Imposible Sampah Plastik Untuk Bahan Aspal Jalan (dok-Asrul) |
Jakarta --- Perlu pencerahan pada stakeholder tentang solusi sampah
plastik khususnya wacana menjadikan campuran pada pengaspalan jalan.
Walau info ini riel disampaikan oleh beberapa menteri terkait, sebut
misalnya Menteri Kordinator Maritim, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Menteri PUPera dan beberapa badan/lembaga lainnya termasuk
beberapa LSM/Lembaga nir laba atau asosiasi, sepertinya semua
mengaminkan rencana ini.
Padahal sesungguhnya sangat tidak masuk
akal untuk diwujudkan di Indonesia (baca dan fahami karakteristik
sampah Indonesia). Bukan tidak bisa dipakai Sampah Plastik dicampur pada
Aspal Jalan, bisa saja tapi aspek ke"Ekonomi"annya tidak feasible.
Lebih menguntungkan (baik volume maupun sisi ekonomi) di daur ulang
dibanding dijadikan bahan campuran aspal. Lebih baik dan segera stop
wacana ini.
Tulisan ini untuk menanggapi banyaknya pemberitaan
tentang rencana pemerintah Indonesia untuk menjadikan Sampah Plastik
menjadi campuran Aspal untuk jalan raya, antara lain: pada Berita Sindo
News PUPR Siap Jadikan Sampah Plastik untuk Bahan Campuran Aspal, Berita Tempo Bisnis Menteri Basuki Tawarkan Proyek Aspal dari Sampah Plastik, Berita Kumparan Luhut:Sampah Plastik Bisa Jadi Campuran Aspal Sampai Sumber Listrik, KembangkanLimbah Plastik Jadi Aspal, Pemerintah Belajar dari India. dan masih banyak pemberitaan lainnya.
Pemerintah Perlu Baca Ulang Regulasi dan Pahami Karakteristik Sampah Indonesia
Geliat
berpikir dan bertindak yang berlebihan oleh "oknum" pemerintah di
Kemenko Maritim, Kemenko Ekonomi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian PUPera. Sepertinya menunjukkan ketidakpahaman
pemerintah mengenali karakteristik dan masalah sampah, khususnya dalam
mengatasi permasalahan sampah plastik, dan rupanya ini perlu diluruskan.
Kenapa? ini semua akibat:
Pemerintah terprovokasi dari data
survey sampah plastik Prof. Jenna Jambeck (Hasil survey ini di rilis
pada tahun 2015), Jambeck dari University of Georgia Amenrika Serikat
yang tidak feasible untuk dijadikan data utama (karena tidak
melalui survey secara faktual) dimana Jambeck menempatkan Indonesia
sebagai produsen plastik terbesar ke-2 di dunia (ini sangat jelas tidak
masuk akal), dan sudah diluruskan oleh Jambeck beberapa waktu lalu di
Jakarta dan Bali. Sudah beberapa tulisan saya di media termasuk di
kompasiana ini atas tanggapan survey Jambeck dan permasalahan sampah
Indonesia. Bahwa sah-sah saja data Jambeck ini sebagai pembanding
(motivasi) namun jangan dijadikan acuan utama dalam membuat solusi atau
kebijakan strategis. Sangat berbahaya dan akan merugikan Indonesia
sendiri, baik dari sisi pendanaan maupun dampaknya di masyarakat dan
pengusaha (investor).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
terkait diduga menjadi atau "sengaja" kalang kabut untuk mencari
"peluang" di balik solusi atas sampah plastik tersebut yang didukung
oleh beberapa pihak komunitas. Maka muncullah berbagai
kebijakan-kebijakan yang semu pula alias kebijakan labil tak mendasar
dan mati suri. Munculah alasan-alasan pembenar dan mengambil kesempatan
dalam kesempitan ini. Sungguh ironis kondisi ini. Masyarakatlah jadi
bulan-bulanan dan dikorbankan.
Satu contoh kebijakan Kantong
Plastik Berbayar (KPB) yang penulis telah kawal sejak diluncurkan (21
Februari 2016) dan kritisi serius kebijakan KPB ini karena diduga
terjadi abuse of power oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan Dirjen Pengelolaan Sampah dan B3 yang telah mengeluarkan
kebijakan tersebut melalui Surat Edaran Dirjen PSLB3-KLHK dengan
dukungan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia
(Aprindo) dan Ritel Non Aprindo. Namun sampai saat ini belum
dipertanggungjawabkan oleh KLHK atas pelaksanaan kegiatan tersebut dan
masih menyimpan misteri yang perlu dituntaskan). Ini masih merupakan PR
sampai sekarang.
Perlu pemahaman serius dan mendalam serta jujur berdasar fakta lapangan oleh stakeholder
sampah (Asosiasi Sampah, Asosiasi DUP dll) khususnya kepada Kementerian
(KLHK, Menko Maritim, Menko Ekonomi, Menteri PUPera, Menteri
Perindustrian), bahwa data sampah Jambeck tsb tidak sesuai dengan
kondisi lapangan yang di klaim No. 2 di dunia itu. Karena dalam fakta
Sampah Plastik itu sangat dibutuhkan dan menjadi bahan baku industri DUP
(jadi sampah plastik ini sangat laku di pasaran). Alibinya pula
Indonesia masih import bahan baku plastik Original. untuk menutupi
kekurangan bahan baku Industri berbahan baku sampah daur ulang plastik
(DUP).
Di Indonesia juga marak wacana dan malah katanya sudah
diuji coba sampah plastik menjadi campuran Aspal untuk jalan di Kota
Bekasi. Ya benar bisa saja sampah plastik tersebut dicampur aspal. Tapi
sadarkah bahwa untuk dijadikan campuran aspal, mau ambil bahan baku dari
mana? Dan plastiknya tidak sembarang pula. Juga tidak layak ekonomi,
karena lebih tinggi nilai ekonominya di DUP dari pada dicampur aspal dan
biayanya juga mahal (perkiraan Rp. 1M/kilometer). Sangat jelas nilai
ke"ekonomi"annya tidak feasible artinya imposible (omong kosong) saja. Pak Luhut Binsar Pandjaitan dan Siti Nurbaya Bakar harus memahami masalah ini dengan benar dan berkeadilan dan jangan salah penyampaian kepada Presiden Joko Widodo yang ahirnya tekan lagi kebijakan yang salah dan keliru.
Mengapa stakeholder
sampah Indonesia "memaksakan dirinya untuk keliru" dan ada apa KLHK
tidak menjalankan regulasi sampah dengan utuh di hulu (ingat solusi
sampah bukan di hilir), sangat difahami kondisi ini, dengan beberapa
kali pertemuan dengan pihak kementerian terkait?!
Koq tidak pernah ada baca baik-baik regulasi sampah dan regulasi pendukung lainnya.... hehehe (sengaja ya... hohohoho).
Tapi
maaf bila saya minta Anda baca fokus dan pahami lalu wujudkan sebuah
pedoman dasar (kebijakan) bagi pemda Kab/Kota di Indonesia. Agar KLHK
dan komponen pendampingnya berhenti berpikir Teknis, ini menjadikan
pemerintah (KLHK) gagal membuat kebijakan pengolahan sampah. Anda akan
gagal menata sampah Indonesia bila Anda tidak berubah paradigma (Ingat
kementerian bukan pekerja teknis). Hukum menanti Anda. Yakin itu, sudah
banyak contoh-contoh pejabat di penjara akibat memaksakan sebuah
kebijakan "abuse of power" dan menguntungkan kelompok tertentu (seperti KPB tersebut).
Pemerintah
pusat agar berhenti berpikir teknis (cukup non teknis sebagai fungsi
kebijakan) itulah tupoksinya, serahkan teknisnya ke pemda Kab/Kota.
Pemda akan berbuat dan menciptakan solusi sesuai kearifannya berdasar
undang-undang persampahan yang ada. Pemerintah pusat agar menuntun pemda
untuk "mengelola sampah" lebih baik bukan lebih korup. Stop koruptif di
persampahan ini.
Noted.
Yuk para komunitas atau asosiasi DUP atau Asosiasi Sampah lainnya, termasuk komunitas pemerhati dan pengelola sampah di Indonesia agar berani bersuara positif (obyektif), mari bersama memberi pemahaman yang obyektif ke pihak pemerintah dan stop atau jangan "terkesan" kerjasama menciptakan "pembenaran" kebijakan yang keliru terhadap solusi sampah plastik (berhentilah berada di ketiak oknum pemerintah, itu berbahaya Bro/Sis) dan kami pantau semua itu.
Yuk para komunitas atau asosiasi DUP atau Asosiasi Sampah lainnya, termasuk komunitas pemerhati dan pengelola sampah di Indonesia agar berani bersuara positif (obyektif), mari bersama memberi pemahaman yang obyektif ke pihak pemerintah dan stop atau jangan "terkesan" kerjasama menciptakan "pembenaran" kebijakan yang keliru terhadap solusi sampah plastik (berhentilah berada di ketiak oknum pemerintah, itu berbahaya Bro/Sis) dan kami pantau semua itu.
Diharapkan pemerintah (khususnya
KLHK, Menko Maritim, Menko Ekonomi, Menteri Perindustrian, Menteri
PUPera) tidak keliru lagi mengambil kebijakan akibat data dan pemahaman
yang keliru serta bertentangan dengan regulasi. Solusi sampah sudah
diamanatkan dalam regulasi, tinggal kecerdasan, kejujuran dan kemauan
kuat untuk mengaplikasi regulasi persampahan tersebut. Hindari abuse of
power (kondisi ini sangat kental terbaca), karena itu sangat berbahaya,
baik pada oknum pemerintah maupun organ-organ pendukung yang ada dan
bekerja di lingkar pemerintah.
Jakarta, 10 Juli 2017
0 komentar :
Posting Komentar