Pengelolaan Sampah Kawasan, Optimalisasi Fungsi TPS
Jakarta, 7 November 2017
H.Asrul Hoesein (Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation)
Mobile: 08119772131
WA: 081287783331
Jakarta - Indonesia
Pengelolaan Sampah Kawasan (dok_Asrul) |
Permasalahan sampah di Indonesia
menjadi masalah yang serius yang belum dapat diselesaikan dengan baik oleh
Pemerintah kab/kota. Permasalahan tersebut selain disebabkan oleh keterbatasan
pendanaan untuk penyediaan infrastruktur juga rendahnya tingkat pelayanan
persampahan terhadap masyarakat. Hampir semua Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) tidak dapat lagi menampung sampah yang
dihasilkan oleh masyarakat, sehingga sampah menumpuk dan menimbulkan bau yang
tidak sedap yang dapat menimbulkan berbagai masalah di perkotaan seperti
penyakit, banjir, dll.
Sampah sebagai barang sisa yang
tidak terpakai baik padat maupun cair dari manusia, sehingga dengan demikian apabila
masalah sampah ini tidak dapat dikelola dengan baik maka otomatis akan
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan mengancam
kehudupan manusia itu sendiri. Dimana notabene kota-kota di Indonesia sampai
sejauh ini belum mampu menangani sampah ini dengan baik.
Dengan adanya pertumbuhan kota
yang pesat dan tingkat sosial yang berubah serta teknologi kemajuan manusia
berkembang, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan penanganan secara
seksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih memadai
ditinjau dari segala aspek, baik itu aspek sosial, aspek ekonomi maupun aspek
teknis. Dalam kondisi sekarang ini penanganannya menjadi masalah yang kian
mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab pertumbuhan kota di indonesia akan
terus berlangsung dengan percepatan yang tidak juga berkurang bahkan ada
kecenderungan terus meningkat.
Kondisi yang demikian dapat
diprediksikan kedepan bahwa kota juga akan memproduksi sampah lebih banyak dan
lebih bervariatif, oleh karenanya apabila tidak dilakukan penanganan yang baik
sejak sekarang ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan
lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari
lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara, yang pada gilirannya kehidupan
perkotaan dan perdesaan dihadapkan kepada kehidupan yang tidak sehat serta
tidak seimbang lagi dengan perkembangannya.
Pada umumnya,
sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah,
yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan
sampah yang terdesentralisisasi sangat tidak membantu dalam meminimasi sampah
yang harus dibuang ke tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) atau
pengelolaan secara sentralisasi. Pada
prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan
sumbernya, dengan prediksi >80% pengelolaan di
Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dan >20%pengelolaan di TPA, hanya
sampah B3 (10-20%) menuju TPA. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak
berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat (sentralisasi).
Semua kota/kabupaten
rata-rata mempunyai lokasi TPA yang sebagian besar masih berada di wilayah
administrasinya (+ 88 %), namun juga ada kota/kabupaten tidak demikian
dan memanfaatkan TPA secara bersama-sama (6 %), semisal
di Sulawesi Selatan, pengelolaan sampah secara regional 4 kota/kabupaten (Kota
Makassar, Kab. Maros, Kab. Gowa dan Kab.Takalar), Sedangkan status lahan TPA sebesar
93 % milik sendiri dan yang lainya sewa atau status lainya. Adanya prasarana
lain seperti drainase, liner dan alat-alat berat juga serta kegiatan pemantauan
terhadap lindi dan kualitas air tanah juga telah dilakukan oleh sebagian
kota/kabupaten. (Kantor Negara
Lingkungan Hidup, 2008)
Dari sistem pengelolaan
persampahan yang sedang berjalan sampai saat ini, ternyata masih belum mampu
menangani persampahan kota, karena ada beberapa permasalahan yang timbul dalam
sistem penanganan sampah sistem sekarang ini, yakni :
1.
Dari segi pengumpulan
sampah dirasa kurang
efisien karena mulai dari sumber sampah (hulu) sampai ke TPA
(hilir), sampah belum dipilah-pilah sehingga
kalaupun akan diterapkan
teknologi lanjutan berupa
komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut
jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan,
dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.
2.
Pembuangan akhir ke TPA dapat
menimbulkan masalah, diantaranya :
a.
Perlu lahan yang besar bagi
TPA sehingga hanya cocok
bagi kota yang masih mempunyai
banyak lahan yang
tidak terpakai. Apalagi
bila kota menjadi
semakin bertambah jumlah
penduduknya, maka sampah akan menjadi semakin
bertambah baik jumlah
dan jenisnya. Hal ini akan
semakin bertambah juga
luasan lahan bagi
TPA. Apabila instalasi
Incinerator yang ada tidak
dapat mengimbangi jumlah
sampah yang masuk jumlah
timbunannya semakin lama
semakin meningkat. Lalu
dikhawatirkan akan timbul
berbagai masalah sosial dan lingkungan, diantaranya :
- Dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain;
- Dapat menimbulkan bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter;
- Dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.
b.
Biaya operasional sangat tinggi bagi
pengumpulan, pengangkutan dan
pengolahan lebih lanjut. Apalagi
bila letak TPA jauh dan bukan di wilayah otonomi.
c.
Pembuangan sistem
open dumping (hampir semua
kab/kota di Indonesia masih menerapkan system ini), ini dapat menimbulkan
beberapa dampak negatif terhadap
lingkungan (sebagaimana amanat UU.18-2008 Ttg. Pengelolaan Sampah dan
PP-81-2012 Ttg. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga, bahwa pada tahun 2013 (regulasi
berlaku efektif), system open dumping
harus ditinggalkan dan sampah harus dipilah dan dikelola pada sumbernya). Begitu pula pada penimbunan dengan sistem
anarobik landfill akan timbul
leachate di dalam lapisan
timbunan dan akan merembes ke dalam
lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini
sangat merusak dan dapat
menimbulkan bau tidak enak,
selain itu dapat menjadi
tempat pembiakan bibit
penyakit seperti : lalat, tikus dan lainnya (Sidik, et al, 1985).
d. Pembuangan dengan cara sanitary
landfill, walaupun dapat mencegah
timbulnya bau, penyakit dan lainnya,
tetapi masih memungkinkan
muncul masalah lain yakni :
-
Timbulnya gas
yang dapat menyebabkan
pencemaran udara. Gas-gas
yang mungkin dihasilkan adalah :
methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S
dan NH3 walaupun jumlahnya
sedikit, namun dapat menyebabkan
bau yang tidak enak sehingga dapat
merusak sistem pernafasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen
dan akhirnya mati.
-
Pada proses penimbunan,
sebaiknya sampah diolah terlebih dahulu dengan cara dihancurkan dengan tujuan
untuk memperkecil volume sampah agar memudahkan pemampatan sampah. Untuk melakukan ini tentunya perlu tambahan
pekerjaan yang berujung pada tambahan dana.
3.
Penggunaan Incinerator
dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya
-
Dihasilkan abu (15%) dan gas
yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Selain itu gas yang dihasilkan dari
pembakaran dengan menggunakan
alat ini dapat mengandung gas pencemar berupa : NOx, SOx
dan lain-lain yang
dapat mengganggu kesehatan manusia;
- Dapat menimbulkan air kotor
saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan Incinerator dari abu
maupun terak. Kualitas air kotor dari
instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun;
-
Memerlukan biaya yang besar
dalam menjalankan Incinerator. Untuk
menangani sampah 800 ton/hari memerlukan investasi Rp. 60 milyar, sedangkan
dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya
Rp. 2,24 milyar/tahun;
-
Butuh keahlian tertentu dalam penggunan
alat ini. Sebagai contoh pada penanganan
sampah di Surabaya, tehnologi ini sudah digunakan sejak tahun 1990, namun tanpa
didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang memahami filosofi alat ini, akibatnya pada tahun kedua
terjadi kerusakan. Hal ini tentu
menambah beban dalam perolehan dana bagi perbaikannya. Belum lagi sampah yang akan menumpuk dengan tidak berfungsinya
alat ini.
-
Penggunaan Incinerator ini
tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan
landfill guna membuang sisa pembakaran;
4.
Belum maksimalnya
usaha pemasaran bagi
kompos yang dihasilkan dari
proses pengomposan sampah kota;
5. Belum maksimalnya upaya sistem
daur ulang menjadi barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi;
6. Sulitnya mendapatkan tambahan
biaya bagi peningkatan kesejahteraan petugas yang terlibat dalam penanganan
sampah. Hal ini tentu akan berakibat
pada kegairahan kerja yang rendah dari para pengelola sampah.
Pengelolaan Sampah Diperkotaan Perlu Dirubah.
Masih belum tuntasnya penanganan
persampahan perkotaan sampai sejauh ini dengan baik, diperlukan
terobosan-terobosan maupun inovasi baru dalam manajemen pengelolaan
persampahan. Untuk maksud tersebut perlu melakukan evaluasi secara cermat atas
semua proses maupun langkah-langkah yang selama ini telah pernah kita lakukan
sebagaimana pembahasan dimuka.
Seperti diketahui bahwa pola
pembuangan sampah yang dilakukan dengan sistem TPA perlu difikirkan ulang
(perubahan mindset atau paradigma), apakah masih relevan dengan kondisi sekarang, dimana lahan
kota yang semakin sempit karena pertambahan penduduk yang pesat. Pembuangan
yang dilakukan dengan pembuangan sampah secara terbuka dan di tempat terbuka
juga berakibat meningkatnya intensitas pencemaran .karena dalam banyak hal
pengelolaan TPA masih sangat buruk mulai dari penanganan air
sampah (leachet) sampai penanganan bau yang sangat buruk. Selain itu yang paling dirugikan dan selama
ini tidak dirasakan oleh masyarakat adalah telah dikeluarkannya miliaran rupiah
untuk membuat dan mengelola TPA.
Solusi dalam mengatasi masalah
sampah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi terhadap semua program
pengelolaan sampah yang dimulai pada skala kawasan (tingkat kecamatan/kawasan
permukiman), kemudian dilanjutkan pada skala yang lebih luas lagi. Cara
penyelesaian yang ideal dalam penanganan sampah di perkotaan adalah dengan cara
membuang sampah sekaligus memanfaatkannya sehingga selain membersihkan
lingkungan, juga menghasilkan kegunaan baru.
Hal ini secara ekonomi akan mengurangi biaya penanganannya. Oleh
Karenanya model pengelolaan sampah
perkotaan secara menyeluruh salah satunya adalah meliputi penghapusan model pengelolaan sampah
secara sentralisasi di TPA secara bertahap, dengan solusi bijak dengan
pemberdayaan Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dengan berdampingan
dengan pengelolaan sampah secara komunal atau keterlibatan langsung masyarakat
melalui kelompok usaha bersama dalam pengelolaan sampah menjadi barang bernilai
ekonomi (pola Inti Plasma atau sentralisasi desentralisasi >
seDesentralisasi). Sehingga sampah tidak lagi dilihat sebelah mata, karena
merupakan bahan baku produksi lanjutan setelah disampahkan.
Partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam
sistem pengelolaan sampah secara terpadu.
Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan (basis komunal)
terbagi atas 4 tahap, yaitu :
- Partisipasi pada tahap perencanaan,
- Partisipasi pada tahap pelaksanaan (usaha Inti-Plasma), kelompok masyarakat membangun instalasi pengolahan sampah kota (IPSK atau IPSO) di TPS atau lingkungannya.
- Partisipasi pada tahap pemanfaatan hasil-hasil pembangunan termasuk proses pemasaran produk akhir berbahan dasar sampah, dan
- Partisipasi dalam tahap pengawasan dan monitoring, untuk memudahkan hal ini, pengelolaan sampah dimanage dalam sebuah usaha BUMR atau Perusda sebagai perusahaan Inti dan masyarakat sebagai perusahaan plasma.
Masyarakat senantiasa ikut
berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan bila terdapat faktor-faktor
yang mendukung, antara lain : kebutuhan, harapan, motivasi, ganjaran, kebutuhan
sarana dan prasarana, dorongan moral/agama, dan adanya kelembagaan baik
informal maupun formal. Termasuk didalam merealisir program terpadu ini, perlu
ada lembaga pendamping Pro Green dalam pengelolaan sampah tersebut, agar
masyarakat tidak salah arah dalam menjalankan manajemen system dan teknologi
serta pemasarannya.
Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sampah merupakan salah satu faktor teknis untuk menanggulangi
persoalan sampah perkotaan atau lingkungan pemukiman dari tahun ke tahun yang
semakin kompleks, karena dari rangkaian pengelolaan sampah, maka di hulu
(masyarakat) merupakan factor terberat (proses pemilahan), Indonesia perlu
regulasi (kab/kota sangat perlu membuat/merevisi perda persampahannya yang
mengacu pada UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan UU.32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam mendukung
penanganan persampahan ini dengan prinsip pro rakyat. Pemerintah Jepang saja membutuhkan waktu 10
tahun untuk membiasakan masyarakatnya memilah sampah. Reduce (mengurangi), Reuse (penggunan kembali)
dan Recycling (daur ulang) adalah model relatif aplikatif dan dapat bernilai
ekonomis. Sistem ini diterapkan pada
skala kawasan sehingga memperkecil kuantitas dan kompleksitas sampah. Model ini akan dapat memangkas rantai
transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama
diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang
jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.
Oleh karenanya, untuk mendapatkan
tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi dalam penanganan sampah di kota
maka dalam pengelolaannya harus cukup layak diterapkan yang sekaligus disertai
upaya pemanfaatannya sehingga diharapkan mempunyai keuntungan berupa nilai
tambah. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu pemilihan cara dan teknologi
yang tepat, perlu partisipasi aktif dari masyarakat sumber sampah berasal dan
mungkin perlu dilakukan kerjasama antar lembaga pemerintah yang terkait (antara
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Koperasi/UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan
Industri, Kementerian Tenaga Kerja,
Kementerian Sosial, Kementerian Kehutanan maupun lembaga keuangan). Serta lembaga social masyarakat (NGO),
perusahaan swasta dengan pemanfaatan dana CSR perusahaan dan dunia usaha (Kadin
Indonesia), karena konsep pengelolaan sampah terpadu ini dapat menjadi pemicu
tumbuhberkembangnya pengusaha-pengusaha daerah dalam mengelola sampah.
Disamping itu juga perlu aspek legal untuk dijadikan pedoman berupa
peraturan-peraturan mengenai lingkungan demi menanggulangi pencemaran
lingkungan yang diakibatkan oleh sampah.
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu,
suatu sistem pengelolaan sampah yang
beroperasi lebih banyak mengikut sertakan partisipasi masyarakat, lebih ramah
lingkungan, secara operasional lebih hemat energi dan biaya, serta secara
produktif dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sistem yang
dimaksud di sini merupakan satu diantara alternatif dari berbagai sistem
pengelolaan sampah lainnya, yang mengarah kepada pemecahan kelemahan-kelemahan
yang ada dalam penanganan sampah perkotaan dan limbah pertanian di perdesaan
selama ini.Satu di antara model konseptual yang dikembangkan adalah dengan
menerapkan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu dengan teknologi Komposter GreenPhoskko
atau aerobic composting system.
Sistem atau teknologi Komposter
GreenPhoskko atau aerobic composting system.ini beroperasi dengan cara zero
waste system atau sistem pengelolaan sampah tanpa sisa dan sampah tidak berbau
yang menganut motto “lebih baik memelihara kompos yang ramah lingkungan dan bernilai
ekonomis dari pada memelihara sampah yang menurunkan kualitas lingkungan”.
Dari sistim ini sampah relatif habis terurai menjadi kompos yang tidak
menimbulkan polusi tanah, perairan dan udara, sedang truk-truk pengangkut
sampah dari TPS ke TPA bebannya berkurang dengan cukup banyak, karena ada
Komposter GreenPhoskko yang merupakan
sarana pengubah sampah menjadi kompos langsung ditempat (hulu).
Sistem Pengelolaan Sampah terpadu
diarahkan agar sampah-sampah dapat dikelola dengan baik dalam arti mampu
menjawab permasalahan sampah hingga saat ini yang belum dapat diselesaikan
dengan tuntas, juga diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal agar mampu
mandiri terutama menyangkut :
1.
Penataan dan pemanfaatan sampah
berbasis masyarakat secara terpadu,
2.
Peningkatan partisipasi aktif
masyarakat dalam pengelolaan sampah,
3.
Penggalian potensi ekonomi dari
sampah, sehingga diharapkan dapat memperluas lapangan kerja.
Pengelolaan sampah terpadu dengan
teknologi Komposter GreenPhoskko atau aerobic composting system ini, karena
melibatkan mayarakat luas, agar dapat berjalan dengan baik diperlukan
studi-studi yang mendalam dan berlanjut, pendekatan-pendekatan secara
menyeluruh, baik pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan teknis,
pendekatan secara ekonomis, maupun perlu adanya kebijakan-kebijakan dan
peraturan-peraturan yang mendukungnya (diharapkan kemauan yang kuat oleh
pemerintah dalam mengatasi masalah persampahan ini).
Studi Penelitian Terpadu
Kegiatan ini diawali dengan melibatkan lembaga peneliti, pemerhati
dan praktisi guna mencari data sedetail mungkin mengenai
sampah, sehingga akan keluar suatu
hubungan korelasi antara input
dengan output yang pada akhirnya akan memudahkan perecanaan sistem penanganan dan investasi yang mengacu pada
data/kondisi yang ada.
Pendekatan Sosial
Segala sesuatu agar dapat diterima
oleh masyarakat dengan baik, terlebih dahulu harus dilakukan proses sosialisasi
terhadap masyarakat, agar betul-betul masyarakat dengan teknologi yang baru
yaitu dengan teknologi Komposter
GreenPhoskko atau aerobic composting system, dapat diketahui, dimengerti,
difahami, diterima dan selanjutnya akan dilaksanakan oleh masyarakat secara
utuh dengan kesadaran yang tinggi. Dengan sosialisasi dan presentasi ini
nantinya juga dapat di potret aspirasi, kondisi masyarakat secara lebih utuh,
sehingga bahan ini akan dapat dipakai untuk menyusun organisasi kelembagaan
yang akan menangani Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu ini.
Pengalaman menunjukkan bahwa
kegagalan suatu proyek/kegiatan banyak disebabkan karena tidak adanya
sosialisai kepada masyarakat yang mumpuni atau sosialisasi yang terlalu minim
sekali, oleh karenanya pendekatan ini harus menjadikan masyarakat sebagai
subyek, sebagai penentu dimana peran aktif masyarakat memang harus besar atau
setidak-tidaknya masyarakat merupakan partner yang penting dalam pengelolaan
sampah dengan sistem pengelolaan sampah terpadu. Masyarakat harus didorong
untuk mampu bertindak/berinovasi dalam membangun sistim ini sesuai dengan
kondisi yang ada, tanpa terlalu didominasi oleh campur tangan pemerintah yang
sifatnya top down atau masyarakat hanya sekedar menerima saja, perencanaan dan
pelaksanaan harus bertumbuh dari bawah (button up).
Dalam hal
ini agar sosialisasi lebih
effektif perlu penyelenggaraan kampanye
secara rutin (masif) melalui kegiatan
penyuluhan/presentasi langsung, AMT/pelatihan kewiraswastaan,
pelatihan pemanfaatan sampah, informasi melalui
media TV, radio, koran/majalah
dan lain – lain mengenai
dampak dari sampah yang
tidak terolah, dan
penyelenggaraan forum-forum informasi
daerah dengan melibatkan masyarakat
dan lembaga non pemerintah (ornop/LSM/KSM) sebagai organisasi yang
langsung bersentuhan dengan masyarakat (partisipatoris).
Pendekatan Teknis
Secara garis besar, teknis
pengelolaan sampah Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu dengan teknologi Komposter
GreenPhoskko atau aerobic composting system., dilakukan sebagai berikut :
Pada tahap
ini sampah masih berada dimana sampah itu dihasilkan
sebagai hasil buangan dari suatu kegiatan, diantaranya adalah kegiatan
rumah tangga, kegiatan pasar dan kegiatan industri. Disini sampah sudah
disortir dan dipilih maupun dipilah menjadi sampah organik dan
sampah anorganik oleh
tenaga kerja yang terlatih
(kader pembina atau anggota
masyarakat yang dibekali penyuluhan dan pelatihan
mengenai sampah terpadu).
Tentunya sambil disortir sampah tersebut ditempatkan dalam suatu wadah tertentu
yang sudah standart baik warna maupun ukuranya, warna menunjukkan jenis
sampahnya sedang ukuran wadah atau kemasan biasanya hanya untuk alasan
mempermudah dalam pengangkutan menuju proses selanjutnya.
Seperti sampah rumah tangga
misalnya, wadahnya dapat berupa kantong plastik dengan warna hijau/hitam untuk
sampah organik, sedangkan kantong plastik warna kuning/biru untuk sampah
anorganik dan kantong plastic warna merah untuk sampah B3 (berbau,beracun dan
berbahaya). Demikian untuk sampah pasar maupun sampah industri dapat direncanakan
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Di dalam kantong–kantong plastik ini dari sumbernya diangkut dengan
gerobak sampah yang sudah di desain sebagai gerobak-gerobak penyortir yang
mengangkut sampah ke Instalasi Pengolahan Sampah Kota (IPSK)> usaha plasma
atau kelompok usaha (bersama) masyarakat.
Selanjutya, sampah
anorganik jenis logam dikumpulkan dan dipilah ulang disortir menurut
jenis logamnya (bahannya) dan selanjutnya di pres pada mesin
pres menjadi bentuk padatan kubus
yang mudah di pindah
disimpan, atau diangkut ke
indutri proses lanjutan (pabrik
peleburan dan industri otomotif). Sedangkan bahan plastik
di hancurkan oleh mesin
pulverasi plastik menjadi serbuk/ bijih plastik
siap eskpor. Bahan-bahan
anorganik tersebut dikumpulkan dari
beberapa tempat, dan pada saat yang
relatif bersamaan semua
bahan organik yang mudah
lapuk setelah terkumpul juga
segera diangkut ke depot
penanganan dan pengolahan
IPSK untuk proses selanjutnya menjadi pupuk organik atau proses
daur ulang lainnya.
Pabrik pengolahan Sampah
IPSK dilengkapi dengan beberapa
gudang penampungan. Gudang penampungan
limbah plastik dilengkapi dengan alat mesin penghancur
plastik yang memroduksi
bijih plastik diexspor. Gudang
penampungan limbah logam
dilengkapi alat pengepres
logam. Beberapa logam
disortir kembali sesuai dengan jenis logam. Setelah dipres
logam tersebut segera dijual. Khusus gudang
penampungan limbah kaca,
dilengkapi alat pendulang
kaca.
Sedangkan sampah
organik yang mudah
lapuk segera setelah dikering-
anginkan dan diranjang dengan mesin peranjang. Bau busuk sampah organik di eliminasi oleh Bioaktivator GreenPhoskko, merupakan bahan pengurai
sampah organik yang
di semprotkan ke dalam
kantong plastik. Bioaktivitator GreenPhoskko
yang digunakan dalam sistem
ini adalah konsentrat cair yang
mengandung kumpulan bakteri
tergradasi (degraded bakteria).
Mikroba ini mampu
mempercepat pelapukan dan
penguraian bahan organik,
sekaligus menghilangkan bau
yang dihasilkan oleh
kegiatan bakteri pembusuk.
Sampah organik
disemprot dengan cairan
mikroba pengurai GreenPhoskko di tempatkan
ke dalam Komposter BioPhoskko
sampah untuk diproses
menjadi kompos padat dan kompos cair. Lama proses pengomposan diperkirakan
antara 5—7 hari, bergantung
komposisi sampah organik yang
diproses dan aktivitas miktoba pengurai yang
digunakan.
Kompos yang
dihasilkan kemudian disaring,
dikering-angikan dan diuji
melalui pengujian
sertifikasi kompos di laboratorium IPSK bila
perlu, komposisi kompas
dapat direkayasa sedemikian
rupa dengan kebutuhan
penggunaanya (seperti kompos super, granul, pupuk NPK Tablet); sebagai pupuk kompos multiguna untuk kesuburan tanah pertanian,
atau bahan kondisioner tanah
untuk reklamasi lahan marginal, atau
lahan bekas tambang. Setelah dikemas, kompos ini dipasarkan sebagai komoditi agrisbisnis, baik
untuk kebutuhan dalam
negeri maupun ekspor.
Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi pada dasarnya
menekankan aspek kelayakan kegiatan pengolahan secara ekonomi. Kelayakkan tersebut
dapat berupa struktur
dan rancang bangun instalasi
pengolahan sampah terpadu (IPSK atau IPSO) dapat memenuhi persaratan
untuk dioprasikan sebagai fasilitas
teknis kegiatan industri yang
aman dan terkendali ; ramah lingkugan yang keberadanya
tidak mengurangi kualitas
lingkungan hidup di sekitarnya ; baik kualitas
sosial maupun kualitas SDA, dan
secara perhitungan tekno-sosio-ekonomi memberikan
keuntungan ekonomi dengan nilai tambah yang proporsional .
Dengan demikian, untuk menciptakan
sistem pengolahan sampah yang
memberi nilai ekonnomi
baik, haruslah dilihat
sampai pada skala
ekonomi berapa sistem ini
akan memberikan dampak
ekonomi yang positif, tidak
saja bagi pemerintah akan tetap juga bagi
masyarakat.
Masyarakat setidaknya disubsidi
kantong kresek sampah berwarna (Hijau,Kuning, Merah) dengan retribusi sampah
yang sangat rendah bila perlu gratis. Karena pemilahan yang baik di tingkat
hulu (masyarakat) akan memudahkan proses produksi sampah organik dan anorganik
akhirnya terjadi substitusi silang PAD dari penjualan dari hasil produksi
tersebut di tingkat usaha plasma dan usaha inti. Sebagai Ilustrasi, pengelolaan
sampah terpadu ini merupakan sebuah pengelolaan manajemen usaha besar dimana
masyarakat seakan bertindak pengelola/karyawan dari perusahaan plasma/inti
tersebut. Kresek sampah akan di produksi di Industri Inti yang berlokasi di
TPA.
Ukuran yang
dapat dijakan dasar
untuk menilai kelayakan
ekonomi dari implementasi
IPSK/IPSO ini adalah dengan
NPV (Net present value) dari proyek
disertai dengan IRR (Internal
Rate of Retum) yang dapat
dihasilkan dengan sistem
ini. Penerapan sistem pengolahan
sampah model IPSK/IPSO (Inti-Plasma) ini bila
dilihat dari pendekatan
ekonomi harus dapat
memberikan pendapatan tambahan
bagi masyarakat sekitar
dan bahkan secara makro dapat
meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) serta mendukung
ketahanan pangan nasional, terlebih dalam mengantisipasi perubahan iklim (Stop Global
Warming).
Kebijakan Politik
Pemerintah daerah diharapkan
dapat melakukan kebijakan politik
khusunya mengenai pengelolaan sampah dan
hendaknya didukung penuh
oleh pemerintah pusat dengan
melibatkan stakeholder dalam teknis perencanaan, penyelenggaraan dan
pengembanganya. Hal ini diperlukan karena sampah pada dasarnya bukan sekedar permasalahan Pemda atau Dinas
Kebersihan atau Badan Lingkungan Hidup
setempat, namun lebih dari itu merupakan
masalah bagi setiap
individu, keluarga, organisasi
dan akan menjadi masalah negara bila sistem perencanaan dan pelaksanaanya tidak
dilakukan dengan terpadu dan berkelanjutan (sustainable).
Aparat terkait sebaiknya tidak
ikut terlibat secara teknis dan dalam hal ini untuk menghindari
meningkatnya anggaran biaya
penyelenggaraan, selain itu
keterlibatan aparat terkait
dikhawatirkan akan membentuk budaya
masyarakat yang bersifat
tidak peduli. Pemerintah
dan aparat terkait sebaiknya memposisikan
kewenangannya sebagai fasilitator dan
regulator, dan setiap
permasalahan persampahan sebaiknya
dimunculkan oleh masyarakat atau organisasi sisial selaku produsen sampah . Hal
ini diharapkan terciptanya sikap masyarakat selaku individu, keluarga dan
organisasi.
Law Enforcement
Semua fihak yang berkepentingan
berharap sistem yang dibangun dapat berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme
yang telah direncanakan dan sistem itu juga telah disepakati bersama, oleh
karenanya juga perlu dibangun juga
subsistem penegakan hukum (law enforcement) yang memadai, agar semua fihak
memahami akan hak-haknya, demikian juga kewajiban-kewajibannya. Perlunya
dibangun suatu penegakan hukum dimaksud agar pelanggaran-pelanggaran akan
ada sanksi-sanksi, dimana sanksi yang diterapkan disesuaikan jenis
pelanggaranya sehingga penerapanya dilakukan secara berjenjang mulai dari yang
bersifat mendidik, peringatan dan pemungutan
kembali sampah yang dibuang,
hukuman social, kompensasi pembayaran
denda, hingga penegakan
hukum lingkungan bagi pelanggar lingkungan.
Keuntungan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh
dari sistem pengelolaan sampah terpadu ini, diantaranya:
- Dengan sitem IPSK/IPSO (pola Inti-Plasma atau seDesentralisasi) dan pengelolaan Bank Sampah ini terjadi peningkatan kualitas lingkungan demikian juga ekosistem dapat terjaga dengan baik, karena sistem yang dipakai dengan pengelolan sampah tanpa sisa (zero waste);
- Distribusi sampah akan terputus, karena pengangkutan sampah menjadi sangat kecil, sehingga dengan demikian biaya pengangkutan serta biaya pengelolaan di TPA dapat ditekan;
- Tidak memerlukan lahan untuk TPA yang luas ataupun TPA terpusat dengan incenerator maupun peralatan lainya dengan biaya operasional yang besar, cukup lahan-lahan untuk lokasi IPSK/IPSO yang lebih kecil yang mendekati daerah pelayanan;
- Dapat menghasilkan nilai tambah hasil pemanfaatan sampah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis, dan tidak membebani pemerintah daerah yang berlebihan dan sebaliknya dengan pengelolaan sampah yang bijak, dapat menciptakan sumber ekonomi baru baik pada pemerintah (PAD) terlebih kepada masyarakat itu sendiri sebagai produsen sampah;
- Dapat menambah lapangan pekerjaan sekaligus dapat lebih mensejahterakan masyarakat pengelola dengan berdirinya badan usaha yang dikelola oleh masyarakat yang mengelola sampah menjadi bahan yang bermanfaat;
- Beban Anggaran Pemerintah Daerah Kab/Kota termasuk kawasan industry/pabrik akan berkurang, atau bahkan akan tidak ada sama sekali (yang terkait dengan penanganan sampah).
Kesimpulan.
- Pengelolaan yang sedang berjalan saat ini baik di TPA maupun di TPS yang mengandalkan pada sistem pengangkutan, pembuangan dan pengolahan menjadi bahan urugan perlu diubah karena dirasakan sangat tidak ekonomis (cost center). Disamping memerlukan biaya operasional dan lahan bagi pembuangan akhir yang luas juga menimbulkan banyak dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan masyarakat kota serta akan menumbuhkan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungannya. Intinya rubah paradigm kelola sampah dari Kumpul-Angkut-Buang menjadi Pilah-Kelola-Manfaat.
- Kedepan pendekatan yang paling tepat dalam penanganan sampah melalui sistem pengelolaan sampah terpadu dengan teknologi Komposter GreenPhoskko atau aerobic composting system berbasis komunal, dimana sistem ini merupakan sitem pengelolaan sampah tanpa sisa (zero waste system), karena sampah (khususnya organic) dapat dikelola menjadi kompos dan sumber energy baru skala kawasan (PLTBM=Pembangkit Listrik Tenaga Bio Massa),
- Merubah paradigma dari cost center menjadi profit center dengan cara memaksimalkam peran serta masyarakat dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempuyai nilai ekonomis dan stop pembakaran sampah dengan penggunaan incinerator.
H.Asrul Hoesein (Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation)
Mobile: 08119772131
WA: 081287783331
Jakarta - Indonesia
0 komentar :
Posting Komentar