Tolak Perpres PLTSa [dok_Asrul] |
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaku tidak masalah dengan judicial review
yang didaftarkan oleh koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam
Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah terhadap Peraturan Presiden Nomor 18
Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis
Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK, Tuti Hendrawati
Mintarsih mengatakan bahwa jika memang ada keberatan atas poin-poin
dalam Perpres 18/2016, siapapun bisa mengajukan judicial review. Perpres tersebut, lanjutnya, saat ini berada di bawah Kementerian Koordinator Kemaritiman.
“Uji materiil itu saya rasa hanya ketakutan saja akan penggunaan insenerator. Kan
yang tertuang di perpres itu bukan cuma insenerator yang digunakan tapi
ada juga teknologi termal dan semacamnya,” katanya kepada Greeners,
Siak, Kamis (21/07).
Fictor Ferdinand, direktur harian Yayasan Pengembangan Biosains dan
Bioteknologi (YPBB), menyatakan tujuan membangun pembangkit listrik
tenaga sampah adalah ide yang bagus. Namun, akan menjadi masalah ketika
cara mengolah limbahnya tidak sesuai dengan hukum alam.
Ia memberi contoh seperti pengolahan sampah menjadi biogas atau
biodigester yang mengolah limbah hingga menghasilkan energi. Bedanya,
jenis limbah yang diolah adalah limbah organik yang memang di alam akan
terurai dan berdaur dalam siklus alam.
“Tapi kalo sampahnya anorganik dan dibakar, masalah ada di dua sisi.
Di sisi sumberdaya, dia tidak terbarukan jadi harusnya dihemat dan
dipertahankan usia dan pemanfaatannya selama mungkin. Di sisi limbah,
hasil pembakaran juga bermasalah karena abu dan asap serta partikulat
yang lepas dari pembakaran mestinya digolongkan jadi limbah B3,” katanya
menjelaskan.
Sebelumnya, permohonan uji materiil tersebut diajukan ke Mahkamah
Agung (MA) oleh 15 orang pemohon perorangan yang berasal dari kota-kota
yang menjadi sasaran Perpres 18/2016 dan 5 lembaga swadaya masyarakat
yaitu Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, KRuHA dan Gita Pertiwi.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi), mengatakan ada lima alasan uji materiil diajukan.
Pertama, bagian terkait “Percepatan” dalam Perpres 18/2016 bertentangan
dengan kerangka hukum pencegahan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kedua, pembatasan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan teknologi
termal dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan sistem pengelolaan
sampah dan tujuan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ketiga, keberadaan Perpres 18/2016 menimbulkan ancaman serius yang
tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia
sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi
Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keempat, bagian terkait “Percepatan” dalam Perpres 18/2016 merupakan
penyalahgunaan kewenangan presiden dan para kepala daerah yang
berpotensi merugikan keuangan negara.
“Kelima, pengundangan Perpres 18/2016 dilakukan tanpa
mempertimbangkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, khususnya “dapat dilaksanakan” dan “kedayagunaan dan
kehasilgunaan” sehingga bertentangan dengan Pasal 5 huruf (d) dan (e) UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih
Sumber: Greeners (22 Juli 2016)
0 komentar :
Posting Komentar