Dalam
kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu strategis yang harus
diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dan dibenahi, yaitu (1) membenahi
peran dan kemampuan Propinsi dalam menyelenggarakan fungsi kerjasama antar
daerah atau “local government cooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang
dapat atau patut dikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama yang
sesuai dengan hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini dianggap strategis
karena posisinya sangat menentukan keberhasilan kerjasama antar pemerintah
daerah di masa mendatang.
Aktifitas Lekad Klik di SINI (website Lekad)
1.
Peran dan Kemampuan Propinsi
Secara
formal Propinsi diberi peran yang cukup berarti dalam menyelenggarakan
kerjasama tersebut. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom telah diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yang mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan ini meliputi bidang pertanian,
kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan
perdagangan, perkoperasian, penanaman modal, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, permukiman, pekerjaan umum,
perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan administrasi publik,
pengembangan otonomi daerah, perimbangan keuangan, dan bidang hukum dan
perundang-undangan (lihat Pasal 3). Di dalam menjalankan kewenangan ini,
Propinsi tidak hanya memainkan peran sebagai pelaksana dan pengatur bidang
tersebut secara langsung dan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga menyediakan
dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu seperti
pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal, industri dan
perdagangan, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian secara formal,
kerjasama antar Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasi oleh Propinsi.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang sama juga dikatakan
bahwa Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau
beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerjasama
antar Kabupaten/Kota, kerjasama antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau
menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi. Dan pelaksanaan kewenangan
melalui kerjasama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus
didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (lihat PP Nomor 25 Tahun 2000, Pasal 4,
butir a dan b).
Akan tetapi, ketentuan tentang peran Propinsi menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 seringkali dikritik karena penyerahan
kewenangan kepada Propinsi ini tidak mempertimbangkan tingkat kemampuan Propinsi,
yang menurut kenyataannya bervariasi baik antara Jawa dan luar Jawa maupun
antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dapat
menimbulkan masalah serius karena, secara teoritis suatu penyerahan kewenangan
kepada suatu pihak yang tidak mempertimbangkan kemampuan dari pihak yang
bersangkutan, maka penyerahan tersebut akan menjadi sumber masalah di kemudian
hari (lihat Keban, 2004: 115). Didalam kenyataan, tingkat kemampuan Propinsi
untuk menyediakan dukungan kerjasama di bidang pertanian, industri dan
perdagangan, penanaman modal, pengembangan prasarana dan sarana wilayah,
pengaturan kesepakatan tentang penataan tata ruang, dan penyelesaian
perselisihan antar Kabupaten/Kota, juga belum diketahui. Karena itu,
efektivitas implementasi dari Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan masih
diragukan.
2.
Bidang-bidang yang dikerjasamakan
Identifikasi
dan perencanaan mengenai bidang-bidang yang dikerjasamakan jarang dilakukan,
kecuali ada masalah gawat yang menuntut penanganan segera. Harus diakui selama
ini bahwa kerjasama antar daerah (kabupaten-kota, kota-kota,
kabupaten-kabupaten, kabupaten/kota- propinsi) belum dirasakan sebagai suatu
kebutuhan sehingga tidak diperhitungkan dalam proses perencanaan. Padahal
berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu Kota/Kabupaten atau
Propinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas
wilayahnya. Demikian juga, ada banyak permasalahan pada suatu lokasi atau
daerah yang muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari
daerah yang lain, seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Suatu kebijakan publik yang dibuat oleh suatu Kota
atau Kabupaten sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kota atau Kabupaten
lain.
Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari
pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan
pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar Pemda. Hanya
masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui
kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari
hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan
menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu (1) apakah suatu masalah tersebut
timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah
memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah
yang bersangkutan, atau (2) apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu
wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang
serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk
mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan
secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak,
melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak
tersebut.
Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai
permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu
Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional.
Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah
mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang
mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu,
mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi
berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan
yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk
mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.
3.
Model Kerjasama
Selama
ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat
bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara
luas. Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit
pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP
Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai
kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh.
Pembahasan tentang model-model kerjasama nampaknya cukup luas karena menyangkut
banyak bentuk kerjasama sehingga disajikan secara tersendiri dalam sub bahasan
berikut.
0 komentar :
Posting Komentar