Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi [dok_Asrul] |
INDONESIA SATU UNTUK SEMUA
Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi *
Dengan kasus AHOK, kebenaran pendapat BEN ANDERSON bahwa sebagai bangsa “Indonesia
In The Making” menjadi tak terbantahkan. Dari kasus AHOK pula, kini kita tahu
betapa rapuhnya kebhinekaan kita. Diantara kita kemudian terjebak pada dikotomi
mayoritas - minoritas, antara Islam - Non Islam, dan juga sedikit nyerempet ke
Pri - Non Pri dalam hal etnis CINA.
Di pulau Jawa, Sumatera, Riau, Lombok dan Madura memang betul Islam adalah
mayoritas. Tapi bagaimana dengan di Bali, NTT, Ambon, dan Papua bukankah justru
Islam lah yang minoritas ?. Sementara di pulau-pulau besar lainnya antara Islam
dan Non Islam dalam posisi cukup berimbang.
Lantas faktor apa yang bisa mengikat kita, bila hendak terus bertahan dalam wadah Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke yang satu untuk semua dalam kebhinekaan.
Lantas faktor apa yang bisa mengikat kita, bila hendak terus bertahan dalam wadah Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke yang satu untuk semua dalam kebhinekaan.
Saat-saat kritis telah kita lewati, bagaimana mungkin gara-gara seorang AHOK eksistensi kita sebagai negara bangsa nyaris tercabik-cabik. Jangan dikira keunggulan mayoritas Islam di Jakarta tidak segera ditandingi Mayoritas Non Islam di wilayah lain. Beruntung sejarah kembali berulang, bila dahulu menjelang kemerdekaan Republik ini, kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam telah melahirkan Indonesia dengan Panca Sila sebagai Dasar Negara, kali ini kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam terlebih yang langsung terlibat dilapangan dalam demo 4.11 & 2.12 kembali menampilkan wajah baru peradaban Indonesia, sekaligus menyelamatkan negeri ini dari stigma Islam yang “menakutkan”.
Lebih dari itu keberanian dan ketulusan Bapak Presiden JKW yang berkenan hadir untuk sholat berjamaah bersama jutaan umat Islam di Monas, telah membalik keadaan dari kekhawatiran bakal terjadi tragedi dan malapetaka, menjadi berkah yang tak ternilai harganya. Sudah barang tentu kesemuanya itu, tidak lepas dari kedewasaan aparatur keamanan TNI dan Polri dalam mengawal dan mengamankan jalannya demo 4.11 dan 2.12.
Dalang Kerusuhan Sosial di Indonesia.
Besarnya desakan warga negara khususnya kaum ibu-ibu yang anaknya gugur atau cacat dalam perang di Vietnam, Amerika kemudian mengubah kebijakan dalam membendung komunisme, dari semula Operasi Militer digantinya dengan Operasi Intelejen. Dalam kasus Indonesia, keberhasilan missi tersebut tidak bisa lepas dari karakter Komunisme sebagai ideologi pendobrakan, dan juga kepiawian operator lapangan dalam mengadu domba antar kelompok masyarakat Indonesia khususnya Jawa sebagaimana teori Clifford Geerts yang membagi masyarakat kita dalam 3 kelompok yaitu: “Priyayi, Santri dan Abangan”.
Menjelang G.30’S/PKI disejumlah daerah, kader PKI membantai para kiyai dari lingkungan NU yang notabene adalah tetangga, guru ngaji dan bahkan imam (Pemimpin) sholat mereka sendiri.
Dan begitu juga sebaliknya, paska G.30’S/PKI para santri NU yang dengan sadar bersama kekuatan lainnya menghabisi nyawa tokoh dan anggota PKI yang tidak lain juga tetangga, bahkan anggota keluarga atau famili dan kerabat mereka sendiri. Aneh tapi nyata, bangsa yang agamais dan berbudaya adhi luhung, serta merta berubah seolah menjadi tak beradab.
Yang pasti kemudian Bung Karno jatuh, kita kemudian masuk ke era baru dimana tatanan politik dan khususnya ekonomi kita beralih ke paham kapitalisme dengan cap ekonomi Pancasila.
Pak Harto kemudian berhasil mengantar negeri ini bersiap diri untuk tinggal landas, sangat disayangkan “sial tak bisa dielakan”, dipenghujung tahun 1997 dunia mengalami krisis moneter akibat “buble” ekonomi. Indonesia kemudian dilanda krisis multi dimensional, dan dalam waktu singkat kerusuhan anti Cina begitu serempak terjadi dibanyak tempat.
Kembali lagi, serta merta sebagai bangsa yang dikenal agamais dan budaya adhi luhung, sebagian karakternya berubah total menjadi penjarah dengan semangat ANTI CINA. Pak Harto kemudian memilih mundur, dan kita memasuki era demokratisasi.
Lantas siapa dalang yang sebenarnya atas kerusuhan sosial itu semua ? Bukankah kita tahu siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari serangkaian kerusuhan sosial tersebut ? Biaya politik yang begitu besar dan bahkan dibarengi dengan jatuh korban diantara anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil, dalam rentang waktu 70 tahun ternyata rakyat banyak belum menikmati manfaat keberadaan negara sebagaimana mestinya. Yang terjadi justru sebaliknya, kini rakyat terbebani oleh warisan masa lalu yang begitu berat akibat salah kelola kekuasaan negara, berupa rusaknya moral sebagian besar elite negeri ini, hutang yang begitu besar dan kerusakan alam, sementara kekayaan alam hanya dinikmati oleh sekelompok orang kroni penguasa dalam dan luar negeri.
Cengkeraman Kapitalisme Brutal.
Dalam era reformasi, negeri ini kemudian menganut paham “kapitalisme brutal”. Atas nama demokrasi, Rakyat boleh bicara sebebas-bebasnya, namun sumberdaya alam dan uang tetap ditangan kelompok tertentu yang terang-terangan melakukan oligarkhi dan kartel kekuasaan & ekonomi. Bila di era Orde Baru, konglomerat yang dibesarkan Pemerintah sepenuhnya dibawah kontrol negara, dalam era reformasi yang terjadi sebaliknya mereka dengan mudahnya bisa “membeli” penguasa tak terkecuali jajaran keamanan dan hukum.
Disebut kapitalisme brutal, karena sistem yang diterapkan tidak lagi peduli terhadap sebagian besar rakyat hidup dalam kesulitan dan sebagian lagi tak berdaya menghadapi “Capital Violence” yang justru dilindungi negara. Dan bahkan untuk kepentingan Konglomerat “hitam”, negara melakukan “State Terorisme”. Penguasa tak lagi peduli bahwa mereka yang digusur adalah rakyatnya sendiri yang tidak pernah bisa memilih terlahir dari keluarga miskin. Praktek mafia dan kartel berkembang disemua lini kehidupan. Bahkan Presiden JKW sendiri diawal pemerintahannya menyimpulkan bahwa “mafia dimana-mana, dan dimana-mana mafia”.
AHOK Hanyalah MEDIUM.
Presiden JKW memang tidak hendak melanjutkan cara-cara lama. Nawa Cita sebagai kontrak sosial secara terang benderang hendak mengubah dan menghentikan hal-hal buruk yang terjadi dimasa lampau. Konsekwensi logis yang tidak bisa dihindari adalah terancamnya eksistensi konglomerat “hitam”, mafioso, pelaku kartel, sejumlah tokoh yang tersangkut BLBI dan Century, Koruptor kelas kakap, dan semua pihak yang terlibat proyek mangkrak. Begitu pula kebijakan TAX AMNESTY (TA). Secara awam TA memang terbaca sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan anggaran, namun bagi pihak-pihak tertentu, TA adalah ancaman nyata atas diri dan uang haramnya. Menjadi mudah untuk dipahami, kalau sebagian besar dari mereka hingga saat ini belum mau ikut program TA. Dengan sadar mereka tahu bahwa dirinya akan selamat manakala Presiden JKW jatuh atau setidaknya Indonesia dilanda kerusuhan sosial apalagi berlatar belakang SARA sebelum batas akhir program TA.
Kondisi menjadi lebih buruk lagi, ketika konflik personil tokoh nasional tertentu dan juga persaingan politik dalam Pilkada DKI makin menganga. Sudah barang tentu untuk sejumlah Negara, program TA yang kita tempuh juga sebagai ancaman kebangkrutan perekonomian mereka. Maka sesungguhnya ada atau tidak ada kasus Penistaan Agama oleh AHOK, niscaya suhu politik dan keamanan akan mengalami gonjang-ganjing untuk menggoyang Pemerintahan JKW. Menjadi lebih “laris manis” ketika muncul kasus yang sensitive, yaitu penistaan agama.
Hikmah Kasus AHOK.
Kasus Ahok membawa hikmah yang luar biasa, kini kita tahu kadar kebhinekaan kita yang begitu rentan. Bangsa ini masih perlu kerja keras dalam membangun nasionalisme dan toleransi dalam kebhinekaan. Disanalah maka kedepan negara perlu memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program Pemerintah. Karena nasionalisme kekinian tidak mungkin tanpa bicara manfaat Negara bagi segenap rakyat tanpa kecuali. Dan karenanya sejumlah program pemerintah yang terkait dengan pembangunan rasa kebangsaan dan bela negara mutlak perlu diubah sesuai dengan tuntutan kekinian.
Kasus AHOK juga bukti konkrit bahwa tokoh Islam mustahil akan rela ditunggangi oleh kepentingan pihak lain yang nyata-nyata telah mengantar Indonesia menjadi begitu amburadul yang kini sedang dibenahi oleh Presiden JKW. Maka, sepanjang hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya niscaya kedepan tidak ada gejolak politik yang bersumber dari kasus AHOK.
Kekuatan rakyat yang begitu besar tak terkecuali dari lingkungan Islam adalah kekuatan nyata yang perlu disinergikan dengan program pemerintah. Pemberantasan Narkoba, Mafia dan Kartel, Sapu Bersih pungli dan suap, serta “perang” melawan korupsi mustahil akan berhasil tanpa dukungan nyata dari kekuatan rakyat terorganisir. Bukankah dengan kondisi yang ada selama ini justru banyak pihak di jajaran pemerintah, legislatif, Perdilan dan termasuk dilingkungan TNI dan Polri kebagian rezeki dari perdagangan Narkoba, praktek mafia, kartel, korupsi, pungli, dan suap itu sendiri. Dan langkah berikutnya adalah pembenahan prosedur birokrasi pemerintahan dengan berbasis IT, agar munculnya peluang untuk melakukan praktek mafia dan kartel, serta suap, pungli dan korupsi dapat dinihilkan.
Kasus AHOK semestinya menyadarkan kita semua, bahwa kedepan sistem kenegaraan kita perlu segera dirombak agar negara melalui konstitusi dan per Undang-undangan turunannya menjamin Indonesia yang bhineka ini adalah wadah yang satu untuk semua galam kebhinekaan, bukan semua untuk sekelompok orang, dan ketika frustasi publik terakumulasi maka kasus sekecil apapun, apalagi yang terkait penistaan agama, otomatis akan menjadi besar yang hampir saja menggoyahkan eksistensi negara, karena Ahok sesungguhnya hanyalah medium belaka.
Rasanya lucu kalau kita berharap lantai yang disapu bakal bersih, sementara sapu yang digunakan begitu kotornya. Dan bagaimana mungkin, kita berharap pabrik tahu bisa memproduksi keju......mimpi kali
Sumber:
Kompas (pressreader.com/indonesia/kompas)
0 komentar :
Posting Komentar