Rakyat Indonesia sebenarnya sangat patuh, budaya patuh dan taat. Semua akan patuh bila ada penegakan hukum termasuk dalam kelola sampah. Tapi akan lebih bandel bila mereka bayar retribusi sampah, tapi birokrasi tidak bekerja dengan baik. " Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation #GiF Jakarta"
Leading sector persampahan khususnya Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian PUPR tidak menjalankan
regulasi sampah dengan baik dan benar. 15 Kementerian dan Lembaga (K/L) bekerja
parsial.
Pemerintah sendiri abai dengan Perpres No. 97 Tahun
2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jaktranas Sampah).
Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya Bakar hanya
memerintahkan Pemda membuat Peraturan Daerah (Perda) Jakstrada Sampah, tapi
tidak dijalankan, hanya formalitas saja.
Alibi
Rakyat Indonesia Patuh
Kalau warga negara Indonesia, sebut misalnya ke
Singapore saja, pasti ikutan disiplin buang sampah disana..... Tapi setelah
kembali ke tanah air pasti kemalasan itu kambuh lagi. Bagaimana ? Benar kan !!!
Beberapa negara yang sempat penulis survey sampah,
misalnya, Singapore, Jepang, China, Korea Selatan dan lainnya. Sesuai
pengamatan di lapangan, memang masyarakatnya taat karena penegakan aturan yang
sangat disiplin.
Terlebih suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan
sampah lebih tersedia sesuai kebutuhannya. Juga mereka mengelola sebagian besar
sampah di kelola pada kawasan timbulannya.
Mereka sudah sadar bahwa sampah itu bukan masalah,
tapi sebuah peluang ekonomi bila diberdayakan. Juga umumnya di pihak ketigakan
kepada pengusaha (kontrak kerja) dengan pola full G to B (goverment to bisnis).
Pemerintah hanya menerima kontribusi untuk negara atas pengelolaan sampah oleh pihak swasta, hampir semua negara memakai sistem ini. Pengelolaan sampah di luar negeri dengan pendekatan circular economy (daur ulang di kawasan timbulan) sangat mencolok.
Indonesia sebenarnya harus menerapkan pola Sentralisasi-Desentralisasi. Regulasi sampah Indonesia mengamanatkan circular economy seperti di luar negeri tersebut. Artinya sekitar 80% sampah di kelola di TPS, sisa residunya 20% dibawa ke TPA Landfil.
Tantangannya saja, bila pola circular economy ini
dijalankan, kemungkinan besar oknum birokrasi tidak terlalu menikmati fulus
(koruptif) dari pengelolaan sampah ini. Ini alasan klize yang terjadi.
Artinya bisa dipastikan oknum birokrasi lebih senang
monopoli karena ada angkutan sampah ke TPA, ada biaya angkut dan biaya
pengelolaan sampah dan setoran pengusaha yang ada di TPA yang mudah
dipermainkan.
Pemerintah
Harus Merubah Paradigma
Intinya birokrasi harus lebih dahulu memberi contoh
(panutan) dengan merubah paradigma kelola sampah. Terlebih penting menegakkan
regulasi persampahan yang ada. Jalankan Pasal 12,13,14,15,21,44 dan 45 UUPS.
Pedomani Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2012
Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Termasuk turunan regulasi itu sendiri sampai pada Jakstrada.
Yakin Indonesia akan bebas sampah dan sampah akan
terkelola lebih baik dan berhasil guna dibanding pola pengelolaan sampah cara
konvensional tanpa regulasi. Sampah Indonesia sangat berpontensi menciptakan
lapangan kerja dan mengangkat naik kelas usaha sektor riel.
Alasannya......
Regulasi sampah Indonesia sudah sangat bagus, bila
dijalankan dengan baik maka pengelolaan sampah Indonesia akan lebih baik daripada
yang ada di luar negeri.
Mari bersama gugah kesadaran oknum penguasa dan
asosiasi, agar menjalankan regulasi dengan benar dan massif. Karena bila hal
ini dibiarkan, korupsi pengelolaan sampah akan semakin menggila.
Indonesia akan menjadi TPA, penampung dan penikmat sampah
terbesar di dunia. Ini akibat oknum birokrat yang diduga ada sengaja
"menyimpang" dari perundang-undangan (sampah) yang ada di republik
ini, untuk melanggengkan monopoli.
Solusi sampah ada di Hulu atau sumber timbulan,
bukan di Hilir (TPA/TPST/Sungai). Sebagaimana yang terjadi pada perlombaan
Adipura, Green Hospital dan lainnya, tidak memberi dampak positif kepada warga,
karena dalam pelaksanaannya terlalu banyak "diduga" pembohongan dan
pembodohan publik.
Begitu juga kepada seluruh asosiasi dan komunitas
yang berbasis sampah, jangan membiarkan kedzaliman regulasi terhadap UUPS oleh
oknum penguasa dan pengusaha itu sendiri ?
Jangan terlalu muluk-muluk asosiasi bicara dan
mengantar rakyat bermimpi buruk pilah sampah, tapi hanya omong doang saja.
Asosiasi harus pahami bahwa asosiasi itu adalah mitra sejajar pemerintah dan
sebagai pengayom anggota dan masyarakat konsumennya.
Sesungguhnya sudah tahu masalahnya dimana, nah
kenapa biarkan. Bolehlah abai UUPS, bina dan majukan usaha. Tapi jangan atas
nama asosiasi, jangan manfaatkan asosiasai untuk kelancaran pribadi usahanya.
Tanggung-jawabnya besar ?! Sadar dan cerdaslah berasosiasi.
Itu masalahnya, sehingga Indonesia masih darurat
sampah sampai sekarang. Mampukah kita berubah?
Surabaya, 15 Mei 2020
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page Read More...