Pelabuhan Bakauheni, Lampung_dok.Asrul |
Angkut-mengangkut barang antarpulau adalah problem besar di Indonesia. Pengangkutan barang dari satu daerah ke daerah lain di wilayah Indonesia bukanlah perkara mudah.
Bayangkan, ada 17 ribu pulau dalam wilayah terbentang sepanjang 6.400 kilometer atau setara jarak New Jersey hingga Alaska. Di wilayah sepanjang itu terserak 1.889 pelabuhan termasuk 25 pelabuhan terkemuka, menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rasio pelabuhan Indonesia terhadap luas wilayahnya adalah 2,93 km persegi/pelabuhan. Bandingkan dengan Jepang yang rasionya adalah satu pelabuhan melayani area seluas 0,34 km persegi. Sementara Filipina memiliki rasio 0,46 kilometer persegi berbanding satu pelabuhan.
Dalam terbitan khusus The Economist, Manajer Operasi dan Portofolio Bank Dunia Josephine Bassinette menyorot ihwal investasi di Indonesia terkait layanan logistik pada era baru pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Josephine mengawali analisanya dengan perbandingan harga ikan Tuna yang diperoleh nelayan Kampung Pulo di sekitar Kota Jayapura di Papua dengan harga ikan tuna di pasar London. Dengan harga ikan tuna 40 dolar AS per kilogram di pasaran London, tentu orang Inggris akan mengira bahwa nelayan di Papua pasti sangat berkecukupan.
Tetapi kenyataan tidaklah seindah itu. Ikan tuna hasil tangkapan di Kampung Pulo hanya berpindah ke pasar ikan di Jayapura dan dihargai cuma 4 dolar AS per kilogram, sepersepuluh dari harga di Eropa.
Persoalan inilah sesungguhnya yang menjadi kajian kritis ilmu ekonomi. Ada perbedaan lokasi, kelangkaan, kelebihan pasokan, persoalan teknik penangkapan, dan banyak lagi hal yang membuat persoalan ekonomi—khususnya bisnis—jadi sulit dipahami bagi sebagian orang.
Bank Dunia memperkirakan biaya pengangkutan barang di Indonesia, baik ekspor-impor maupun antarpulau akan membutuhkan biaya sekitar 24 persen dari pertumbuhan domestik bruto Indonesia (PDB). Jika PDB Indonesia dipatok Rp 9.000 triliun, maka seperempat dari jumlah itu akan menghabiskan seluruh jatah APBN pemerintahan baru Presiden Joko Widodo yang jumlahnya kurang dari Rp 2.000 triliun.
Sebagai perbandingan, Thailand dengan kondisi geografisnya yang tidak seluas Indonesia saja memerlukan biaya logistik dengan ukuran 16 persen dari ukuran PDB-nya. Di Indonesia, khususnya di Jawa yang angkutannya paling efisien menurut catatan Bank Dunia, ternyata membutuhkan komponen biaya pengangkutan barang di kisaran 17 persen-18 persen dari harga barang.
Sebagai perbandingan, di Malaysia soal layanan logistik hanya memakan biaya sekitar 14 persen dari harga barang. Ini berarti kalangan bisnis di Indonesia terutama swasta jelas bakal kerepotan saat pasar bebas ASEAN dibuka. Tingginya biaya logistik juga menjadi satu persoalan vital yang bikin ragu calon investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Josephine kemudian membuat daftar faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefisienan persoalan logistik di Indonesia.
Manajemen pelabuhan dan perkapalan
Pelabuhan paling sibuk di Indonesia, Tanjung Priok baru mampu mengurangi masa inap kontainer hingga enam hari atau lebih dari daripada kondisi pada 2013 yang mencapai delapan hari. Sementara di Tanjung Pelepas, Malaysia, masa inap kontainer cukup tiga hari saja. Sedangkan Singapura yang merupakan pelabuhan paling efisien di seluruh dunia hanya memerlukan kurang lebih satu setengah hari masa inap.
Angkutan dari dan ke pelabuhan
Waktu tempuh barang di jalan raya jelas-jelas merupakan problem akut di Indonesia. Tidak bertambahnya jumlah jalan raya dan pertumbuhan kendaraan bermotor yang menyebabkan kemacetan di mana-mana tentu saja menekan habis biaya angkut-angkut barang di Indonesia.
Bahkan untuk angkutan ke Cikarang Dry Port yang memang sengaja dikhususkan untuk urusan angkut-mengangkut kontainer saja membutuhkan enam jam di jalan. Untuk jarak yang sama di Malaysia hanya membutuhkan dua jam di jalan.
Tata niaga
Tata niaga yang amburadul dan distribusi yang kacau-balau. Jangankan untuk menyediakan angkutan bagi tuna tangkapan di Jayapura dengan kontainer berpendingin yang efisien, fasilitas pembekuan yang ada di Jakarta saja tidak efisien dengan segala hambatan dan persoalan di mana-mana.
Aturan tumpang tindih
Administrasi yang rumit, izin, surat rekomendasi, laporan pemeriksaan yang bermacam-macam, khususnya dalam persoalan impor barang tentu kian meningkatkan harga barang. Inilah yang menyebabkan ketidakpastian dan melebarkan ruang untuk korupsi. Cek saja gaya hidup petugas bea cukai di Indonesia yang rekening simpanannya bisa bersaing dengan rekening perwira-perwira Kepolisian Indonesia yang sering dibilang gendut.
Pelabuhan tak laik
Pelabuhan-pelabuhan yang layak di dunia saat ini menggunakan sistem komputer terbaru untuk mengatur lalu lintas barang yang menjamin kecepatan, keamanan dan kepastian. Di Indonesia, kondisi semacam itu masih harus diperjuangkan. Kondisi pelabuhan di Indonesia berbeda-beda. Berbeda pula cara penanganannya. Menurut catatan Bank Dunia, pengusaha-pengusaha di Jawa Barat harus menganggarkan fulus hingga 1 juta dolar AS lebih untuk mengatasi persoalan ini.
Josephine juga mengungkapkan upaya Bank Dunia dan BUMN yang mengurusi pesoalan jasa angkutan logistik dan pelabuhan di Indonesia untuk membenahi persoalan dalam program-program kerja sama dengan Bank Dunia.
Bank Dunia menilai, Indonesia sebagai negara kepulauan memerlukan ongkos logistik yang lebih mahal ketimbang negara lain yang bukan kepulauan. Karena itu, pembenahan sistem transportasi, sistem jasa logistik, dan efisiensi penanganan moda transportasi dan angkutan logistik merupakan pekerjaan rumah pemerintahan baru yang harus diprioritaskan.*
by: Varia_id
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar