Kebijakan pengurangan pemakaian kantong plastik melalui kebijakan Kantong Plastik Berbayar ini banyak menuai kontra di kalangan masyarakat, karena pemerintah dinilai menambah beban masyarakat dan bisa saja merusak sistem manajemen pemasaran perusahaan retail (service konsumen) termasuk industri kantong plastik itu sendiri, dimana kantong belanja tersebut menjadi hak konsumen termasuk pula kantong plastik itu harganya sudah dimasukkan dalam nilai barang dagangan dari ritel. Jadi dengan adanya kebijakan Kantong Plastik Berbayar, maka konsumen membayar dua kali harga dari kantong plastik tersebut. Jelas kebijakan ini menguntungkan pengusaha ritel secara sepihak dan banyak kalangan menilai kebijakan ini bersifat koruptif.
Saya yakin pengusaha ritel juga tidak setuju dengan kebijakan ini, pasti ada keraguan dalam menjalankan kebijakan Kantong Plastik Berbayar alias Kantong Plastik Tidak Gratis (sembaranglah bahasa yang diplintir oleh oknum pemerintah untuk mendesain tata bahasa agar tidak merusak otak konsumen atau rakyat agar menerima dengan tulus kebijakan ini). Sungguh ironis pengelolaan sampah di Indonesia yang dipenuhi intrik-intrik yang sudah tidak sehat lagi,
Padahal seharusnya pemerintah mengeluarkan aturan yang pro rakyat. Banyak cara yang bisa ditempuh tanpa harus ‘mengorbankan’ masyarakat. Sepertinya pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah kehabisan akal dalam menyiasati pengelolaan sampah. Padahal banyak cara, hanya pemerintah yang setengah hati menjalankan regulasi persampahan yang ada (regulasi sudah sangat bagus, tapi pemerintah yang kurang cerdas mengejawantah regulasi. Malah penulis menduga, sepertinya ada pembiaran??? Termasuk sepertinya terjadi informasi terputus dari Menteri LHK ke Presiden Jokowi, begitu pula antara SKPD ke Gubernur dan Bupati dan Walikota tentang pengelolaan sampah ini. Terbukti Presiden Jokowi sudah dua kali mengadakan Rapat Terbatas Kabinet untuk membahas permasalahan sampah ini, dan belum ada solusi signifikan dalam mengatasinya, hanya jalan ditempat.
Saya yakin pengusaha ritel juga tidak setuju dengan kebijakan ini, pasti ada keraguan dalam menjalankan kebijakan Kantong Plastik Berbayar alias Kantong Plastik Tidak Gratis (sembaranglah bahasa yang diplintir oleh oknum pemerintah untuk mendesain tata bahasa agar tidak merusak otak konsumen atau rakyat agar menerima dengan tulus kebijakan ini). Sungguh ironis pengelolaan sampah di Indonesia yang dipenuhi intrik-intrik yang sudah tidak sehat lagi,
Padahal seharusnya pemerintah mengeluarkan aturan yang pro rakyat. Banyak cara yang bisa ditempuh tanpa harus ‘mengorbankan’ masyarakat. Sepertinya pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah kehabisan akal dalam menyiasati pengelolaan sampah. Padahal banyak cara, hanya pemerintah yang setengah hati menjalankan regulasi persampahan yang ada (regulasi sudah sangat bagus, tapi pemerintah yang kurang cerdas mengejawantah regulasi. Malah penulis menduga, sepertinya ada pembiaran??? Termasuk sepertinya terjadi informasi terputus dari Menteri LHK ke Presiden Jokowi, begitu pula antara SKPD ke Gubernur dan Bupati dan Walikota tentang pengelolaan sampah ini. Terbukti Presiden Jokowi sudah dua kali mengadakan Rapat Terbatas Kabinet untuk membahas permasalahan sampah ini, dan belum ada solusi signifikan dalam mengatasinya, hanya jalan ditempat.
Kebijakan ini diluncurkan oleh KLHK pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), pada hari minggu (21/2/2016) lalu, dan masyarakat yang berbelanja di ritel-ritel modern dikenakan biaya kantong plastik Rp200 per kantong, dan rencananya harga kantong plastik ini nantinya akan dinaikkan hingga menjadi Rp10 ribu per kantong. Kewajiban tersebut berdasar Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016, tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Dalam surat edaran menteri tersebut disepakati kantong plastik berbayar Rp 200 sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Surat edaran ini dikeluarkan terkait kebijakan diet kantong plastik untuk meminimalisir pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah kantong plastik.
Padahal seharusnya, pemerintah justru menekan para pengusaha ritel modern tersebut untuk dapat menyediakan plastik yang ramah lingkungan. Atau misalnya memaksa peritel mengganti kantong plastik dengan kantong kertas seperti yang digunakan ritel-ritel di luar negeri. Namun perlu diingat dan difahami bahwa sampah di Indonesia (dominan organik dikenal sebagai sampah basah) berbeda dengan sampah luar negeri (dominan an organik dikenal sebagai sampah kering).
Kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Indonesia agar segera merevisi Perda Persampahannya, guna menyikapi dan mengejawantahkan amanat Regulasi Persampahan yang ada al: UU.18/2008 Tentang Pengelolaan Sampah, PP.81/2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Permendagri 33/2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, serta regulasi-regulasi lainnya yang sehubungan dengan pengelolaan sampah, setidaknya mengharuskan retail menggunakan kantong belanja ramah lingkungan.
Sekaitan juga Klik di SINI
KantongPlastik Berbayar” Kontra Perda Sampah Jakarta?!
Surat Edaran Dirjen PSLB3 Sekaitan Kantong Plastik Berbayar
- Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 [PSLB3] No: S.SE.06/PSLB3-PS/2015 Tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Bebayar Pada Usaha Ritel Modern, Tertanggal 17 Desember 2015 (Penyampaian Rencana KPB Kepada Gubernur, Bupati/Walikota, Pelaku Usaha).
- Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 [PSLB3] No: S.1230/PSLB3-PS/2016 Ttg. Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Bebayar Pada Usaha Ritel Modern > min. Rp. 200 (Uji Coba 1). [SE Tertanggal 17 Februari 2016] > Diberlakukan Mulai Tgl 21 Februari 2016 s/d 31 Mei 2016. (catatan: SE ini ditujukan pada Gubernur/Bupati/Walikota (22 Kota dan 1 Provinsi DKI Jakarta) dan tembusan a) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan b) Kepala BPKN c) Ketua YLKI dan d) Ketua Umum APRINDO.
Kenapa dan ada apa BPKN dan YLKI menyetujui Kebijakan Kantong Plastik Berbayar ini ?
Jakarta, 7 Maret 2016
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar