Diatas Gunung Korea Selatan (dok.Asrul) |
Siapa yang tak kenal dengan Sun Tzu dan Machiavelli,
keduanya bisa dibilang sebagai tokoh militer dan politik yang paling
berpengaruh di muka bumi ini.
Sun Tzu adalah seorang ahli startegi perang yang hidup lebih 2600 tahun lalu, atau seabad sebelum Socrates lahir. Di masa hidupnya memang China daratan selalu ramai oleh berbagai peperangan yang tak pernah ada habisnya. Dalam kondisi seperti itulah Sun Tzu tampil sebagai jendral perang yang hidup di negara Wu pada abad ke-6 SM.
Walaupun masih simpang siur, namun banyak orang yang meyakini Sun Tzulah yang menyusun 36 taktik dan strategi perang yang oleh orang barat dikenal sebagai Sun Tzu Art of The War.
Secara umum filosofi perang Sun Tzu tersebut lebih menekankan tentang bagaimana memenangi perang tanpa harus terjadi pertempuran dengan cara mempertahankan kontrol atas musuh dalam situasi yang ketat daripada perang itu sendiri. Berikut ini adalah beberapa ajarannya. “Dalam bergerak, hendaknya secepat angin, dalam gerakan lambat hendaknya seanggun rimba belantara, dalam menyerang mengganaslah seperti api, dalam bertahan hendaknya sekokoh gunung, dalam penyamaran hendaknya seperti gelapnya malam, berpura-puralah menyerang dari timur padahal menyerang dari barat”.
Pemikiran Sun Tzu yang terangkum dalam naskah tersebut selanjurnya banyak diadopsi oleh berbagai kalangan di banyak negara, mulai dari para ahli militer, pebisnis, hingga politisi. Bahkan etos kerja orang China yang identik dengan kerja keras, pengorbanan, saling ketergantungan, percaya diri, dan hemat adalah salah satu bentukan dari nilai-nilai ajaran Sun Tzu ini. Tak berlebihan bila Sun Tzu saat ini dianggap sebagai ahli strategi terbesar sepanjang masa, yang filosofinya bersumber pada unsur alam seperti angin, api, gunung, atau rimba.
Sedangkan Nicolo Machiavelli adalah seorang tokoh besar di dunia filsafat politik asal Florence, Italia. Bukunya yang berjudul Il Principe (Sang Pangeran) adalah hasil pengalaman, pengamatan dan pemikirannya dalam situasi Italia yang karut marut dan penuh intrik berdarah. Dalam kondisi seperti itulah ia menghalalkankan tindakan kotor, curang, adu domba, tipu muslihat, menyingkirkan semua norma-norma susila serta agama untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Sarannya yang terkenal adalah “Untuk dikagumi oleh rakyat, buatlah mereka takut kepadamu” .
Memang, politik ala Machiavelli adalah politik menghalalkan segala cara yang hanya percaya pada kekuatan dan intimidasi, seperti besi yang siap menghajar siapapun tanpa ampun. Mungkin dari sinilah mucul istilah “pemimpin tangan besi”. Besi memang memiliki kuat tekan maupun kuat tarik yang besar, keras, kaku, dan sulit untuk mengalami deformasi plastis.
Apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari kedua tokoh ini? Disadari atau tidak, keduanya telah mengajarkan kita untuk belajar dari alam. Belajar dari angin, belajar dari api, gunung, dan juga besi.
Angin, ada jenis angin sepoi-sepoi yang geraknya lembut melenakan, namun ada juga angin puting beliung yang bergerak cepat dan mematikan. Artinya, bersikaplah sesuai dengan kebutuhan. Seperti kisah seekor monyet yang akhirnya jatuh dari pohon oleh angin sepoi-sepoi yang membuatnya ngantuk tak tertahankan, setelah sebelumnya tak berhasil dijatuhkan oleh kerasnya hembusan angin puting beliung yang dahsyat. Kapan kita menjadi angin sepoi-sepoi dan kapan waktu yang tepat mejadi angin puting beliung tergantung dengan siapa kita berhadapan.
Api, bila tak terkontrol dapat membakar habis tanpa sisa dalam waktu sekejap mata, namun pada dasarnya ia adalah sahabat yang sangat bermanfaat, asalkan tahu cara memanfaatkannya. Artinya, kekuatan memerlukan pengetahuan. Bila mengetahui cara untuk mengontrol dan menggunakan kekuatan tersebut maka ia akan mendatangkan keuntungan, namun sebaliknya bila kekuatan digunakan tanpa pengetahuan maka yang terjadi adalah kerugian.
Gunung, indah dipandang dari kejauhan menggelitik hati untuk didekati, namun kejam dan menyengsarakan begitu didaki. Oleh karenanya janganlah mudah tertipu oleh pandangan mata. Sesuatu yang indah dipandang mata tak selamanya membawa kesenangan, bahkan boleh jadi hal tersebut justru akan mendatangkan penderitaan.
Besi, kuat dan kokoh tak terkalahkan sangat efektif untuk melanggengkan kekuasaan, namun sebenarnya ia bersifat getas dan mudah patah bila disentak pada titik tengahnya. Artinya, sekuat apapun seseorang pasti memiliki titik lemahnya. Dan memang, sejarah mencatat bahwa hampir semua pemimpin besar yang pernah ada di dunia ini memiliki titik lemah yang akhirnya membawanya pada kejatuhan. Soekarno lemah terhadap wanita, Soeharto tak mampu mengontrol anak-anaknya. Hitler dan Ceacescu yang otoriter bertekuk lutut di hadapan istrinya. Tsar Nicholas dieksekusi akibat terlampau memanjakan keluarga di saat raktyatnya menderita. Memang, anak, istri, harta, tahta dan wanita seringkali membuat orang kuat menjadi lemah tak berdaya.
Sun Tzu dan Machiavelli telah mengajarkan, bagaimana bertahan dari kerasnya kehidupan dengan belajar filosofi alam. Bukankah alam semesta ini tercipta memang untuk diambil hikmahnya?
0 komentar :
Posting Komentar