Ketua Umum KADIN Indonesia dan Ketua Umum HIPPI Indonesia
di Publish to Blog AsrulhoeseinBrother.
Pemberlakuan berbagai perjanjian perdagangan bebas, yang terbaru ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), menimbulkan beragam reaksi dari kalangan pengusaha. Mereka yang setuju berpendapat, ini peluang yang harus dimanfaatkan. Sebaliknya, pihak yang bersuara minor melihat Indonesia kalah kompetitif ketimbang negara-negara mitranya. Pada saat yang sama, Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia dan kaya
sumber daya alam diprediksi sejumlah kalangan bakal menjadi salah satu negara yang memimpin persaingan ekonomi dunia. Sayangnya, sejumlah kendala menghadang. Minimnya infrastruktur dan tingkat suku bunga seakan memberatkan langkah Indonesia menuju posisi terhormat di kancah persaingan ekonomi dunia itu. Terkait hal ini, wartawan Republika , Firkah Fansuri dan Shally Pristine , beserta pewarta foto, Amin Madani , mewawancarai Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Sulisto, akhir pekan lalu.
Bagaimana Anda menanggapi pro-kontra pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade
Area)?
Saya melihatnya dari beberapa aspek. Kalau dari sisi kesiapan untuk berkompetisi, harus diakui produk-produk kita memang kurang bersaing dengan produk Cina. Misalnya, dari sisi harga, biaya produksi, dan sebagainya. Di lain pihak, kita harus melihat secara fair , ketidakmampuan atau rendahnya daya saing pengusaha kita.
Alasannya
mengapa?
Dari sisi kemampuan bisnis dan sebagainya, saya kira sudah cukup baik. Akan tetapi, dari lingkungan kan tidak fair karena di sana (Cina) tingkat suku bunga satu digit dan biaya energi lebih murah. Infrastruktur juga lebih lengkap sehingga biaya logistiknya lebih murah. Jadi, mereka memiliki kemampuan bersaing. Kalau memang keadaannya demikian, pemerintah sebaiknya mengakui kesiapan dalam negeri belum mampu.Karena itu, kita harus melindungi kepentingan bersama, yaitu industri dalam negeri. Sebab, kalau tidak, industri-industri kita akan tutup, pengangguran akan meningkat. Jadi, seharusnya kita lebih optimal memperjuangkan industri dalam negeri diberi kesempatan ‘bermain’ di level playing fields . Jadi, lapangannya harus rata dong , nggak bisa lebih tinggi di pihak pesaing-pesaing kita. Lebih mudah untuk mereka menyerang kita, kita ke mereka nanjak gitu kan . Kondisi level playing fields inilah yang harus kita ciptakan. Ini bukan tanggung jawab pengusaha saja, pemerintah secara terus-menerus harus melihat kondisi lapangan di negara-negara pesaing kita. Jangan defensif saja, harus proaktif mencoba memperbaiki diri juga.
Dari sisi pemerintah, apakah upaya perbaikan daya saing sudah maksimal? Belum karena kita bisa lihat dari kebijakan-kebijakannya. Masak sih tingkat suku bunga dan tarif pajak tidak bisa diturunkan?
Mengapa tidak bisa diberikan kemudahan-kemudahan dalam perizinan?
Hal-hal yang seperti itu penting juga diupayakan semaksimal mungkin. Kita ada dalam satu perahu. Kita harus mengobarkan semangat Indonesia Incorporated bahwa daya saing bangsa tanggung jawab semua komponen. Barangkali, ini memerlukan perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa mungkin tidak ada salahnya kita mengambil sikap. Saya mengistilahkannya probisnis. Probisnis berarti propertumbuhan ekonomi, propengentasan kemiskinan. Jadi, probisnis akan membawa manfaat positif dalam segala bidang, dalam peningkatan pendapatan negara, dan dalam lapangan kerja.Pola pikir ini perlu dipahami teman-teman kita di pemerintahan dan DPR. Ciptakan kondisi seatraktif dan sekondusif mungkin. (file 19 April 2010, Republika)
Kilas Balik Suryo Bambang Sulisto
Suryo lahir di Surakarta, 11 Februari 1947, putra ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Purbokusumo Sulisto dan Arbaiah. Suami Cicie Sri Redjeki itu menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di DKI Jakarta kemudian melanjutkan ke sekolah menengah atas di Hamburg, Jerman, karena sang ayah bertugas di sana sebagai Kepala Perwakilan CTC di Eropa.
Setelah tamat sekolah menengah atas, dia pindah ke Amerika Serikat dan mendapat beasiswa di University of Wisconsin dalam bidang ekonomi dan bisnis kemudian melanjutkan pendidikan di Washington International University, Pennsylvania. Ia mendirikan Satmarindo Group, perusahaan kontraktor lepas pantai dan pemilik kapal-kapal besar Asia Tenggara, setelah menyelesaikan pendidikan di luar negeri.
Kini perusahaan itu memperluas usahanya pada bidang pariwisata, fabrikasi baja, retail dan pertambangan batu bara. Selain itu, tahun 2001-2007, Suryo menjabat Komisaris PT Jamsostek dan sekarang menjadi Komisaris Utama perusahaan pertambangan batubara PT Bumi Resources.
Suryo juga aktif di sejumlah organisasi. Dia sudah bergabung dalam kepengurusan Kadin sejak tahun 1980, mulai dari departemen luar negeri dan investasi, departemen pertambangan dan energi, ketua Kadin Bidang Promosi Perdagangan, Pariwisata dan Investasi dan terakhir menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia.
Waktu itu dia juga bergabung dengan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dan saat ini menjadi ketua umumnya. Dia juga pendiri dan pengurus Yayasan Teknologi dan Lingkungan, Presiden ASEAN Travel Association, dan Indonesian Business Associaion of Singapura, Ketua Kadin Indonesi Komite Inggris, dan Kadin Indonesia Komite Brazil, Utusan Khusus Presiden untuk wilayah benua Amerika tahun 1998-2001.
Catatan: H.Asrul Hoesein; Ketum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Sulawesi Tenggara, Sekum HImpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sulawesi Tenggara.
1 komentar :
ASs.Alaikum.... Bung @Obeng..makasih sudah mampir dan saya sdh ke situsnya (Univ. Andalas)...saya mau komentar disana tapi ga ada space ya...... sebaiknya buat space komentar di situs Univ. Andalas tersebut..... Ok
Salam
Posting Komentar