Jujur
Oleh A. Fatih Syuhud
Dari buku sejarah kita membaca bahwa Nabi Muhammad di masa muda dan belum diutus menjadi Rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki kredibilitas tinggi dan kejujuran yang tak tertandingi. Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.
Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”, yaitu pribadi yang dapat dipercaya.
Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:
Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya.
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan, kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap (QS Al Maidah 5:8).
Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran harus ditegakkan (QS An Nisa’ 4:135).
Seorang santri hendaknya memiliki kemauan tinggi (determinasi) untuk menumbuhkan, memelihara dan menjunjung tinggi sikap jujur dengan pengertian di atas.
Beberapa langkah menuju ke arah ini adalah sebagai berikut: (a) Ketahui penyebab ketidakjujuran Anda dan berusahalah merubahnya; (b) Berusaha meminta maaf pada orang yang pernah Anda tidak-jujuri; (c) Berfikirlah secara jujur. Karena perbuatan pertama kali timbul dari fikiran; (d) Berlatihlah berbuat jujur dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Contoh, apabila Anda pernah mengambil uang teman sebesar Rp. 1.000 kembalikan padanya dan minta maaf. Begitu juga, kembalikan pada waktunya apabila Anda berhutang walau sekecil Rp 500; (e) Perlu diingat selalu, bahwa menjadi jujur tidaklah mudah dan karena itu ia membutuhkan perjuangan dan usaha terus menerus.
Cara terbaik memulai bersikap jujur adalah dengan cara tidak berbuat sesuatu yang memalukan atau tidak etis sehingga memaksa kita untuk berbohong di kemudian hari.
Bagi seorang santri, kebohongan terbesar adalah apabila melakukan pembenaran atas perbuatan dosa yang dilakukannya dengan dalil-dalil agama.[reposting blog A.Fatih]
Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”, yaitu pribadi yang dapat dipercaya.
Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:
Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya.
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan, kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap (QS Al Maidah 5:8).
Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran harus ditegakkan (QS An Nisa’ 4:135).
Seorang santri hendaknya memiliki kemauan tinggi (determinasi) untuk menumbuhkan, memelihara dan menjunjung tinggi sikap jujur dengan pengertian di atas.
Beberapa langkah menuju ke arah ini adalah sebagai berikut: (a) Ketahui penyebab ketidakjujuran Anda dan berusahalah merubahnya; (b) Berusaha meminta maaf pada orang yang pernah Anda tidak-jujuri; (c) Berfikirlah secara jujur. Karena perbuatan pertama kali timbul dari fikiran; (d) Berlatihlah berbuat jujur dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Contoh, apabila Anda pernah mengambil uang teman sebesar Rp. 1.000 kembalikan padanya dan minta maaf. Begitu juga, kembalikan pada waktunya apabila Anda berhutang walau sekecil Rp 500; (e) Perlu diingat selalu, bahwa menjadi jujur tidaklah mudah dan karena itu ia membutuhkan perjuangan dan usaha terus menerus.
Cara terbaik memulai bersikap jujur adalah dengan cara tidak berbuat sesuatu yang memalukan atau tidak etis sehingga memaksa kita untuk berbohong di kemudian hari.
Bagi seorang santri, kebohongan terbesar adalah apabila melakukan pembenaran atas perbuatan dosa yang dilakukannya dengan dalil-dalil agama.[reposting blog A.Fatih]
0 komentar :
Posting Komentar