Kawah Putih Bandung (dok_Asrul) |
Untuk membandingkan
pemikiran klasik Sun Tzhu dan Ken Arok seharusnya kita harus memperjelas
posisinnya kenapa dalam dunia akademik pemikiranya tergolong klasik.
Apakah ukuranya dilihat dari tahun kelahiran karya-karyanya, atau
didasarkan pada ide-idenya yang filosofis atau bahkan dilihat dari
praktiknya dilapangan yang sudah tidak memungkinkan digunakan dan
digeser oleh pemikir-pemikir strategis baru seperti Calusewitz dan B. H
Liddell hart. Untuk itu mari kita bedah satu persatu sebelum kita masuk
lebih dalam untuk membandingknya dengan pemikiran klasik Ken Arok.
Sun Tzhu hidup pada dinasti
Zhou Chun Quin yakni periode musim semi dan gugur abad IX-V SM atau
hidup diantara 500 BC pada akhir musim panas dan gugur periode 771-481
BC. Dalam literatur lain juga dikatakan bahwa Sun Tzu merupakan ahli
militer yang memberikan proposal militer mengenai cara bagaimana
memanage kemiliteran kepada raja Wu, yang kemudia sang raja terkesan
dengan pemikiranya. Sedangkan Von Clausewitz hidup pada masa perang
Napoleon sekitar 1781-1831. Begitu juga dengan Liddell Hart periode
1895-1970 yang terlibat pada Perang Dunia I. Jika ini menjadi patokan
untuk mengukur klasik atau tidaknya sebuah pemikiran, maka tentu kita
bisa mengklasifikasikan bahwa para pemikir-pemikir yang hidup dibawah
tahun 1781 kebawah dan menikmati masa-masa zaman pertengahan dan renaissance sekitar tahun 1517 tergolong pemikir klasik. Sebut saja Nicolo Machiavelli yang menciptakan maha karyanya Il Principe/The Prince
dapat tergolong pemikir strategis klasik, begitu juga Sun Tzu yang
justru hidup jauh sebelum tahun itu dan juga Ken Arok yang lahir 1182
sampai 1247 dapat digolongkan juga sebagai pemikir strategi klasik dari
tanah jawa.
Kedua, jika mengukur klasik
atau tidak dari ukuran karyanya yang filosofis dan bagaimana keefektifan
prakteknya di lapangan, maka ini menjadi sedikit agak bias. Karena jika
dilihat dari prakteknya di lapangan, baik pemikiran Sun Tzu, Ken Arok,
Machiavelli, Liddell Hart & Clausewitz semuanya dapat dipraktekkan
sampai sekarang meskipun masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.
Namun jika ukuranya lebih dilihat dari isi karya-karyanya maka kita
mungkin dapat sedikit menjelaskanya dari struktur gaya penulisanya dan
juga dari pesan-pesan yang terkandungnya. Misalkan saja tulisan Sun Tzu
sangat bernuansa gaya bahasa sastra dengan penggalan-penggalan kalimat
dan taktikal sedangkan Clausewitz dalam On War menggunakan
tata bahasa yang jelas dengan menjelaskanya secara rigid dan tentu juga
taktikal. Jadi disini ada sedikit perbedaan yang dapat kita pahami dari
cara penulisan strategi dan naskah-naskahnya, dimana pemikir klasik
umumnya tulisanya ditulis dengan gaya bahasa yang “mendayu-dayu”
khas tulisan sastra, sedangkan pemikiran moderen umumnya cara
menulisnya dengan gaya bahasa yang rigid, tekstual dan “straight”.
Terlepas dari
prinsip-prinsip pengklasifikasian klasik atau tidak, ada hal yang lebih
mendasar mengapa penulis mengangkat sosok Ken Arok dan pemikiranya
sebagai pembanding pemikiran Sun Tzu[1].
Dalam literatur-literatur Hubungan Internasional khususnya literatur
mengenai studi strategi, kita akan sangat kesulitan menemukan
alternatif-alternatif bacaan yang keluar dari konstruksi kerangka
berpikir barat, semua ilmu dan literatur tampaknya lahir dari pengalaman
barat dan kerangka berpikir orang barat, sehingga apa yang terjadi
selanjutnya adalah adanya ketidak seimbangan yang menyebabkan barat
selalu mendominasi dalam konteks keilmuan (sebut saja Von Clausewitz,
Liddell Hart, Bernard Brodie, Williamson Murray, Mark Grimsley, Colin S.
Grey dll). Amitav Acharya dalam Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and Beyond Asia memperkuat arugumen ini dengan menanyakan “Why is there no non-Western international relations theory?”
Acarya mengatakan bahwa sumber dari teori hubungan internasional secara
gamblang gagal untuk menyesuaikan dengan distribusi “subjeknya”[2].
Inilah yang menyebabkan kemudian teori-teori yang lahir dari pengalaman
barat pada situasi tertentu tidak dapat menjelaskan secara utuh
fenomena Asia yang memiliki pola dan sejarah yang berbeda dengan barat.
Karena itu tulisan ini mencoba untuk mengangkat tokoh non barat yang
pada topik ini adalah Ken Arok sebagai alternatif rujukan pemikiran
selain Sun Tzu yang telah terlebih dahulu dikenal dunia sebagai ahli
strategi dari China.
Strategi Dalam Pandangan Ken Arok dan Sun Tzu
Ada hal
yang menarik dari keduanya antara Sun Tzu dan juga Ken Arok untuk
dibandingkan. Sun Tzu yang dari kalangan sipil dan sebelumnya tidak
pernah bertempur berbeda sekali dengan Ken Arok yang semasa kecilnya
hingga besar sudah lekat dengan kekerasan dan kerusuhan hingga dirinya
menjadi pelaku kudeta kerajaan Tumapel. Disisi lain Sun Tzu yang
pendekatanya “soft” dalam artian menyarankan puncak tertinggi kemenangan
adalah dengan menakhlukkan lawan tanpa berperang, Ken Arok justru
sebaliknya menganggap bahwa kemenangan terbesar adalah dengan cara
menakhlukkan lawan secara “material” atau secara fisik. Namun disisi
perbedaan-perbedaan diatas ternyata ada persamaan taktik antara Sun Tzu
dengan Ken Arok pada beberapa point yang akan penulis uraikan dalam
paper ini[3].
Bagi Ken Arok strategi itu diejawentahkan pada penggunaan cara “sly”/ licik
untuk mendapatkan tujuan baik itu menggunakan kontak langsung maupun
tidak, namun lebih diutamakan kontak tidak langsung. Ini terlihat ketika
dikisahkan Mpu Palot yang pulang dari Kebalon dan membawa banyak barang
dan memutuskan berhenti di Lululumbang. Mpu Palot mendengar kabar bahwa
ada perusuh bernama Ken Arok di wilayah jalan menuju Turyantapada dan
dia takut untuk pulang sendirian. Ketika dia berada di tempat tersebut
ternyata Mpu Palot bertemu dengan Ken Arok dan terlibatlah percakaan
antara keduanya. Berceritalah Mpu Palot bahwa dirinya takut pulang
sendiri karena mendengar cerita tentang adanya seorang perusuh bernama
Ken Arok, namun Ken Arok tidak mengatakan identitasnya yang sebenarnya,
dia menyembunyikanya dan justru menawarkan diri untuk melindungi Mpu
Palot selama perjalanan. Karena kesanggupan itu Mpu Palot merasa
berhutang budi sekali karena merasa diantarkan sampai tujuan dengan
selamat. Dan akhirnya sebagai bentuk balas budi diajarkanlah Ken Arok
ilmu tentang membuat emas yang pada waktu itu tidak sembarang orang
dapat melakukanya[4].
Kemudian dikisahkan juga
ketika Ken Arok yang jatuh cinta terhadap kecantikan Ken Dedes dan
berusaha merebutnya dari Tunggul Ametung sang raja Tumapel. Namun
setelah mendapatkan keris dari Empu Gandring, ia tidak langsung
menusukkan keris tersebut ke Tunggul Ametung, namun menggunakan taktik adu domba.
Taktik tersebut dilakukan dengan cara di perlihatkan keris yang belum
selesai disempurnakan itu kepada Kebo Hijo, lalu dipinjamlah oleh Kebo
Hijo keris itu karena dia menyukainya, Kebo Hijo yang memiliki keris
tersebut tidak dicurigai oleh orang istana, sebaliknya jika Arok yang
membawanya ke istana maka akan dengan cepat dicurigai. Setelah malam
menjelang, Arok pun menyelinap kedalam rumah Ametung dan kondisi didalam
rumah sedang senyap karena semua orang sedang tertidur. Setelah melihat
Tunggul Ametung yang tidak siap dan sedang tertidur pulas, maka
ditusukkanlah keris tersebut ke jantung Ametung yang dalam hitungan
detik mati seketika. Paginya ketika orang melihat jasad Tunggul Ametung
yang sudah meninggal dengan keris yang masih menancap di tubuhnya,
dengan segera orang dalam istana dapat mengenali keris tersebut. Mereka
menganggap pembunuhnya adalah Kebo Hijo karena keris tersebut selalu ia
bawa. Akhirnya Ken Dedes berhasil direbut dari tangan Tunggul Ametung.[5]
Dari dua kejadian tersebut
nampaklah bagaimana strategi dalam pandangan Ken Arok dari apa yang dia
terapkan untuk mendapatkan kepentinganya. Pada kejadian ketika Ken Arok
bertemu dengan Mpu Palot yang ketakutan pulang sendirian, Arok
menggunakan tipu muslihat dengan berbohong. Disini dapat di
intepretasikan bahwa berbohong adalah salah satu instrumen
penting dalam mencapai tujuan. Contohnya jika suatu negara memiliki
militer yang supercanggih dan kuat, mereka tidak akan mungkin seratus
persen jujur dengan mengatakan bahwa sekarang sedang mengembangkan
senjata mematikan dll, namun mereka akan cenderung menutupinya dan akan
menggunakanya disaat yang tepat. Contohnya program pengembangan nuklir
Iran.
Lalu ketika Ken Arok mencoba
merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung, Arok tidak menggunakan
jalan pertempuran langsung terhadap Ametung. Disamping karena ametung
seorang raja yang pastinya dilindungi oleh banyak pasukan, Ametung
sendiri tidak mempan oleh senjata biasa karena itu Arok memesan khusus
keris yang dibuat oleh Empu Gandring. Selanjutnya arok memanfaatkan Kebo
Hijo sebagai alat untuk melancarkan aksinya. Apa yang dapat di
intepretasikan dari kejadian ini adalah, bahwa dalam pandangan Ken Arok
adanya pihak ketiga sebagai korban yang dapat dimanfaatkan atau dalam
kata lain di adu domba penting dalam sebuah pertempuran. Taktik
adu domba merupakan jalan yang efektif untuk seefisien mungkin
mengurangi resiko tertangkap dan resiko kerugian akibat pertempuran
langsung dengan lawan terutama lawan yang lebih kuat.
Sedangkan disisi lain
strategi dalam pandangan Sun Tzu lebih diperlihatkan sebagai sebuah hal
yang holistik mengenai pemanfaatan segala sumber daya yang ada dengan
memperhitungkan elemen-elemen seperti prinsip, efisiensi, pengetahuan
dll yang kesemuaan itu diterjemahkan dalam bentuk perang. Namun bagi
Sun Tzu, puncak kemenangan tertinggi dalam peperangan justru dengan
menakhlukkan musuh tanpa harus berperang[6].
Hal yang kontras dari Ken Arok dari Sun Tzu mungkin terlihat disini
ketidak Sun Tzu yang lebih soft dimana menganjurkan menakhlukkan tanpa
harus berperang, namun sebaliknya Ken Arok menganggap bahwa berperang
mutlak adanya meskipun caranya tidak harus “vis a vis”.
Disamping
perbedaan-perbedaan tersebut, Sun Tzu dan Ken Arok memiliki persamaan
metode dalam menakhlukkan lawan terutama pada hal offensive strategy.
Sun Tzu mengatakan bahwa seorang pemimpin harus mengetahui musuhnya dan
mengetahui dirinya sehingga kemenangan akan dapat dengan mudah
didapatkan meskipun di seratus pertempuran. Ken Arok pun sejalan dengan
gagasan Sun Tzu. Ini diperlihatkan ketika Arok meminta restu kepada Bapa
Bango untuk membunuh Tunggul Ametung, disitu dikisahkan bahwa Bango
kemudian mengizinkan skenario pembunuhan yang akan dilakukan oleh Arok.
Hanya saja kata Bango, T Ametung adalah orang sakti yang tidak mempan
dengan sembarang senjata dan hanya mampu di kalahkan oleh senjata
“bertuah”. Karena itu Bapa Bango menyarankan agar Arok datang ke seorang
pandai keris di daerah Lulumbang yang bernama Mpu Gandring dan Arok
mengatakan untuk menyelesaikanya selama 5 bulan karena setelah 5 bulan
Arok akan menjalankan kudetanya terhadap Tunggul Ametung. Disini
diperlihatkan bahwa Arok mengetahui betul siapa musuhnya dan siapa
dirinya, karena itu dia mempersiapkan dengan matang hari dan senjata
yang dia gunakan untuk melancarkan penyeranganya[7].
Selanjutnya kesamaan antara Sun Tzu dengan Ken Arok terletak pada penggunaan manuver. Dalam perspektif Sun Tzu manuver
diperlihatkan sebagai sebuah kejelian dalam memilih pertempuran. Dimana
konfrontasi langsung dapat lebih beresiko dan berbahaya daripada
konfrontasi tidak langsung. Ini sama halnya dengan taktik Ken Arok dalam
melancarkan kudetanya untuk membunuh Tunggul Ametung. Dimana ken arok
memilih untuk tidak mendeklarasikan perang secara langsung kepada
Ametung, namun dia memanfaatkan Kebo Hijo sebagai alat dan tumbal untuk
membunuh Ametung dengan cara menyelinap dimalam hari.
[1]
Tentu ada banyak yang bertanya-tanya mengapa mengangkat tema Strategi
Ken Arok dalam membandingkanya dengan Sun Tzu, mengapa tidak Patih Gajah
Mada atau tokoh berpengaruh lainya seperti Erlangga?. Untuk menjawab
itu tentunya menjadi sangat subyektif bagi setiap individu yang
mengintepretasikanya. Bagi penulis Ken Arok tergolong sebagai seorang
tokoh klasik yang memiliki pengaruh besar dalam tanah jawa, terutama
keberahasilanya merebut kerajaan TumapeL yang sekarang dikenal dengan
Singhasari serta dibalut dalam kisah romanya mengambil Ken Dedes dari
raja Tumapel pada waktu itu. Disisi lain dengan melihat pola strategi
dan taktik yang diterapkan oleh Ken Arok sebenarnya kita dapat sedikit
mengintepretasikan bagaimana konsep kekuasaan dan strategi orang jawa
dalam memimpin. Ini menjadi menarik lantaran banyak sekali yang
mengaitkan Sukarno, Suharto dan juga SBY termasuk Jokowi sebagai presiden yang masih
kental menerapkan konsep strategi dan kekuaasaan ala “jawa”.
[2] Acharya. Amitav, Buzan Barry “Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and Beyond Asia” Routladge. London dan Newyork 2010. Hal 1-2.
[3] Point-point tersebut diataranya ialah ( Offensive Strategy & Manuver)
[4] “Pararaton : Kitab Para Datu Atau Kisah Ken Angrok” Bagian I Hal : 6.
[5] Ibid.,Hal 11.
[6] Tzu. Sun & Minfor. John “The Art of War” Middlebury Collage Publication, New England Review Vol 23, No 3. 1990. Hal 11.
[7] Pararaton.,Op.Cit Hal : 10.
Oleh : Erry Mega Herlambang
Oleh : Erry Mega Herlambang
0 komentar :
Posting Komentar