Facebook dan Twitter, dua kata yang sangat populer saat ini dalam
bisnis dotcom, persepsi orang tentang suksesnya kedua dotcom itu pasti
akan terpaku pada Bosnya, yaitu Mark Zuckerberg dan Jack Dorsey. Tetapi
kalau mau jujur siapakah orang yang sangat berjasa pada mereka sehingga
bisa berhasil ? tak banyak yang tau..
Baiklah kita mulai dengan Facebook, yaitu Sean Parker, mantan programmer di Napster. Dialah orang yang berhasil membesarkan Facebook pada 2004. Saat itu situs bikinan Zuckerberg sudah terkenal di Universitas Harvard, tapi belum di universitas lain. Eduardo Saverin, kawan Zuckerberg yang jago algoritma saat membuat Facebook, malah sibuk mencari iklan ke sana sini.
Sean Parker datang menertawakan yang dilakukan Saverin. Katanya, mencari iklan itu hal kecil. “Iklan apa yang bisa dicari di New York untuk Facebook?” tanyanya. Dengan wajahnya yang santai dan urakan, dia mengejek Saverin, yang selama ini bermimpi membesarkan Facebook dengan mencari iklan, “(Dapat) sejuta dolar itu bukan hal keren. Kamu tahu yang disebut keren? (Dapat) semiliar dolar!”
Beberapa hari setelah ejekannya itu, Sean Parker benar-benar mendatangkan US$ 500 ribu (Rp 4,5 miliar) ke Facebook. Peter Thiel, pendiri situs pembayaran lelang nomor satu di online, PayPal, sudi menjadi investor situs jejaring sosial tersebut, meski saat itu sudah ada Friendster atau MySpace. Thiel rela uang Rp 4,5 miliar itu ditukar dengan 10 persen saham Facebook!
Mungkin kalau di Indonesia orang akan bilang, “Thiel sudah sinting.” “Perusahan kemarin sore” itu terlalu pede dengan harga sahamnya. Padahal, saat itu Facebook belum banyak dikenal oleh warga Amerika sendiri. Tapi, Thiel adalah salah satu Raja Midas di bisnis dotcom. Dia investor yang kalem, bertangan dingin, dan bukan orang yang suka campur tangan. Dia tahu, Facebook bisa menjadi raksasa bila diserahkan kepada orang “gila” seperti Zuckerberg. Itu yang dia lakukan saat membesarkan PayPal. Benar, suntikan Thiel inilah yang kemudian membuat Facebook menggelembung.
Para “penyihir” seperti Sean Parker dan Peter Thiel di Amerika Serikat jumlahnya ribuan. Mereka adalah orang-orang yang memburu dotcom (perusahaan online) yang baru tumbuh (start up), lalu menggerojoknya dengan dolar sehingga perusahaan itu mengkilap. Setelah itu, mereka akan memetik keuntungan saat nilai saham perusahaan tersebut melambung atau diakuisisi raksasa Internet lainnya.
Nah bagaimana dengan Twitter, Evan Williams adalah salah satu contoh “penyihir dotcom”. Dia berhasil membesarkan Blogger lewat perusahaannya, Pyra Labs, dan menjualnya kepada Google. Punya sekarung duit, Evan keluar dari Google setahun kemudian dan mendirikan Odeo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang rekaman audio di Internet (podcasting). Di perusahaan ini, bisnis Evan tak terlalu menonjol. Namanya baru melejit lagi setelah membesarkan Twitter bersama pendirinya, Jack Dorsey. Twitter sekarang jumlah anggotanya sudah 200 juta orang atau sepertiga dari jumlah anggota Facebook. “Saya adalah lelaki beruntung. Dalam 12 tahun ini ada dua proyek besar yang berhasil,” kata Williams. “Saya berhasil karena didukung orang-orang brilian.”
Di Amerika Serikat, orang-orang seperti Evan Williams, Sean Parker, dan Peter Thiel inilah yang membuat dunia dotcom hidup. Kreativitas liar para programmer disambar oleh tangan-tangan bisnis andal, hasilnya adalah ledakan-ledakan dotcom baru, seperti Facebook, Twitter, Blogger, dan YouTube.
Orang-orang seperti Evan William atau Sean Parker itulah yang langka di Indonesia. Faktor entrepreneurship di Indonesia selalu terbentur dalam hal urusan modal. Sangat sulit bagi pejuang-pejuang IT di Indonesia yang punya jiwa kreatif untuk bisa mengimplementasikan hasil karyanya menjadi sebuah bisnis yang akan mendatangkan uang. Belum banyaknya Venture Capital (semacam perusahaan pemodal sekaligus inkubator bisnis) yang bersedia menanggung resiko besar untuk para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ingin menjajal ide kreatifnya untuk dibisniskan. Ini di perparah dengan sedikit yang mau atau mengerti skema investasi di bidang DotCom.
Padahal Untuk seperti lahirnya Dotcom seperti Facebook dan Twitter Kita butuh orang seeprti Evan William dan Sean Parker. Selama ini tak banyak kisah akuisisi dotcom di negeri ini yang sukses. Pada awal 2000-an ada akuisisi Satu.net dan Astaga.com. Tapi, nama itu kini sudah terkubur. Kini, kita melihat akuisisi bayi-bayi dotcom seperti Koprol oleh Yahoo! atau Kaskus oleh grup Djarum. Mudah-mudahan saja tangan para pemodal itu sedingin Peter Thiel. Indonesia memimpikan Raja-raja Midas dotcom.
Baiklah kita mulai dengan Facebook, yaitu Sean Parker, mantan programmer di Napster. Dialah orang yang berhasil membesarkan Facebook pada 2004. Saat itu situs bikinan Zuckerberg sudah terkenal di Universitas Harvard, tapi belum di universitas lain. Eduardo Saverin, kawan Zuckerberg yang jago algoritma saat membuat Facebook, malah sibuk mencari iklan ke sana sini.
Sean Parker datang menertawakan yang dilakukan Saverin. Katanya, mencari iklan itu hal kecil. “Iklan apa yang bisa dicari di New York untuk Facebook?” tanyanya. Dengan wajahnya yang santai dan urakan, dia mengejek Saverin, yang selama ini bermimpi membesarkan Facebook dengan mencari iklan, “(Dapat) sejuta dolar itu bukan hal keren. Kamu tahu yang disebut keren? (Dapat) semiliar dolar!”
Beberapa hari setelah ejekannya itu, Sean Parker benar-benar mendatangkan US$ 500 ribu (Rp 4,5 miliar) ke Facebook. Peter Thiel, pendiri situs pembayaran lelang nomor satu di online, PayPal, sudi menjadi investor situs jejaring sosial tersebut, meski saat itu sudah ada Friendster atau MySpace. Thiel rela uang Rp 4,5 miliar itu ditukar dengan 10 persen saham Facebook!
Mungkin kalau di Indonesia orang akan bilang, “Thiel sudah sinting.” “Perusahan kemarin sore” itu terlalu pede dengan harga sahamnya. Padahal, saat itu Facebook belum banyak dikenal oleh warga Amerika sendiri. Tapi, Thiel adalah salah satu Raja Midas di bisnis dotcom. Dia investor yang kalem, bertangan dingin, dan bukan orang yang suka campur tangan. Dia tahu, Facebook bisa menjadi raksasa bila diserahkan kepada orang “gila” seperti Zuckerberg. Itu yang dia lakukan saat membesarkan PayPal. Benar, suntikan Thiel inilah yang kemudian membuat Facebook menggelembung.
Para “penyihir” seperti Sean Parker dan Peter Thiel di Amerika Serikat jumlahnya ribuan. Mereka adalah orang-orang yang memburu dotcom (perusahaan online) yang baru tumbuh (start up), lalu menggerojoknya dengan dolar sehingga perusahaan itu mengkilap. Setelah itu, mereka akan memetik keuntungan saat nilai saham perusahaan tersebut melambung atau diakuisisi raksasa Internet lainnya.
Nah bagaimana dengan Twitter, Evan Williams adalah salah satu contoh “penyihir dotcom”. Dia berhasil membesarkan Blogger lewat perusahaannya, Pyra Labs, dan menjualnya kepada Google. Punya sekarung duit, Evan keluar dari Google setahun kemudian dan mendirikan Odeo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang rekaman audio di Internet (podcasting). Di perusahaan ini, bisnis Evan tak terlalu menonjol. Namanya baru melejit lagi setelah membesarkan Twitter bersama pendirinya, Jack Dorsey. Twitter sekarang jumlah anggotanya sudah 200 juta orang atau sepertiga dari jumlah anggota Facebook. “Saya adalah lelaki beruntung. Dalam 12 tahun ini ada dua proyek besar yang berhasil,” kata Williams. “Saya berhasil karena didukung orang-orang brilian.”
Di Amerika Serikat, orang-orang seperti Evan Williams, Sean Parker, dan Peter Thiel inilah yang membuat dunia dotcom hidup. Kreativitas liar para programmer disambar oleh tangan-tangan bisnis andal, hasilnya adalah ledakan-ledakan dotcom baru, seperti Facebook, Twitter, Blogger, dan YouTube.
Orang-orang seperti Evan William atau Sean Parker itulah yang langka di Indonesia. Faktor entrepreneurship di Indonesia selalu terbentur dalam hal urusan modal. Sangat sulit bagi pejuang-pejuang IT di Indonesia yang punya jiwa kreatif untuk bisa mengimplementasikan hasil karyanya menjadi sebuah bisnis yang akan mendatangkan uang. Belum banyaknya Venture Capital (semacam perusahaan pemodal sekaligus inkubator bisnis) yang bersedia menanggung resiko besar untuk para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ingin menjajal ide kreatifnya untuk dibisniskan. Ini di perparah dengan sedikit yang mau atau mengerti skema investasi di bidang DotCom.
Padahal Untuk seperti lahirnya Dotcom seperti Facebook dan Twitter Kita butuh orang seeprti Evan William dan Sean Parker. Selama ini tak banyak kisah akuisisi dotcom di negeri ini yang sukses. Pada awal 2000-an ada akuisisi Satu.net dan Astaga.com. Tapi, nama itu kini sudah terkubur. Kini, kita melihat akuisisi bayi-bayi dotcom seperti Koprol oleh Yahoo! atau Kaskus oleh grup Djarum. Mudah-mudahan saja tangan para pemodal itu sedingin Peter Thiel. Indonesia memimpikan Raja-raja Midas dotcom.
Ref: Asrul.Blogdetik
Best regards,
H.Asrul>=Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar