oleh; Asrul Hoesein
Sebenarnya, sangat difahami bahwa pemerintah Indonesia saat ini, khususnya Presiden SBY serta seluruh Menteri KIB II dan Anggota DPR, cukup mengerti “pintar” berstrategi dalam mengelola negara ini. Namun sekedar kembali mengingatkan saja bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat, membaca strategi itu.Artinya ada yang keliru di Indonesia, Kenapa? Hampir semua wilayah di Indonesia, masing-masing mempunyai catatan atau nasehat strategi“tempoe doeloe” dari orang tua atau pemerintahan setempat, atau nasehat kerajaan di daerah, coba kembali belajar dari sana.
Kado STRATEGI dari Bugis ini, merupakan info buat Pak SBY dan Elit lainnya termasuk para Anggota DPR, agar diketahui, atau menyegarkan ingatan beliau-beliau semuanya, bahwa bangsa indonesia cukup punya dasar untuk ber demokrasi dengan cerdas dan sehat, ini sudah ditunjukkan (fakta sejarah) oleh kerajaan-kerajaan yang ada dan pernah berkuasa di nusantara. Coba tanya ke Negeri Belanda atau Jepang, mereka tau semua ini. Strategi Bugis ini mungkin lebih kurang sama dengan Strategi China Kuno “Sun Tzu”. Tapi entahlah??!!. Saya yakin Jusuf Kalla (Ketua PMI dan Mantan Wapres), memakai strategi bugis ini di dalam geliat beliau di pemerintahan, parlemen, bisnis dan sosial.
Strategi Manajemen Pemerintahan Anti Korupsi
Strategi pemerintahan besutan Lamellong, si penasehat Raja Bone ini, setidaknya dapat dijadikan acuan menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng” (Sistem Norma). termasuk acuan pula untuk penasehat ahli presiden termasuk para menteri cabinet serta anggota DPR, dalam rangka menegakkan kedaulatan NKRI dan pemberantasan korupsi.
Sebagai seorang manusia biasa “Lamellong” diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516). Dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan. Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Lamellong diangkat menjadi “Penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone”. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.
Pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada pemerintah kerajaan ada empat hal, yakni :
- Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
- Tidak memejamkan mata siang dan malam;
- Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
- Raja atau pemimpin harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Dalam dialog Lamellong dengan Raja Bone (berkata Raja Bone : Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.
Selain itu, ajaran Lamellong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain:
- Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;
- Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
- Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau (Raja atau Pemerintah) berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Pemimpin dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong sebagai berikut :
- ADE’; sistem “norma” yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :a) Ade pura Onro, norma bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah. b) Ade Abiasang, sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM). c) Ade Maraja, sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- BICARA; aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah atau subyektif.
- RAPANG; aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
- WARI; suatu sistem yang mengatur tentang batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
- SARA (Syariah); Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, rapang, dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun komunitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.
Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini masih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis
Khusus para Anggota DPR, tidak perlu study banding ke LN, untuk belajar demokratisasi atau “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan”. Cukup mengkaji sistem norma yang ada di republik ini, Demokrasi untuk Indonesia ya belajarnya di Indonesia pula, Jangan belajar di luar negeri, buat perbandingan saja karena cultur berbeda, khususnya yang ada di bekas-bekas kerajaan yang ada di Indonesia termasuk di kerajaan atau kesultanan Jogya, Solo, Cirebon, Kutai Kartanegara, Banten, Aceh, Deli Serdang Buton, dlsb. Indonesia sangat kaya dengan kearifan lokalnya. Mari kita belajar dan kembangkan kearifan lokal yang ada.Indonesia sangat kaya dengan itu.
Baca Postingan Jusuf Kalla; Diplomasi Ala Bugis
Bacaan; TELUK BONE, Blog Pusat Informasi, Seni, dan Budaya Bugis Bone
0 komentar :
Posting Komentar