oleh: H.Asrul Hoesein
Menyikapi salah satu program pemerintah c/q Kementerian Negara Lingkungan Hidup, tentang penilaian kebersihan terhadap kab/kota di Indonesia yang dilaksanakan setiap tahunnya, penghargaan dari pemerintah; ada berupa piagam dan piala, yang disebut Adipura.
Sesuai fakta, pantauan langsung saya (melalui timwork GIH Foundation) di lapangan, hampir semua kab/kota yang mengikuti dan terkhusus yang sempat memperoleh Piagam atau Piala Adipura. Ironis karena hanya semata mengejar pialanya lalu masing-masing mendirikan tugu adipura di wilayahnya. Ini semua tidak mencapai target atas substansi akan eksistensi Piala Adipura itu sendiri.
Pertanyaannya; Kenapa sampai substansi program ini tidak sustainable? Alasan makronya (inti), lagi-lagi cuma klasik adalah tidak adanya keadilan dari semua lini mengelola negeri ini. Lalu Apa alasan mikronya? Adalah tidak adanya “nilai ekonomis” yang diberikan pemerintah dalam (menyertai) penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya nilai-nilai kebersihan lingkungan. Tidak ada penanaman kemandirian. Karena bila ada nilai ekonomi didalam kegiatan ini maka tentu di”hilir”nya akan tercipta entrepreneur-entrepreneur di masyarakat (akan berdampak sustainable). Begitu pula tidak ada penciptaan “government entrepreneurship” terhadap birokrasi yang terlibat. Jadi di hulunya sudah sejak dini tertanam mental korupsi, maka pasti program “Piala Adipura” ini tidak punya “roh” dan akan sia-sia serta hancur dan tidak sustainable. Seharusnya event seperti Piala Adipura ini berorientasi program bukan berorientasi proyek. Itu harga mati kalau hendak sustainable sebuah program. Sehebat bagaimanapun program itu, pastilah hancur kalau orientasinya proyek.
Saran Buat Tim Penilai dan Pemerintah Kab/Kota.
Sebagai institusi utama dalam menilai layak tidaknya suatu kab/kota menerima Piala Adipura ini adalah Kemeneg. Lingkungan Hidup, sedapatnya tim penilai yang mengadakan evaluasi itu, dibekali pengetahuan tentang bagaimana pengelolaan sampah organik dan anorganik, terkhusus pengelolaan sampah organik. Ini yang menjadi masalah, karena banyak yang terjadi system pengelolaan sampah (pengomposan) yang keliru penerapan. Kelihatan secara fisik kab/kota melaksanakan pengomposan ini, ada pembangunan rumah kompos, bak pengomposan (bak tembok, drum plastic), ada pula model takakura, ini juga tidak efektif. Sistem pengomposan dan pembuatan sarana dan prasarananya hampir semua keliru, terlebih tidak ada pembekalan mengarah kepada industri krestif (nilai ekonomis) didalam proses pelaksanaan pengomposan, agar sampah dapat dijadikan sebagai bahan baku produksi lanjutan. Ini harus dilakukan, harga mati, jangan biarkan anggaran mubadzir melalui lomba yang bernama Adipura ini. Ciptakan entrepreneur-entrepreneur melalui kelola sampah. Sangat prosfek untuk itu dan ini bukan wacana.
Karena proses yang keliru inilah, maka dipastikan pengelolaannya tidak sustainable, anggaran mubadzir, setelah penilaian, aktivitas berhenti. Walhasil target pelaksanaan penilaian ini tidak tercapai, hanya semata kegiatan rutinitas belaka. Sementara sampah tidak pernah berhenti. Makanya, (maaf) banyak kab/kota mendapat Piagam dan Piala Adipura, sebenarnya tidak pantas memperolehnya, kalau kita disiplin mengikuti kehendak atau pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam penilaian ini. Fakta, hampir semua kab/kota di Indonesia yang membangun rumah kompos, baik yang ada di sekitar pasar tradisional atau di Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) gagal total.
Tahap I Penilaian Adipura 2011, Oktober 2010.
Hampir pasti, saya setiap tahun mengingatkan pemda dalam masalah ini. Tanpa bosan pula saya kembali mengingatkan untuk pelaksanaan tahun 2011 yang akan datang. Sesuai informasi, rencana penilaian tahap pertama Piala Adipura akan dimulai Oktober 2010 s/d November 2010. Diharapkan, selain penilai, terlebih unsu yang dinilai (kab/kota) agar segera berbenah memperbaiki system, rubah pola pikir dari visi atau orientasi proyek (aktivitas rutin) menjadi orientasi program (aktivitas berkelanjutan-sustainable) yang berbasis komunal dalam pengelolaan sampah tersebut. Kasian uang negara, mubadzir, kasian rakyat, tidak merasakan manfaatnya, coba kita berubah. Chanelnya coba kita pindahkan, kalau ini dimaksimalkan dengan pola pelaksanaan (government entrepreneurship) atau target penciptaan lapangan kerja baru sebagai efek dari aktivitas atas penilaian Piala Adipura ini, pasti manfaat baik kepada pemerintah sendiri maupun terhadap rakyat sebagai produsen sampah dan hilirnya akan tercipta entrepreneur di tingkat komunal, Karena sampah akan dijadikan sebagai bahan baku produksi lanjutan setelah disampahkan. Indonesia harus menciptakan pengusaha-pengusaha agar dapat mengejar ketertinggalan ekonomi.
Melalui program penilaian Piala Adipura, sangat mungkin tercipta pengusaha dengan mudah, tentu pada ahirnya akan menopang target pencapaian program peningkatan industry kreatif berbasis pertanian organik, selanjutnya rakyat akan sejahtera dan mandiri. Mari kita hentikan “kecewa dan marah” rakyat melalui program yang manfaat bagi kemasylahan rakyat, hentikan kebiasaan yang rutinitas itu. Hentikan pembiaran pemborosan anggaran melalui event ini.
CATATAN: untuk solusi Adipura Berbasis Komunal (sustainable program) silakan email ke hasrulhoesein@gmail.com atau cp: 085215497331, 04112686031 atau KLIK di SINI, atau di SINI, kami siap menginisiasi dan presentasi untuk Kab/Kota di seluruh Indoensia. Program Adipura berbasis komunal ini, akan menciptakan pengusaha dan penguatan kelompok tani di daerah secara sustainable, dan akan mengatasi perubahan iklim (stop global warming).
Info terkait (survey) sekaitan penilaian Adipura 2010
0 komentar :
Posting Komentar