Kenapa pemekaran kabupaten dihentikan sementara ? atau bisa jadi
seterusnya !!! itu semua karena tidak suksesnya pelaksanaan Otonomi
Daerah (otoda), itu disebabkan oleh factor utama (esensi) karena tidak
adanya penguatan pada Desa (otonomi desa) itu sendiri. Ego sektoral yang
terlalu kuat, mulai pemerintaha kabupaten sampai pemerintah pusat. Hal
ini semua yang menjadi pemicu keresahan (pendidikan,ekonomi, politik,
social, tenaga kerja) di masyarakat yang berkepanjangan. Juga menjadikan
program pemerintah tidak capai sasaran (sebagaimana peruntukannya),
hampir semua mati
suri. Termasuk proses demoratisasi dan reformasi akan pasti berjalan
pincang. Karena tidak terjadi proses yang bersamaan di tingkat bawah
(desa). Jadinya desa tetap termarjinalkan. Tetap saja rakyat (sebagian
besar tinggal di Desa) akan jadi korban pembodohan, korban kemunafikan.
Nurut apa kata paduka yang mulia, celakalah bangsa yang cerdas ini. Akan
mati kelaparan (rakyat Indonesia) di lumbung padi.(Negeri agraris)
Namun tetap kita harus optimis dan lakukan perubahan untuk berubah.
Sebagai sebuah entitas social politik keberadaan desa lebih dahulu
dibanding keberadaan sebuah Negara. (tidak ada negara tanpa kumpulan
desa-desa). Namun sekali lagi meskipun dengan usia keberadaan yang sudah
tua ini tidak membuat perubahan kehidupan di desa menjadi lebih baik
tapi justru semakin membebani desa oleh berbagai kekuatan diatasnya,
rakyat semakin termarjinalkan dan menjadi korban syahwat politik para
penguasa, entah itu eksekutif, legislative, maupun yudikatif termasuk
konco-konconya (maaf, Janganlah selalu sembunyi dibalik “oknum”, ini
juga salah satu penomena proses pembodohan di negeri ini). Sengaja saya
beri “warna merah” kata oknum diatas, supaya mereka-mereka itu sadar
yang sebenar-benarnya sadar, jangan sok jaga institusi, tapi ternyata
“korupsi berjamaah” dibalik institusinya sendiri……naudzubillah.
Kedudukan desa menjadi pintu masuk pertama dan utama dalam
membicarakan masalah desa, termasuk masalah kesejahteraan rakyat, disana
pintu masuknya, bukan di Jakarta (Senayan dan Istana Negara atau
Cikeas). Bagaimanapun kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan
desa, hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun
sumber‐sumber keuangan desa. Kejelasan kedudukan desa juga menjadi
bagian dan mendukung upaya reformasi aset dan akses desa terhadap
sumberdaya ekonomi‐politik yang selama ini menjadi persoalan sangat
serius.
Sebenarnya Otonomi Daerah (otoda) yang digulirkan sejak reformasi dengan dikeluarkannya UU.No 22/1999 dan dirubah menjadi UU. No 32/2004 diharapkan
mampu menjadi jalan untuk demokratisasi, dengan meningkatkan
partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan dan implementasi
keputusan dan kebijakan di daerah sehingga terwujudnya local good
governance dengan ciri-ciri pemerintah yang bersih, efisien,transparan,
akuntabel dan berpihak pada yang miskin (responsive), tapi semua itu
jauh panggang dari api, karena otoda terputus di kab/kota. Bupati dan
jajarannya menjadi raja-raja kecil di daerah.
Selain itu diharapkan mampu menjadi sarana pemberdayaan dan
pendidikan masyarakat untuk dirinya sendiri agar menjadi masyarakat yang
otonom secara politik dan mandiri secara ekonomi. Otoda seharusnya
menjadi kewenangan daerah untuk mendorong kemandirian social
kemasyarakatannya di tingkat desa sebagai pelaksana utamanya (otonomi
desa). Jangan cuma menghadirkan Kepala Desa pada musrembangda hanya
formalitas saja.
Karena tanpa itu, semua program akan menjadi mubadzir saja, karena
masyarakat tidak terlibat dari awal, sementara uang yang akan
dipergunakan adalah uangnya Desa (rakyat). Kenapa program konversi
minyak tanah ke gas menjadi debat-table sekarang ini; dikatakan kurang
sosialisasilah, gagallah, nah akhirnya tabung gas meledak dimana-mana,
dll. Sekarang menjadi polemik tanpa akhir, karena program tersebut titik
starnya bukan di Desa, sementara yang menjadi penggunanya yang
terbanyak adalah Desa itu sendiri. Kalau otonomi desa berjalan, maka
tidak ada kata “kurang sosialisai” karena mereka dengan sadar akan
mensosialisasi dirinya sendiri.
Namun fakta yang ada justru menunjukkan bahwa otoda tidak mengalami
kemajuan yang berarti, justru menujukkan gejala kesembrautan dalam tata
pemerintahan yang ada, misalnya justru semakin maraknya korupsi di
daerah dan belum efektifnya pelayanan yang diberikan, dan pembangunan di
daerah juga belum memberikan dampak yang berarti. Hal ini dikarenakan
Otonomi Daerah hanya dipahami sebagai otonominya Pemerintah Daerah
(perspektif yang sangat birokratis) bukan otonominya rakyat di daerah .
Sejak dikeluarkannya UU no 22/1999. desa seolah-olah mengalami
kelahiran kembali, hal ini bisa dilihat dari definisinya yakni sebagai
‘kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat ……..” artinya desa mempunyai kewenangan untuk mengatur
dirinya secara politik. Akan tetapi harus diakui secara jujur bahwa
ketertindasan yang dialami oleh Desa membuat desa saat ini tidaklah sama
dengan desa yang kita bayangkan pada zaman dahulu (sebelum orde baru).
Itu hanya mimpi di siang bolong.
Hambatan Otonomi Desa.
Problem internal yang dialami desa atau kampung adalah masyarakat
desa terutama aparatnya sangatlah tidak percaya diri untuk mengelola
desanya dengan terobosan yang berani dan berarti. Takut dikatakan
mendahului Bupati, ini klise. Pemerintah desa dalam mengelola desanya
menjadi sangat birokratis tergantung juklak dan juknis dari kekuasaan di
atasnya yaitu pemerintah kabupaten.
Kenapa ? Hal ini mempunyai sejarah panjang dimana telah terjadi
proses pembodohan dan proses depowering terhadap desa selama berpuluh
tahun, dan desa sengaja dikondisikan agar selalu takut dan penurut pada
kekuasaan diatasnya (hal ini merupakan salah satu dampak dari UU no5/79
tentang desa), proses panjang dimana proses depolitisasi, desa dibuat
tidak berdaya dan direbut hak-haknya.
dan masalah kemudian adalah,
dan masalah kemudian adalah,
Problem eksternal yang dihadapi desa adalah dari sisi Pemerintah
Daerah yang tidak siap melakukan pemberdayaan kepada pemerintah desa.
Para Bupati, enggan melepas sebagian kekuasaannya kepada Kepala Desanya.
Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya dibentuk badan atau lembaga di
tiap desa, namun sesudah itu tidak ditindaklanjuti dengan pemberdayaan.
Ini juga merupakan kekeliruan pemerintah, karena tidak ada pembekalan
organisasi di masyarakat. Makanya lembaga yang dibentuk itu hanya
sekedar formalitas atau papan nama saja.
Kita bisa lihat dibentuk BPD dan LPM tapi ternyata hanya sebatas
dibentuk saja. Sehingga akhirnya lembaga-lembaga desa tersebut
seolah-olah tidak punya tuan dan harus memberdayakan dirinya sendiri.
Inisiatif pemberdayaan ini cukup baik sebagai sebuah inisiatif dari
masyarakat, tapi tidak baik dari sisi tugas dan tanggungjawab dari
pemerintah daerah. Karena setiap tahunnya anggaran untuk pemberdayaan
aparat dan lembaga-lembaga desa selalu dianggarkan. Hal ini menunjukkan
pemerintah daerah belum melakukan fungsinya dengan baik. Ini merupakan
salah satu kegagalan otoda yang juga termasuk kegagalan pembangunan
daerah (kabupaten) pemekaran.
Otonomi desa yang ideal meliputi tiga aspek, yakni desentralisasi
dalam hal kewenangan, desentralisasi dalam hal keuangan dan
desentralisasi dalam hal pembangunan. Artinya desa secara otonom
mengelola kewenangan penuh yang dimilikinya untuk melakukan pengelolaaan
tata pemerintahannya. Kemudian desa juga dengan otonom mengelola
keuangan yang dimiliki baik dari PADesnya maupun hak desa dari Alokasi
Dana Desa (ADD), pajak dan retribusi maupun bantuan-bantuan lain yang
dimiliki desa sebagai modal ekonomi di desa. Serta kewenangan mengelola
sumber daya alam yang ada di desa. Kemudian desa secara otonom juga akan
melakukan pembangunan untuk kampungnya, terutama untuk melakukan
pemberdayaan dan perencanaan desa. Dan semua ini harus dilakukan tanpa
intervensi dari pihak-pihak supra desa. Kemudian fungsi dari pemerintah
daerah dalam hal ini adalah sebagai fasilitator terhadap proses yang
ada. Jadi dinas dan instansi yang ada di daerah tidak
lagi sebagai implementator proyek sebagaimana selama ini terjadi, karena
masyarakat sendiri yang akan menjadi perencana, pelaksana dan pengawas
proyek pembangunan yang ada.
Pemerintahan Desa merupakan Unit Terdepan, Harus Diberdayakan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan sub system
penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan Pemerintahan Desa merupakan unit
terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi tonggak
strategis untuk keberhasilan semua program.
Desa akan menjadi garis terdepan pemerintahan, jika Desa mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan baik. Hal ini yang
menjadi barometer, apa pemerintah itu peduli atau tidak dengan
rakyatnya. Bukan dengan cara meninibobokkan rakyat dengan berbagai
program populis, seperti program BLT, PNPM. Sebenarnya program itu
bagus, tapi yang menjadikan gagal karena program tersebut keluar dari
visi-misinya, strategi yang keliru, karena sarat kepentingan. Kenapa ?
karena bukan masyarakat yang merencanakan program itu, perlu apa tidak,
semua by design dari actor yang berasal dari Pemerintah Kabupaten,
masyarakat di desa, melaksanakan sekedar seremoni saja. Lalu ironisnya
dalam aplikasi program tersebut, hampir tidak ada pemantauan dan
evaluasi di lapangan.
UU. No. 32/2004 mengakui adanya Otonomi Desa, dan dengan adanya
otonomi desa tersebut diharapkan Desa akan menjadi mandiri. Kemandirin
itu dipengaruhi beberapa faktor seperti, desentralisasi kewenangan,
penguatan keuangan Desa, penguatan kelembagaan Desa dan kelembagaan
masyarakat, kapasitas dan perangkat Desa (SDM) serta pemberdayaan
masyarakat desa.
Solusi Percepatan Otonomi Desa.
Idealnya yang perlu dimiliki Desa/Kampung agar penguatan otonomi desa
tercapai dan akhirnya menuju desa mandiri adalah sebagai berikut :
1. Kewenangan untuk turut serta menentukan kebijakan kabupaten yang
menyangkut desa. Segera diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang
penyerahan urusan yang menjadi kewenangan kabupaten yang perlu
diserahkan kepada desa, agar menjadi pedoman yang jelas bagi desa untuk
mengimplementasikan kewenangan tersebut.
2. Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan otonomi desa dan mengelola SDMnya serta pendapatan desa. Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan Tinggi /LSM-NGO untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota Badan Pertimbangan Desa (legislatifnya desa) agar mampu menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif dalam menjalankan otonomi desa.
3. Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan tidak diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a) Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b) mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah perubahan status menjadi kelurahan. (c) Menciptakan ekonomi kreatif di Desa dengan motivasi diri yang kuat, bukan karena by design.
2. Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan otonomi desa dan mengelola SDMnya serta pendapatan desa. Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan Tinggi /LSM-NGO untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota Badan Pertimbangan Desa (legislatifnya desa) agar mampu menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif dalam menjalankan otonomi desa.
3. Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan tidak diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a) Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b) mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah perubahan status menjadi kelurahan. (c) Menciptakan ekonomi kreatif di Desa dengan motivasi diri yang kuat, bukan karena by design.
Oleh karena itu, upaya memperkuat Desa merupakan langkah untuk
mempercepat terwujudnya Otonomi Desa dan kesejahteraan masyarakat,
sebagai tujuan otonomi daerah dan menjadi tanggungjawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan masyarakat.
Sederhana saja usulan saya adalah; Harus bersamaan diadakan reformasi
birokrasi (hilir) dan reformasi otonomi daerah dengan Penguatan Desa
menuju Otonomi Desa (hulu). Lakukan secara bersamaan, posisi
hulu-hilirnya tersebut diatas mau dibalik terserah, yang penting “niat
mensejahterahkan dan memandirikan rakyat”. Karena kalau tidak demikian,
akan menjadi wacana saja “pro rakyat” itu. Akhirnya rakyat akan tetap
tidur (termarjinalkan) dan tidur lagi……dan lagi.
Ayo….. Bangun Otoda dari Desa.
0 komentar :
Posting Komentar