak punya arti apa-apa dalam penilaian, semua sebatas seremoni belaka. Tetap bertolak belakang dengan fakta lapangan.

Rebranding Strategy Adipura. Sebagai dasar hukum pelaksanaan program Adipura disusun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.53/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura. Dalam Permen LHK ini, program Adipura diharapkan mampu mendorong penyelesaian berbagai isu lingkungan hidup yaitu Pengelolaan Sampah dan Ruang Terbuka Hijau, Pemanfaatan Ekonomi dari Pengelolaan Sampah dan RTH, Pengendalian Pencemaran Air, Pengendalian Pencemaran Udara, Pengendalian Dampak Perubahan Iklim, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik.

Melalui rebranding Adipura, tentu KLHK berupaya untuk melakukan sistematika ulang Penghargaan Adipura agar mudah dipahami oleh masyarakat. Terlebih isu lingkungan semakin kompleks sehingga harus diiringi dengan peningkatan tata pemerintahan yang berorientasi pada lingkungan. Melalui penyusunan sistematika ulang, dengan fokus tertentu, misalnya orientasi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Semuanya tetap formalitas belaka, Pelaksanaan Adipura tetap sebagai kegiatan insidentil saja. Fakta, umumnya pemda belum merevisi perda sampah sesuai regulasi, malah ada daerah yang ikut Adipura tapi tidak memiliki perda persampahan. Intinya Adipura ini rapi diluar tapi hancur di dalam, terlalu banyak pengaturan yang terjadi untuk mendapatkan piala yang dianggap bergensi oleh Bupati/Walikota ini.

Regulasi Sampah Tidak Berjalan Sesuai Amanatnya

Moratorium Penilaian Adipura Yes or No ?! Sebuah aktifitas pemerintah dan pemeritah daerah yang hanya menggerus dana rakyat (APBD dan APBN). Begitupun dalam penilaian tidaklah sportif sesuai fakta dilapangan.  Dalam sorotan opini ini, kembali mengingatkan lagi bahwa perlunya Presiden Jokowi turun tangan untuk "stop atau moratorium event adipura".

Adipura harus tetap di moratorium oleh Presiden Joko Widodo, banyak penyimpangan khususnya regulasi sampah tidak dijalankan sebagaimana mestinya, juga tidak nampak sinergitas lintas kementerian dalam menjalankan regulasi persampahan yaitu UU.No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Termasuk beberapa keputusan menteri yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan pengelolaan sampah tidak ada keserasian gerak kementerian termasuk tidak ada sinergitas SKPD di daerah dalam menjalankan UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan PP. No.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, serta beberpa peraturan menteri diantaranya; Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduse, Reuse dan Recycle melalu Bank Sampah, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (Permendagri ini sangat perlu dihidupkan kembali setelah Mendagri mencabut permen ini parmen ini pada bulan juni yang lalu). Pastinya perlu “perubahan” khususnya moral dan pemahaman tentang pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah serta tim penilai, baik dari pusat sampai ke daerah kabupaten dan kota di Indonesia.

Tidak Ada Sinergitas Antar Kementerian/Lembaga/SKPD

Banyak kabupaten dan kota di Indonesia telah melakukan pengelolaan sampah “katanya terpadu”. Menurut riset yang penulis lakukan di beberapa kabupaten dan kota di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dll. Itu sebenarnya terjadi kekeliruan pengertian “terpadu”. Fakta di beberapa TPA itu memang ada beberapa sarana dan prasarana penunjang pengelolaan sampah semisal; mesin pemilah sampah, mesin pencacah sampah, beberapa kolom pengomposan manual, sampai dengan rumah singgah pemulung? tapi semua ini hampir tidak berfungi (tidak difungsikan), hanya “etalase” saja untuk sekedar membuktikan “adanya pengadaan barang/jasa”. Begitu juga kondisi rumah kompos yang ada di beberapa wilayah TPS, memang sebagian ada (khususnya kabupaten dan kota yang mengikuti penilaian Adipura), namun semuanya itu hampir tidak punya aktifitas. Sebatas seremonial saja…Inikah yang disebut terpadu atau berbasis komunal (masyarakat)….????? Contoh paling aktual, Kota Makassar (2015 dan 2016) memperoleh Adipura, sementara TPA Kota Makassar yang berada di Tamangapa Kota Makassar tersebut hanya berjarak sekitar 5-6 meter saja dari pemukiman warga disana. Apakah ini layak dapat Adipura ? Sementara TPA tidak memenuhi standar SNI TPA yang ada, termasuk yang tertuang pada Permen PU. No. 03/PRT/M/2013 itu. Begitupun daerah-daerah lain masih banyak mengelola sampahnya di TPA dengan Open Dumping padahal pola ini sudah tidak dibenarkan lagi, tapi masih juga menjadi peserta Adipura. Diduga banyak permainan curang terjadi dalam event Adipura ini. Siapa yang dirugikan? Ya tentu masyarakat secara umum.

Pemerintah (KLHK, PUPera, Kemenkes dan Kemendagri serta khususnya DPR) juga khusus KPK agar menyikapi kondisi yang terjadi penyimpangan dalam penilaian Adipura di kabupaten dan kota ini. Jangan dibiarkan kebohongan publik terjadi, STOP semua itu dan segera moratorium penilaian Piala Adipura ini (teliti dan analisa kembali), karena sesungguhnya substansi event Adipura sangat bagus namun aplikasinya diduga banyak keluar dari eksistensinya. Utama dalam memilih teknologi pengolahan sampah adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), dimana perlunya menerapkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan (preventive principle), yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah lebih baik daripada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta; prinsip holistik (holistic principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan (HAH)

Download Pedoman Pelaksanaan. Program Adipura

Jakarta, 25 April 2017

H.Asrul Hoesein

Berita Terkait Adipura:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Gabung Diskusi serta Mohon komentar dengan sopan, jangan SPAM atau SARA. Komentar SPAM atau SARA akan dihapus..Blog ini Bersifat Dofollow, Anda komentar dapat Backlink Otomatis untuk Meningkatkan PR Blog Anda...Terima kasih atas Kunjungan,Salam Sukses....!!!