Wisata organik dimulai dengan penjelasan singkat, sekitar Pkl 10. 45, dari sentra tanaman hias Tegalega, perjalanan menuju Mini Instalasi Pengolahan Kompos Kota (IPKK) di Cipadung Cibiru. Sampah
yang ditimbulkan warga 1 RW di kawasan Cipadung, sekitar mini IPKK ini, berada, diolah menggunakan
Komposter Rumah Tangga ( S,M dan L) serta alat komposter Hand
Rotary Klin. Dengan waktu kurang lebih 12 hari, sampah dalam komposter ini pun terdekomposisi menjadi hitam dan menyusut sekitar 50 %. Dengan harga murah, kisaran Rp. 295.000 hingga
Rp 595.000,- per unit, alat komposter mampu memberi pendapatan kepada
pengelola Instalasi IPKK sederhana ini. Sang perintis,
Iman Sutriman, berusaha menyampaikan secara detail informasi serta
pengalaman dia, memulai usaha kecil ini hingga sekarang mengelola
sekitar 10 Unit Komposter Type L, 1 Unit Hand Rotary Klin composter
kapasitas 200 kg per proses dan maupun penjualan hasil daur ulang sampah anorganik (plastik, kertas, logam) .
Peserta wisata pun mencoba membuat kompos pada komposter BioPhosko ini dengan semangat. Bermula dengan menaburkan penggembur, yakni bahan mineral Green Phoskko (GP-2), sampah yang tadinya berbau sekejap jadi netral "wangi"nya. Kemudian peserta pun belajar langsung melarutkan, mengaduk dan menyimpan aktivator mikroba pengurai sampah organik Green Phoskko (GP-1), dalam ember tersedia. Setelah dianggap terlarut, aktivator ini dicipratkan ke atas tumpukan sampah organik hingga lembab. Memang saat itu peserta menggunakan aktivator yang sudah tersedia, karena mestinya larutan itu sudah tersimpan minimal 4 jam sebelum digunakan. Setelah diaduk hingga merata, aneka bahan sampah dengan mineral penggembur serta percikan larutan aktivator kompos pun menjadi "adonan kompos". Nah, adonan inilah, yang kemudian dimasukan kedalam komposter menggunakan sekop. Ramai-ramailah semua peserta mencoba memasukan adonan ini, kemudian komposter disimpan di tempat teduh dan tidak terkena hujan maupun sinar matahari langsung.
Sekitar pkl 12.00, usai belajar membuat kompos menggunakan komposter skala Rumah Tangga, setelah perjalanan sekitar setengah jam mengitari Kota Bandung, sampailah bis, yang membawa 25 an peserta Wisata Organik ini ke Rumah makan sederhana di kawasan Bojongsoang, sebelum tol ke arah Sumedang Garut. Agak mengagetkan juga, ketika makan siang disuguhi aneka makanan suasana "kampungan" dan konon bahan masakannya, berupa sayuran bebas pupuk kimia dan pestisida. Penampakan luar, kelihatan sayuran nggak semulus di Supermarket. Ada antanan, tespong dengan sambel dadakan, ada belut goreng, impun ( ikan kecil-kecil), pepes bendot, goreng hurang ( udang air tawar kecil biasa hidup di danau atau situ ). Disini para peserta dapat melepas penat setelah duduk dan diskusi di dalam bis, atau bagi Muslim bisa menjalankan ibadah sholat di Mushala yang tersedia serta juga, bagi perokok, yang selama dalam bis "No Smoking", bisa berpuas menghabiskan sebatang rokoknya.
Setelah makan dengan nikmat, seringkali kita makan hanya enak tapi lain dengan arti nikmat, minuman pun disuguhkan air teh hangat yang enak wanginya. Ternyata, air dan segala masakan itu bukan ditanak dan dimasak diatas kompor minyak atau gas melainkan, menggunakan "hawu" ( tungku, sunda- red) dengan kayu bakar. Jadilah air teh hangat yang harum dan enak tanpa kontaminasi rasa dan bau minyak sedikitpun- melainkan aroma asap kayu bakar dengan wangi khasnya.
Dengan perut kenyang, setelah satu jam perjalanan melewati sawah dan ladang penduduk, sekitar pkl 14.00, sampailah peserta Wisata Organik ke lokasi Instalasi Pengolahan Kompos Kota (IPKK) Posko Hijau di Ciparay. Sebenarnya daerah ini sudah masuk wilayah Kabupaten Bandung, melewati daerah tempat bermukimnya dalang wayang terkenal, Asep S Sunarya serta Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Jelekong. Semua peserta pun nampak merasakan suasana desa yang resik. Dengan penjelasan tatacara pengolahan sampah, skala komersial ini, Ibu Tuti, perintis usaha ini menjelaskan bahwa sampah dari sekitar rumah dan pasar diolah hanya 5 hari bisa menjadi kompos, yakni jenis pupuk organik yang amat penting bagi pertanian dalam menghasilkan bahan makanan sehat.
Suasana resik pedesaan di sekitar Bandung amat terasa disini. Masih ada angsa berkeliaran, ada kolam ikan serta ternak domba dan ayam, yang satu sama lain saling berkorelasi atau "bersimbiose mutualis" gitu dech. Sampah organik, hasil pemilahan bahan kompos, jadi makanan ternak domba; Dan, kotoran domba itu menjadi bahan kompos. Demikian juga kotoran ayam menjadi bagian dari bahan kompos, yang bermanfaat dalam menaikan kandungan unsur hara kompos dan memperbaiki C/N rasio serta temperatur dalam proses pembuatan kompos. Namun, jangan disangka jika tempat ini, kendati dekat kotoran dan sampah, adalah bau dan kotor. Bahkan, lalat pun hampir tidak ada sama sekali dan rumah yang lokasinya hanya 2 m dari IPKK resik-resik aja kok.
Bahan sampah, yang telah dirajang dengan mesin pencacah sampah organik (MPO), menjadi ukuran sekitar 10-15 mm, diberi material mineral penggembur Green Phoskko (GP-2) agar menyerap mikroba patogen, menaikan PH bahan kompos menjadi netral, menjaga kelembaban air serta terutama menghilangkan bau sampah- khususnya jika sampah berasal dari pasar dan telah lebih dari 10 jam tersimpan. Ukuran sampah memang masalah bagi bahan asal pasar, seringkali berukuran besar sehingga memerlukan perajang mengecilkannya. Namun, sampah rumah tangga umumnya sudah kecil tidak perlu lagi perajang dong............!! Apapun caranya, buatlah ukuran sampah sekecil mungkin jika bisa, kaitannya dengan kecepatan proses dekomposisi saja. Makin kecil dan halus, dijamin sesuai cerita ini, 5 hari jadi kompos yang baik.
Kompos yang dihasilkan amatlah menguntungkan jika sekali proses 1 ton bahan sampah, sesuai kapasitas Rotary Klin RKM 1000L, 5 hari kemudian menjadi 400 hingga 500 kg kompos dan sekitar 20 botol @ 500 kg pupuk organik cair. Dengan harga murahnya, kompos Rp 1000,-/ kg dan pupuk cair Rp 40.000,-/ botol, tidak akan kurang dihasilkan Rp. 1.000.000 hingga Rp 1.500.000,-/ hari. Sungguh suatu pendapatan yang menggiurkan jika saja para peserta, selepas trip atau wisata organik ini segera membuka usaha sama. Bahkan dalam Trip ke-3, sekitar bulan Agustus lalu, yang diikuti para pengusaha dan pejabat Koperasi Malaysia-, Dato' Adzmy Abdullah, Kuasa Setia Usaha Kementrian Koperasi dan Pembangunan Usahawan Malaysia, sangat tertarik dan akan mengembangkan Instalasi Produksi Kompos ini bagi usahawan di Malaysia.
Sepanjang jalan yang dilalui, peserta akan melihat langsung tanaman sehat menyehatkan. Pengertian sehat dalam arti bagi manusia, bukanlah sebagaimana dilihat di super market. Bahkan tanaman sehat menyehatkan justru seringkali daunnya berlobang, mungkin bekas ulat, karena tanaman bebas pestisida. Peserta, lagi, di beri penjelasan Ibu Tuti tentang produksi beras sehat BerSeka, di kawasan sawah yang sepenuhnya menggunakan kompos. Padi mulai sebagian menguning dengan biji padi yang bernas, menandakan sekitar 2 minggu lagi akan panen. Sawah di sekitar Ciparay ini telah menggunakan kompos dan beberapa petak petani juga menggunakan pupuk majemuk Gramalet formula tanaman Padi.
Masih Sekitar Ciparay, seusai melihat pesawahan organik, peserta Trip
disinggahkan ke tempat yang amat sederhana. Disini dapat dinikmati
aneka penganan, yang pasti organik dan alami mengingat hasiltanaman
para petani sekitar dengan keadaan ekonomi yang sederhana atau petani
miskin. Ada kelapa muda, kacang kedelai rebus terkadang kacang tanah
rebus, semangka dan bahkan makanan khas daerah ini yakni "borondong
garing'. Di sekitar ini pula bisa didapatkan kerajinan wayang golek,
lukisan, aneka alat dan bahan memancing serta hobby burung dan melihat
pemandangan sawah yang seluas mata memandang....................Peserta wisata pun mencoba membuat kompos pada komposter BioPhosko ini dengan semangat. Bermula dengan menaburkan penggembur, yakni bahan mineral Green Phoskko (GP-2), sampah yang tadinya berbau sekejap jadi netral "wangi"nya. Kemudian peserta pun belajar langsung melarutkan, mengaduk dan menyimpan aktivator mikroba pengurai sampah organik Green Phoskko (GP-1), dalam ember tersedia. Setelah dianggap terlarut, aktivator ini dicipratkan ke atas tumpukan sampah organik hingga lembab. Memang saat itu peserta menggunakan aktivator yang sudah tersedia, karena mestinya larutan itu sudah tersimpan minimal 4 jam sebelum digunakan. Setelah diaduk hingga merata, aneka bahan sampah dengan mineral penggembur serta percikan larutan aktivator kompos pun menjadi "adonan kompos". Nah, adonan inilah, yang kemudian dimasukan kedalam komposter menggunakan sekop. Ramai-ramailah semua peserta mencoba memasukan adonan ini, kemudian komposter disimpan di tempat teduh dan tidak terkena hujan maupun sinar matahari langsung.
Sekitar pkl 12.00, usai belajar membuat kompos menggunakan komposter skala Rumah Tangga, setelah perjalanan sekitar setengah jam mengitari Kota Bandung, sampailah bis, yang membawa 25 an peserta Wisata Organik ini ke Rumah makan sederhana di kawasan Bojongsoang, sebelum tol ke arah Sumedang Garut. Agak mengagetkan juga, ketika makan siang disuguhi aneka makanan suasana "kampungan" dan konon bahan masakannya, berupa sayuran bebas pupuk kimia dan pestisida. Penampakan luar, kelihatan sayuran nggak semulus di Supermarket. Ada antanan, tespong dengan sambel dadakan, ada belut goreng, impun ( ikan kecil-kecil), pepes bendot, goreng hurang ( udang air tawar kecil biasa hidup di danau atau situ ). Disini para peserta dapat melepas penat setelah duduk dan diskusi di dalam bis, atau bagi Muslim bisa menjalankan ibadah sholat di Mushala yang tersedia serta juga, bagi perokok, yang selama dalam bis "No Smoking", bisa berpuas menghabiskan sebatang rokoknya.
Setelah makan dengan nikmat, seringkali kita makan hanya enak tapi lain dengan arti nikmat, minuman pun disuguhkan air teh hangat yang enak wanginya. Ternyata, air dan segala masakan itu bukan ditanak dan dimasak diatas kompor minyak atau gas melainkan, menggunakan "hawu" ( tungku, sunda- red) dengan kayu bakar. Jadilah air teh hangat yang harum dan enak tanpa kontaminasi rasa dan bau minyak sedikitpun- melainkan aroma asap kayu bakar dengan wangi khasnya.
Dengan perut kenyang, setelah satu jam perjalanan melewati sawah dan ladang penduduk, sekitar pkl 14.00, sampailah peserta Wisata Organik ke lokasi Instalasi Pengolahan Kompos Kota (IPKK) Posko Hijau di Ciparay. Sebenarnya daerah ini sudah masuk wilayah Kabupaten Bandung, melewati daerah tempat bermukimnya dalang wayang terkenal, Asep S Sunarya serta Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Jelekong. Semua peserta pun nampak merasakan suasana desa yang resik. Dengan penjelasan tatacara pengolahan sampah, skala komersial ini, Ibu Tuti, perintis usaha ini menjelaskan bahwa sampah dari sekitar rumah dan pasar diolah hanya 5 hari bisa menjadi kompos, yakni jenis pupuk organik yang amat penting bagi pertanian dalam menghasilkan bahan makanan sehat.
Suasana resik pedesaan di sekitar Bandung amat terasa disini. Masih ada angsa berkeliaran, ada kolam ikan serta ternak domba dan ayam, yang satu sama lain saling berkorelasi atau "bersimbiose mutualis" gitu dech. Sampah organik, hasil pemilahan bahan kompos, jadi makanan ternak domba; Dan, kotoran domba itu menjadi bahan kompos. Demikian juga kotoran ayam menjadi bagian dari bahan kompos, yang bermanfaat dalam menaikan kandungan unsur hara kompos dan memperbaiki C/N rasio serta temperatur dalam proses pembuatan kompos. Namun, jangan disangka jika tempat ini, kendati dekat kotoran dan sampah, adalah bau dan kotor. Bahkan, lalat pun hampir tidak ada sama sekali dan rumah yang lokasinya hanya 2 m dari IPKK resik-resik aja kok.
Bahan sampah, yang telah dirajang dengan mesin pencacah sampah organik (MPO), menjadi ukuran sekitar 10-15 mm, diberi material mineral penggembur Green Phoskko (GP-2) agar menyerap mikroba patogen, menaikan PH bahan kompos menjadi netral, menjaga kelembaban air serta terutama menghilangkan bau sampah- khususnya jika sampah berasal dari pasar dan telah lebih dari 10 jam tersimpan. Ukuran sampah memang masalah bagi bahan asal pasar, seringkali berukuran besar sehingga memerlukan perajang mengecilkannya. Namun, sampah rumah tangga umumnya sudah kecil tidak perlu lagi perajang dong............!! Apapun caranya, buatlah ukuran sampah sekecil mungkin jika bisa, kaitannya dengan kecepatan proses dekomposisi saja. Makin kecil dan halus, dijamin sesuai cerita ini, 5 hari jadi kompos yang baik.
Kompos yang dihasilkan amatlah menguntungkan jika sekali proses 1 ton bahan sampah, sesuai kapasitas Rotary Klin RKM 1000L, 5 hari kemudian menjadi 400 hingga 500 kg kompos dan sekitar 20 botol @ 500 kg pupuk organik cair. Dengan harga murahnya, kompos Rp 1000,-/ kg dan pupuk cair Rp 40.000,-/ botol, tidak akan kurang dihasilkan Rp. 1.000.000 hingga Rp 1.500.000,-/ hari. Sungguh suatu pendapatan yang menggiurkan jika saja para peserta, selepas trip atau wisata organik ini segera membuka usaha sama. Bahkan dalam Trip ke-3, sekitar bulan Agustus lalu, yang diikuti para pengusaha dan pejabat Koperasi Malaysia-, Dato' Adzmy Abdullah, Kuasa Setia Usaha Kementrian Koperasi dan Pembangunan Usahawan Malaysia, sangat tertarik dan akan mengembangkan Instalasi Produksi Kompos ini bagi usahawan di Malaysia.
Sepanjang jalan yang dilalui, peserta akan melihat langsung tanaman sehat menyehatkan. Pengertian sehat dalam arti bagi manusia, bukanlah sebagaimana dilihat di super market. Bahkan tanaman sehat menyehatkan justru seringkali daunnya berlobang, mungkin bekas ulat, karena tanaman bebas pestisida. Peserta, lagi, di beri penjelasan Ibu Tuti tentang produksi beras sehat BerSeka, di kawasan sawah yang sepenuhnya menggunakan kompos. Padi mulai sebagian menguning dengan biji padi yang bernas, menandakan sekitar 2 minggu lagi akan panen. Sawah di sekitar Ciparay ini telah menggunakan kompos dan beberapa petak petani juga menggunakan pupuk majemuk Gramalet formula tanaman Padi.
Setelah berpuas menikmati dan melepas dahaga meminum kelapa muda di depan pesawahan di Jelekong, berangkat menuju Kota Bandung. Dengan mengambil jalan baru, bukan sama dengan berangkat, melalui daerah Sapan, sekitar 1 jam kemudian atau pkl 16.00, sampailah peserta Trip Organik kembali ke tempat Meeting Point semula, sentra tanaman hias Tegalega Kota Bandung. Di sini peserta wisata organik disaji aneka minuman berbahan serba herbal dan berkhasiat. Disinipun peserta dapat melepas penat, setelah duduk tanya jawab di Bis, serta seharian belajar membuat kompos dan usaha pertanian. Peserta masih bisa ber "kongkow ria" dibawah tenda, dengan semilir angin sore Bandung, sambil "cuci mata" mengamati jalan yang dilalui banyak peuyeum bandung, eh perempuan Bandung. *)
0 komentar :
Posting Komentar