Pemanasan global (global warming) yang memicu perobahan iklim, tiap tahun disumbang oleh penebaran 0,8
kg sampah/orang/hari x 220 jt penduduk =176.000 ton/ hari atau 63,36
milyar kg / tahun di TPA. Sampah domestik (diluar limbah pertanian,
industri) ini akan menimbulkan 8,8 juta kg CH4/hari atau 3,168 milyar
kg/tahun (1 ton sampah = 50 kg methan/CH4). Padahal menurut Panel
Ilmuwan untuk Perubahan Iklim (Intergovermental Panel on Climate
Change/IPCC), pemanasan global terjadi karena sumbangan dua senyawa
kimia terbesar - yakni gas karbon dioksida (CO2) dan methane (CH4).
Dampak
dari abai akan sampah diatas, utamanya di kota. Namun, di pedesaan
tidak kurang pula pencemaran dari penaburan 28,5 juta ton/ tahun ( 4,341
juta metrik ton diantaranya dari sumber impor) pupuk kimia di kebun dan
sawah. Sementara, dari penelitian Puslitanak diketahui, aplikasi pupuk
kimia dengan cara ditabur di permukaan, 70 % ( 19,95 juta ton) menjadi
polutan - menguap saat terkena panas dan terbawa aliran air ke sungai
dan ke permukaan lebih rendah- saat hujan. Jadi tidak usah heran jika
air sungai - yang di hulunya bening- di hilir berobah jadi keruh kuning
dan berbau, antaranya membawa kimia sisa pupuk - yang tidak diserap
tanaman.
Dari kedua material sampah di kota dan pupuk kimia diatas saja, kita belum bisa keluar dari masalah, tambah mencemaskan tatkala diketahui rasio produksi oksigen dan manusia makin kecil krn gencarnya pembalakan liar (illegal logging) maupun pembalakan jinak ( legal logging tapi berlebihan kali ya......hehehe) atas pohon penghasil oxigen. Jika 1 pohon hanya bisa berikan bagi 2 orang, dalam kurun tertentu, ketika jumlah pohon makin mengecil rasionya dibanding jumlah manusia yang memerlukannya, banyak orang akan tercekik akibat rendahnya oksigen di sekelilingnya.
Menggenaskan memang, ketika hari ini saja kita sudah merasakan gerahnya udara dari pemanasan global (suhu di Medan, Pekanbaru, Batam,dll bisa menembus 41 o Celcius), kacaunya masa tanam pertanian - akibat perobahan iklim serta makin mahalnya mendapatkan air bersih di sungai maupun air tanah, apalagi lagi air mineral; Karenanya tak terbayangkan, bagaimana saat seorang bayi - yang terlahir hari ini - dewasa dan mulai harus bertanggungjawab menjalankan kehidupan. Di saat 30 tahun kedepan, ketika para orang tuanya hari ini mengumpulkan harta dengan tidak mau peduli pd pelestarian alam, uang warisan - yang diberikan kepada anaknya kelak, tak akan laku lagi buat membeli air, tak cukup lagi buat membeli pendingin - bagi suhu yang makin panas maupun buat membeli bahan makanan - yang makin mahal karena sulitnya benih ditanam di tanah rusak, sulitnya air dan kacaunya iklim.
Hari Bumi yang diperingati secara internasional, setiap 20 Maret (versi PBB) dan 22 April (versi Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson), bukanlah upacara ' Ruwatan Bumi" guna mengubah jalannya sejarah, melainkan, hanya satu jenak guna menggugah, bahwa manusia hanya punya satu planet untuk ditinggali bersama, yaitu bumi (*)
Dari kedua material sampah di kota dan pupuk kimia diatas saja, kita belum bisa keluar dari masalah, tambah mencemaskan tatkala diketahui rasio produksi oksigen dan manusia makin kecil krn gencarnya pembalakan liar (illegal logging) maupun pembalakan jinak ( legal logging tapi berlebihan kali ya......hehehe) atas pohon penghasil oxigen. Jika 1 pohon hanya bisa berikan bagi 2 orang, dalam kurun tertentu, ketika jumlah pohon makin mengecil rasionya dibanding jumlah manusia yang memerlukannya, banyak orang akan tercekik akibat rendahnya oksigen di sekelilingnya.
Menggenaskan memang, ketika hari ini saja kita sudah merasakan gerahnya udara dari pemanasan global (suhu di Medan, Pekanbaru, Batam,dll bisa menembus 41 o Celcius), kacaunya masa tanam pertanian - akibat perobahan iklim serta makin mahalnya mendapatkan air bersih di sungai maupun air tanah, apalagi lagi air mineral; Karenanya tak terbayangkan, bagaimana saat seorang bayi - yang terlahir hari ini - dewasa dan mulai harus bertanggungjawab menjalankan kehidupan. Di saat 30 tahun kedepan, ketika para orang tuanya hari ini mengumpulkan harta dengan tidak mau peduli pd pelestarian alam, uang warisan - yang diberikan kepada anaknya kelak, tak akan laku lagi buat membeli air, tak cukup lagi buat membeli pendingin - bagi suhu yang makin panas maupun buat membeli bahan makanan - yang makin mahal karena sulitnya benih ditanam di tanah rusak, sulitnya air dan kacaunya iklim.
Hari Bumi yang diperingati secara internasional, setiap 20 Maret (versi PBB) dan 22 April (versi Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson), bukanlah upacara ' Ruwatan Bumi" guna mengubah jalannya sejarah, melainkan, hanya satu jenak guna menggugah, bahwa manusia hanya punya satu planet untuk ditinggali bersama, yaitu bumi (*)
Salam,
Ir. Sonson Garsoni
http://www.facebook.com/sonson.garsoni
Referensi http://www.kencanaonline.com/
http://www.facebook.com/sonson.garsoni
Referensi http://www.kencanaonline.com/
0 komentar :
Posting Komentar