Dalam rangka meningkatkan kualitas sistem sertifikasi produk melalui penerapan skema sertifikasi yang tepat, serta mendukung peraturan dari kementerian teknis yang mewajibkan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam meningkatkan perekonomian nasional dan melindungi masyarakat, Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyelenggarakan Sosialisasi Skema Sertifikasi Produk dan Mekanisme Penggunaan Tanda Kesesuaian Berbasis SNI di Jakarta pada Selasa (24/02/2015). Acara menghadirkan dua narasumber yakni Sekjen KAN, Suprapto, dan Manager Akreditasi Produk, Pelatihan dan Personel KAN, Donny Purnomo.
Dalam kesempatan tersebut, Suprapto menyampaikan paparan mengenai “Penilaian Kesesuaian dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2014 Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian”. Dalam Pasal 34 UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) disebutkan bahwa kegiatan pengujian, inspeksi, dan sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan persyaratan kompetensi yang diakui di tingkat internasional. Adapun, persyaratan tersebut mengacu kepada SNI ISO/IEC terkait penilaian kesesuaian (17000, 17025, 17020,17021,17065,17024) dan Persyaratan IAF/PAC, APLAC/ILAC.
Menurut Suprapto, terkait kegiatan Penilaian Kesesuaian dalam pasal 36 dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang telah diakreditasi oleh KAN. Dan, LPK yang menjalankan kegiatan di Indonesia wajib berbadan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, KAN juga dapat membekukan sementara atau mencabut Akreditasi LPK jika LPK tersebut dinilai tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya atau telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan syarat dan aturan akreditasi. Terkait akreditasi, KAN memiliki target capaian untuk melaksanakan proses akreditasi secara efektif dan efisien paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun semenjak kelengkapan dokumen akreditasi dinyatakan memenuhi.
Sementara terkait dalam hal tindak pidana, ketentuan tindak pidana dilakukan dimaksudkan agar instrumen pengawasan terhadap integritas SNI (produk yang beredar dan bertanda SNI 100% memenuhi SNI); persaingan usaha yang sehat; peningkatan kapasitas industri ; perlindungan konsumen; membantu regulator dan LPK dalam kegiatan pengawasan produk yang beredar; serta peningkatan akses pasar dan daya saing produk terhadap ketidaksesuaian integritas tanda SNI.
Oleh karenanya, dengan adanya sosialiasi ini diharapkan LPK dan industri penerap SNI dapat memahami mengenai UU Nomor 20/2014 dan ketentuan Pidana yang ada di UU 20 sehingga di lapangan tidak terjadi hal-hal yang melanggar ketentuan Pidana.
Sementara, Donny Purnomo memaparkan mengenai Peningkatan Kinerja Sistem Sertifikasi Produk. Menurut Donny, UU SPK bertujuan untuk meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi; meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; serta meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri.
Dengan demikian, tambah Donny, dengan meningkatkan kinerja sistem sertifikasi produk diharapkan dapat melindungi kepentingan publik dan lingkungan; produk bertanda SNI dapat menjamin keamanan, kesehatan, dan keselamatan penggunanya; produk bertanda SNI tidak mengganggu fungsi dan tidak mencemari lingkungan; dan apabila SNI diberlakukan wajib, tidak ada produk yang tidak memenuhi persyaratan SNI yang beredar di wilayah RI.
Selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap produk bertanda SNI yang beredar di pasar domestik sehingga produsen yang menghasilkan produk bertanda SNI memperoleh pangsa pasar yang lebih luas dan dapat mengembangkan usahanya di wilayah RI; dan hanya produk asing yang benar-benar memenuhi persyaratan SNI dan dihasilkan oleh produsen yang bertanggungjawab yang dapat beredar di wilayah Indonesia, sehingga bersaing secara sehat dengan produsen dalam negeri; sedangkan pelaku usaha yang memasukkan produk asing bermutu rendah dan merugikan pelaku usaha yang “baik” - tidak dapat mengembangkan usahanya di wilayah RI. (nda)
Sumber: BSN
0 komentar :
Posting Komentar