by: H.Asrul Hoesein
Desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah bukan hanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tapi juga menuntut pemerintah daerah lebih kreatif guna meningkatkan PAD (Pendapatan Asli daerah) sebagai akibat dicabutnya subsidi dari pemerintah pusat.
Berpijak dari sini, banyak kalangan yang mengkhawatirkan diabaikannya masalah pengelolaan lingkungan oleh pemerintah daerah demi meningkatkan PAD mereka melalui berbagai upaya yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimilikinya tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian ekologinya.
Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan melihat kondisi para elit politik di daerah-daerah belum tentu memiliki visi pembangunan daerah yang berkelanjutan. Fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan berkelanjutan ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah ketika era sentralisasi masih berlaku di negeri ini. Apalagi sampai saat ini, banyak kalangan pemerintah daerah yang masih terpengaruh euphoria otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada mereka, karena itu, pembangunan daerah dengan pendekatan yang berkelanjutan mungkin masih jauh dari perhatian mereka. Yang ada dibenak mereka adalah bagaimana sebanyak mungkin menghasilkan pendapatan yang besar dengan memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki daerah.
Kekhawatiran itu nampaknya menjadi kenyataan. Kenyataan yang mengemuka pada masa-masa awal perjalanan otonomi daerah adalah justru berbagai kasus eksploitasi lingkungan dan potensi sumber daya alam di daerah. Demi mengejar target peningkatan PAD, daerah seakan berlomba mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang dimiliki tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian ekologinya.
Meskipun kerusakan lingkungan telah lama terjadi di Indonesia, kerusakan lingkungan dimasa otonomi daerah dinilai banyak kalangan semakin menjadi-jadi. Eksploitasi lingkungan makin dominan dan tidak menunjukkan perubahan paradigma kearah pembangunan berkelanjutan. Pemerintah daerah berjuang mati-matian untuk meningkatkan PAD mereka tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Pemahaman terhadap otonomi daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera. Keterbatasan sumber daya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa pemerintah daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan/atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumber daya alam yang tersedia, dan lain-lain.
Selain semakin buramnya prospek pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah ini karena tuntutan untuk meningkatkan PAD, muncul juga fenomena desentralisasi korupsi. Kalau dimasa orde baru korupsi tersentralisasi di pemerintah pusat, sekarang telah merembet ke daerah-daerah dan menghasilkan apa yang dikalangan masyarakat disebut sebagai korupsi berjamaah. Akhirnya tujuan memakmurkan rakyat melalui otonomi daerah sepertinya jauh panggang dari api. Yang tercipta hanyalah kemakmuran pribadi dan golongan elit pemerintah daerah.
Pemda harus menyadari bahwa pengelolaan lingkungan yang baik akan melahirkan kualitas lingkungan yang baik dan sehat. Kualitas lingkungan yang baik dan sehat baru akan menjadikan masyarakat menjadi sehat dan pada akhirnya akan menciptakan pemerintah daerah yang kuat. Apapun alasannya, pemda dalam membuat sebuah kebijakan harus menjaga kesehatan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekositem dan keberlangsungan ekologi di daerahnya. Selama ini kebijakan pemerintah daerah dan keinginan masyarakat lebih banyak menekankan sisi ekonominya dan mengabaikan sisi sosial dan ekologi lingkungan. Mari kita berubah, katanya tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
0 komentar :
Posting Komentar