Pengelolaan Sampah Kota Dengan Basis Komunal, Menuju Kota Manado Bebas Sampah (Zero Waste )
oleh: H.Asrul Hoesein
Konsultan: LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara dan
PT. Cipta Visi Sinar Kencana, Bandung> Pemasaran Indonesia Timur
Pendahuluan :
Sampah merupakan akibat adanya aktifitas manusia yang juga konsekuensi kemajuan dan perkembangan suatu wilayah terutama perkotaan. Artinya, kemajuan dan perkembangan serta pertambahan penduduk otomatis akan diikuti dengan peningkatan volume sampah.
Kota Manado pada fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk serta aktivitas masyarakat yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat pula dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sedangkan manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar memindahkan masalah. Artinya, sampah dari satu tempat diangkut ke tempat lain. Itupun, pengelolaannya cukup open dumping (buang dorong) serta tidak memenuhi standar memadai. Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi TPA.
Sampah sebagai material sisa aktivitas manusia seringkali menjadi penyebab timbulnya masalah manakala tidak mendapat pengelolaan secara pantas. Timbulnya masalah longsor dan ledakan metan di TPA, masalah kurangnya anggaran (APBD) investasi bagi pengangkutan dari sumber penghasil sampah ke Tempat Pembuangan (TPA) serta berkembangnya penyakit karena rendahnya sanitasi lingkungan adalah beberapa masalah dari sekian banyak kerugian akibat salah kelola sampah.
Dari aspek peraturan perundang-undangan, sejauh ini harus diakui pada tingkat nasional terdapat UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Hanya, perangkat hukum itu masih diatur secara parsial, dan belum komprehensif. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak. Apabila ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang, dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan dan harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kemudian, pemberdayaan masyarakat di lokasi pembuangan sampah. Teori yang dilontarkan, sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi, mengubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah, pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru, hingga upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.
Sudah saatnya pembungkus dari bahan plastik diganti dengan kertas. Sebab, sampah plastik secara kimiawi sulit terurai dalam tanah sehingga menyebabkan terjadinya polusi tanah. Kepada pemilik rumah makan, warung atau toko kelontong hingga supermarket, diharapkan mengurangi penggunaan tas plastik dan diganti dengan bahan kertas. Bagaimanapun, penanganan persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemkot, namun harus didukung seluruh masyarakat. Terlepas sudah tumbuh atau belum kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sembarang tempat, cara yang paling praktis mengatasi problem sampah yakni menumbuhkan kesadaran warga.
Soal sampah, juga tidak lepas dari tingkat kedisiplinan warga. Tidak hanya di lingkungan padat penduduk dan rata-rata berekonomi pas-pasan, namun di lingkungan elit pun tidak menjamin warganya disiplin. Tidak jarang, saluran air di perumahan elite juga penuh sampah meskipun di lingkungan padat penduduk lebih parah lagi. Akibatnya, jika hujan turun meskipun tidak deras, terjadi banjir (genangan air). Berdasarkan klasifikasi, rumah tinggal (RT) menempati urutan pertama yakni 65 persen sebagai kelompok yang berpotensi memberi kontribusi jasa kebersihan, disusul pabrik/industri, dan perkantoran. Selama ini proses pembuangan sampah sejak diambil dari rumah ke rumah sampai dibuang ke TPA, masih bercampur antara sampah organik dan non-organik. Pemisahan sampah organik dan non-organik seharusnya diterapkan.
Pengelolaan Persampahan
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.
Di Manado, pada sekitar tahun 90-an volumenya baru mencapai 700-an m3 per hari sementara Tahun 2007 ini telah mencapai 1.700 m3. Jika dibandingkan dengan kota besar di tanah air semisal Jakarta volume sampah Manado memang relatif jauh lebih kecil sebab Tahun 2002 saja sampah Jakarta sekitar 55.000 m3. Meski demikian dari tahun ke tahun persoalan mengelola dan mengatasi sampah ini terus menjadi pemikiran berat bagi pemerintah kota. Di tahun 2007 bahkan tahun-tahun selanjutnya persoalan mengatasi sampah terasa semakin berat di tengah upaya pemerintah dan masyarakat mempertahankan Piala Adipura bahkan predikat Kota Sehat yang menjadi kebanggaan bersama.
Berlakunya UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diharapkan membawa perubahan yang mendasar dalam tata-kelola sampah di Tanah Air, salah satunya adalah penutupan semua TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang menggunakan sistem penimbunan dalam waktu lima tahun ke depan. Lima tahun mendatang semua TPA yang menggunakan sistem open-dumping (ditimbun di tanah lapang terbuka) akan ditutup. Proses penutupan ini akan berlangsung secara bertahap.
Mengatasi sampah di Kota Manado setidaknya meliputi tiga hal utama.
Pertama, produksi sampah. Begitu banyaknya sampah menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini sangat produktif menghasilkan sampah. Rata-rata produksi setiap warga sehari hampir satu kilogram. Ini bisa dikurangi dengan mengubah perilaku, seperti kesediaan setiap orang untuk sesedikit mungkin menggunakan pembungkus setiap kali belanja.
Kedua, mengubah kebiasaan membuang sampah secara sembarangan. Kita masih menyaksikan begitu banyak wilayah tanpa tempat sampah, dan juga kemalasan penduduk membuang sampah secara tertib. Gagasan memilah sampah organik dan anorganik ternyata belum berhasil. Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu.
Ketiga, penampungan terakhir dan pengolahan sampah. Selama ini sampah hanya dihargai oleh para pemulung, dan nilai ekonomis sampah hanya dilihat dalam kegiatan pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi terakhir. Material sampah belum banyak diperhatikan, meskipun pengetahuan yang sederhana ini telah begitu banyak dibahas dan dirintis. Sampah-sampah organik masih sangat sedikit yang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ternak, atau pupuk kompos.
Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah adalah "Bahan Berbahaya Beracun" (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika. Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Komitmen Kelola Sampah Terpadu
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah Prinsip 4R.
Pengelolaan sampah harus melibatkan lima aspek, yakni kelembagaan, regulasi, pendanaan, peran serta masyarakat, dan teknologi. Lima aspek tersebut harus tertuang dalam “rencana induk (pengelolaan) sampah” yang wajib dipunyai oleh Kota Manado dan/atau Kab/Kota lainnya di Indonesia
Prinsip 4R yaitu:
Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Pengelolaan sampah berwawasan lingkungan (PSBL) yang mengadopsi prinsip 4M yakni murah, mudah, manfaat, dan masal. PSBL, selain memiliki biaya investasi dan operasionalnya relatif murah, juga memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :
Pengolahan sampah tanpa sisa, mulai pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Peningkatan motivasi segenap lapisan masyarakat untuk peduli terhadap sampah, serta menjaga lingkungan dan seluruh kota agar selalu tertata rapi dan asri.
Instalasi layak dibangun di kota, sebab PSBL aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Pemerintah Daerah dapat memperluas dan mengembangkan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Pemerintah Kota berpeluang untuk mengembangkan produk unggulan daerah.
Pemerintah Kota bersama dengan masyarakat saling bekerjasama, dalam mempercantik kota dan membuat lingkungan kota menjadi indah dan nyaman.
PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
Berdasarkan tahapan proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat ini sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Cara penanganan seperti ini sebenarnya bertujuan untuk :
Membudayakan cara pembuangan sampah yang baik mulai dari lingkungan rumah hingga ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dengan menggunakan kantong kresek berwarna (bioplastic) serta gerobak atau motor sampah terpisah antara sampah organik dan non organik
Menata tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan non-organik secara maksimal Sampah organik diolah menjadi kompos.
Menjadikan sampah non organik menjadi bahan baku untuk diolah menjadi bahan daur ulang (kertas, kaca, plastik dsb.)
Implementasi model ini tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah. Semakin sadar masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan. Untuk itu peran pemerintah dalam mensosialisasikan hal ini serta didukung dengan penerapan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan yang lebih tegas pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di perkotaan.
Jika sampah dikelola sedikit demi sedikit, pasti akan lebih mudah daripada mengelola timbunan sampah yang banyak. Jika Singapura saja butuh 30 tahun untuk menegakkan hukum tentang pembuangan sampah dan mengubah kebiasaan semua masyarakat untuk hidup bersih, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan Manado? Selama menunggu waktu tersebut, dalam waktu dekat mau tidak mau kita harus peduli sampah dari sekarang. Dengan sistem pengelolaan sampah yang mengutamakan konsep 4R, pemerintah setempat justru mendapat keuntungan ganda, yaitu pembukaan lapangan pekerjaan, pertambahan nilai ekonomis dari daur ulang, dan volume sampah yang dikirim ke TPA cuma 30% dari kondisi pengelolaan tanpa konsep 4R.
Ragam Teknologi Pengelolaan Sampah
ADA beberapa teknologi penanganan sampah. Mulai dari teknologi sederhana hingga teknologi rumit, modern dan ramah lingkungan. Di lingkungan sekitar kita, biasanya masyarakat hanya menggunakan komposter sederhana (setelah pemisahan material sampah) menjadi pupuk organik.
Beberapa warga di antaranya bahkan mulai beranjak pada teknologi daur ulang (sampah plastik, kertas atau logam) setelah material-material tersebut dicacah atau dipilah. Korporasi, konsorsium dan pemerintah mulai menggunakan teknologi modern dalam pengelolaan sampah menjadi bahan-bahan yang bisa digunakan kembali ke wujud asal atau manfaat lainnya.
Teknologi Pembakaran Stoker; Bagian utama fasilitas pembakaran, terdiri fasilitas receiving dan supply, fasilitas pembakaran, fasilitas pendinginan gas pembakaran, fasilitas pengolahan gas emisi, fasilitas pembangkit listrik, fasilitas pemanfaatan panas sisa, fasilitas pengeluaran abu, serta pengolahan air buangan.
Tungku Pelelehan Berbahan Bakar Gas; Ada 3 jenis tungku pelelehan berbahan bakar gas: tipe fluida dasar, tipe kiln, serta tipe tungku shaft. Ada berbagai karakteristik seperti pengurangan drastis jumlah emisi dioksin dengan pembakaran suhu tinggi, perampingan fasilitas pengolahan gas emisi dengan pembakaran rasio udara rendah, serta tidak diperlukannya sumber panas eksternal karena pemanfaatan panas yang dimiliki sampah untuk pelelehan abu sampah.
Tungku Stoker Generasi Baru; Tungku stoker generasi baru berbeda dalam hal pembakaran suhu tinggi dengan rasio udara rendah dan pencapaian efisiensi pembakaran tinggi, penurunan konsentrasi dioksin, pengurangan kuantitas gas emisi, rasio pemanfaatan panas dan peningkatan efisiensi pembangkit listrik, serta tingkat kebersihan dari debu, dan ke depan perkembangan ini perlu diamati terus.
Pembuatan RDF dan Pengolahan Wilayah Luas; RDF (Refuse Derived Fuel) adalah bahan bakar yang dibentuk seperti krayon dengan mencampurkan batu abu ke sampah yang telah dipisahkan dari sampah tidak terbakar. Dengan melakukan ini, tidak akan membusuk walau disimpan dalam waktu lama, serta sangat praktis untuk pengangkutan.
Insinerator; Teknologi ini mempunyai sasaran pengurangan jumlah emisi dioksin, suplai energi efisiensi tinggi, pengurangan kuantitas produksi gas efek rumah kaca, serta peringanan lainnya.
Fermentasi Metana; Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan, sedangkan residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa); Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik.
Kompos dan/atau Vermi-kompos; Mengunakan premis lokasi pengolahan sampah yang dekat dengan sumbernya (memangkas biaya transpor), investasi rendah (tidak memerlukan peralatan/teknologi mahal), teknik pengolahan sampah sederhana (bisa dilakukan perorangan atau komunitas kecil). Dengan model ini problem sampah itu bisa dilokalisir menjadi unit-unit kerja kecil, lokal, modular dan bisa dikelola dengan baik oleh siapa saja. Komponen organik sampah biasanya sekitar 70-80 persen, bisa diolah menjadi kompos dan/atau vermi-kompos (pakai cacing).
KESATUAN SISTEM
Bagian penanganan permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan sebagai supor atas sistem. Alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru.
Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Tentu metode ini tetap harus dilengkapi oleh manajemen pengelolaan sampah yang komprehensif oleh Pemerintah Kota Manado, mengintegrasikan semua bidang serta mengakomodir penataan baik pada level pemerintah, masyarakat, akademisi dan multi-pihak dan mengurai semua dari hulu hingga hilir permasalahan. Semua pihak terlibat sesuai kapasitas masing-masing.
Pemerintah menyiapkan instrumentasi aturan dan menegakkannya, sarana-pra sarana yang memadai mengurus sampah dari perumahan, TPS sampai TPA. Dukungan nyata perusahan/swasta untuk mengolah sebelum ke TPA, akademisi dengan kajian dan teknologi terapan, serta yang tak kalah pentingnya harus adanya budaya sadar individu yang kemudian dilembagakan ke rumah tangga dan lingkungan sekitar. Seharusnya menjadi kepedulian semua pihak. Semua aspek harus diberdayakan sosial, budaya, agama, bukan hanya teknologi. Dan itu harus ada dalam satu manajemen sistem pengelolaan sampah yang paripurna.
PERSOALAN sampah tidak pernah lepas dari keseharian hidup kita. Setiap hari, sampah diproduksi, mulai dari rumah, sekolah, kantor, pasar, sampai di jalanan. Dalam keseharian pula disaksikan sampah dikumpul mulai dari rumah, dibawa ke bak sampah hingga diangkut truk ke TPA. Hanya segelintir orang yang berpikir, kalau sampah bisa dipilah, digantikan, didaur-ulang, dan dimanfaatkan lagi. Kebanyakan melihat sampah hanya sebatas barang sisa yang sudah tidak ada gunanya lagi. Bertambahnya jumlah sampah (baik volume, jenis maupun karakteristiknya) yang diproduksi tiap keluarga merupakan implikasi dari pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Tak bisa dibayangkan bila sampah itu menumpuk di suatu tempat sebelum diangkut. Bukan saja akan menjadi pemandangan yang tidak sedap, tapi juga mengundang penyakit, sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat seperti amanat pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tidak terpenuhi.
Kehadiran UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut. Latar yang lain, diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha, sehingga pengelolaan sampah berjalan proporsional, efektif dan efisien.
PROBLEM SAMPAH DI KOTA MANADO
Dari keseluruhan pasal dalam UU itu, tak semua kabupaten/kota di Indonesia siap untuk implementasinya. Kota Manado yang telah memiliki aturan tentang sampah. Bahkan, jauh sebelum adanya UU tentang Pengelolaan Sampah, sudah ada regulasi beserta petunjuk teknisnya, yakni Perda Kota Manado No. 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan, dan Perwako No 7 tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Persampahan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan. Tapi keseluruhan isi dari perda dan juknis itu spiritnya masih seputar soal larangan, kewajiban, retribusi beserta sanksi bagi yang melanggar. Belum tergambar soal pembangunan sistem dan pelembagaan pengelolaan sampah. Belum lagi soal pemenuhan hak publik untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, ruang partisipasi masyarakat beserta mekanismenya, insentif bagi mereka yang melakukan pengurangan dan pengolahan sampah, hak pekerja/buruh sampah, riset dan pengembangan teknologi pengurangan/penanganan sampah serta pengembangan kapasitas masyarakat. Ringkasnya, belum tergambar adanya perubahan paradigma pengelolaan sampah. Jadi, bisa dikatakan, sejatinya –baik pemprov maupun pemda kabupaten/kota— belum memiliki renstra, atau rencana induk pengelolaan sampah, kami sarankan sebaiknya Pemkot Manado melakukan revisi Perda No. 7 tahun 2006 tersebut serta aturan lainnya yang mendukung, tentu dengan mengacu kepada UU. No. 18 Tahun 2008.
PELUANG MASYARAKAT
Pasal 21 UU. No. 18 Tahun 2008 dinyatakan pemda memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah, atau disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah. Pertanyaannya, insentif dalam bentuk apa yang akan diberikan pemerintah? Jika berbentuk uang atau pengurangan jumlah tagihan listrik, air atau telepon, mungkin banyak yang berlomba mengurangi sampah. Namun, ukuran apa yang akan dipakai sehingga bisa disebut telah melakukan pengurangan sampah? Apakah harus ditimbang per hari/per bulan berdasarkan catatan periodik tertentu? Yang harus dipikirkan pula, penimbul sampah bukan hanya rumah tangga saja, tapi industri.
Juga soal pemberian kompensasi (pasal 25) dari pemda kepada orang yang merasakan dampak negatif akibat penanganan sampah. Hal itu berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan serta kompensasi dalam bentuk lain. Dengan begitu masyarakat sedikit berlega dengan payung hukum ini. Setidaknya jaminan kepastian soal kompensasi, walaupun hal ini masih perlu diatur lagi dengan peraturan pemerintah dan political will pemda. Demikian pula soal partisipasi masyarakat. Pasal 28 menyebut masyarakat bisa berperan serta dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan pemda. Bagaimana praktiknya selama ini? Bagaimana kalau itu diselenggarakan oleh pihak swasta, apa masyarakat bisa berperan serta? Mekanismenya bagaimana? Peluang lain soal diaturnya gugatan perwakilan kelompok (class action) bagi yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan sampah (pasal 36). Ini memang cukup progresif, mengingat banyak kasus berkaitan dengan pemenuhan hak-hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat selalu ditolak, bahkan terabaikan.
Dengan kehadiran UU ini diharapkan pendekatan akhir (end pipe) pengelolaan sampah juga diubah. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pengelolaan sampah. PP ini ditujukan kepada perusahaan yang menghasilkan sampah berupa limbah maupun kemasan produknya. KLH selama ini menilai pengelolaan sampah hanya dibebankan kepada masyarakat. Bahkan, di lokasi TPA warga mengalami dampak yang begitu buruk yaitu kondisi lingkungan yang tidak sehat.
Salah satu isi PP tersebut adalah setiap industri harus bertanggung jawab terhadap kemasannya dan perusahaan wajib melabeli kemasan tersebut tentang petunjuk pengolahan selanjutnya. Point lainnya, perusahaan diminta membentuk badan atau asosiasi untuk membicarakan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah tersebut.
KLH berharap tiap perusahaan dapat menganggarkan biaya pengelolaan menjadi bagian internal perusahaan. Dalam waktu sepuluh tahun ke depan, 70 persen pengelolaan sampah seluruh industri di Indonesia sudah berjalan, dengan indikator tingkat kerusakan pada lingkungan. Diharapkan, implementasi UU dan PP ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk menata ulang pengelolaan sampah, baik aspek kebijakan, metode, teknik maupun regulasinya
Memilih Sistem Pengolahan Sampah yang Ideal
Sistem sentralisasi adalah pemusatan pembangunan sampah kota di suatu lokasi atau TPA. Sementara sistem desentralisasi adalah membagi tempat pembuangan sampah kota di beberapa TPS (Tempat Penampungan sampah Sementara). Adapun sistem sentra-desentralisasi atau disingkat se-desentralisasi adalah menggabungkan kedua sistem tersebut dengan keberadaan TPA dan TPS. Penimbunan sampah hanya dengan mengandalkan sistem sentralisasi jelas tidak tepat karena membutuhkan lahan yang sangat luas. Namun, sistem desentralisasi bukan jawaban yang tepat karena volume sampah yang sangat besar tidak akan mampu ditampung oleh TPS yang tersebar di mana-mana. Bahkan, bukan tidak mungkinmalah menyebarkan polusi ke banyak titik di kota tersebut. Oleh karena masing-masing memiliki keunggulan dan mengatasi kendala pengelolaan sampah yang muncul. Adapun kemampuan masing-masing dalam menagatasi kendala yang muncul dalam pengelolaan sampah kota tersebut terdapat hasil survey dibawah ini.
K e n d a l a Sistem Sentralisasi Sistem Desentralisasi Sistem Se-Desentralisasi
1. Luas Lahan Terbatas TS TS S
2. Volume Sampah Sangat Besar S TS S
3. Pengumpulan Sampah Kurang Efektif TS S S
4. Dana Pengelolaan Sampah Terbatas TS S S
5. Kemampuan Teknologi Terbatas S TS S
6. Masyarakat Tidak Koperatif S TS S
7. Masyarakat Tidak Kreatif/Bisnis S TS S
8. Banyak Pengangguran TS S S
9. Dampak Luas TS S S
10. Pemda Tidak Responsif TS S S
Jumlah Yang Sesuai (S) 4 6 10
Keterangan : S=Sesuai TS= Tidak Sesuai
Sistem se-desentralisasi memiliki kemampuan tertinggi dalam mengatasi kendala pengelolaan sampah kota. Dari 10 kemungkinan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah kota di kota-kota besar, ternyata sistem se-desentralisasi yang paling mampu mengatasi kendala tersebut. Oleh karena itu, untuk kota-kota besar yang jumlah penduduknya banyak seperti: Jakarta dan kota satelitnya serta ibu kota profinsi lainnya di Indonesia seperti; Semarang, Medan, Makassar, Surabaya, Bandung, Manado, Kendari, dll. Sistem ini adalah yang paling sesuai, seyogyanya sistem tersebut diterapkan secara bertahap untuk membiasakan masyarakat dalam menghadapi era baru pengolahan sampah kota di wilayahnya.
Penerapan Sistem se-Desentralisasi untuk Kota Manado
Sistem se-desentralisasi merupakan sistem yang terbaik untuk Indonesia umumnya dan terkhusus Kota Manado, sebelum terdesak problem sampah seperti di kota-kota metropolitan. Sistem ini bertujuan mengurangi arus sampah ke TPA dengan membagi-bagi pengolahan sampah tersebut di beberapa titik yaitu sebagai berikut:
- Pengolahan Langsung Dari Sumber Sampah
- Pengolahan di TPS
- Pengolahan di TPA
Kesimpulan
SEBAGAI produk harian, sampah terus bertambah, dan bertambah. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian. Beberapa hal praktis yang bisa dilakukan, antara lain membawa air dalam botol minum yang bisa diisi ulang, sehingga Anda tak perlu menambah sampah kemasan. Bila Anda telah mengurangi pemakaian botol plastik, berkurang juga sampah yang ada. Sama halnya dengan kertas yang menjadi sampah utama bagi perkantoran. Hindari pemakaian benda yang akan terbuang setelah sekali pemakaian. Jika memungkinkan, manfaatkan sejumlah benda sebelum itu dimasukkan ke kantong sampah. Gelas bekas air mineral, misalnya bisa dijadikan wahana pembibitan tanaman hias. Tas plastik bekas belanja sedapat mungkin dimanfaatkan sampai benar-benar tak dapat dipakai. Jika berbelanja, biasakan membawa tas plastik sendiri. “Dengan membawa tas plastik sendiri, akan mengurangi produksi sampah,” Yang juga bisa dilakukan, adalah mengajak pemilik pasar swalayan agar sebisa mungkin mengganti plastik belanjaan yang selama ini digunakan dengan kertas belanja, yang relatif mudah terurai. Sosialisasi mengenai pemisahan sampah organik dan non organik, atau sampah kering dan sampah basah sudah saatnya dilakukan. Pemerintah diharapkan memberi kesempatan atau peran langsung kepada masyarakat karena bila peran serta masyarakat tidak tampak, mereka tidak mau peduli. “Kalau memang paradigma sampahku adalah urusanku sudah melekat di masyarakat, akan semakin berkurang beban yang ditanggung pemerintah. Karenanya sedari awal prinsip 4R harus benar-benar diwujudkan yakni reduce, reuse, replace dan recycle”
Manado, 11 November 2009
Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat
(LM3) NAFIRI Manado, Sulut
0 komentar :
Posting Komentar