Asrul Hoesein: Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Untungkan Pengusaha Ritel [dok_Asrul] |
Jakarta, GIFoundation (7 Maret 2016) ; Pemerhati persampahan Indonesia yang juga Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation dan Kordinator Green Corruption Watch Jakarta H. Asrul Hoesein, mengoreksi keras kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr. Siti Nurbaya Bakar melalui Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya
(PSLB3)
Ir. Tuti Hendrawati Mintarsih Tentang Kantong Plastik Berbayar yang mulai diberlakukan bulan Februari 2016 sampai dengan tanggal dan bulan yang tidak ditentukan secara pasti.
Kebijakan ini pula sangat menggelitik karena dana pembelian dan/atau penjualan kantong plastik minimal Rp 200 (bahkan ada daerah yang menerapkan harga bervariasi 1500-4500 per kantong) di sejumlah pasar modern dan retail akan dialokasikan pihak perusahaan ritel untuk lingkungan. Katanya uangnya nanti masuk perusahaan ritel masing-masing, kemudian disalurkan dalam bentuk CSR. Kenapa Dana CSR yang menjadi tanggungjawab sosial perusahaan tapi dananya dipungut dari masyarakat (Baca:Konsumen) ???? Benar bahwa SE Dirjen PSLB3 KLHK ini "diduga" terkategori penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Kantong Plastik Berbayar” Kontra Perda Sampah Jakarta dan Rugikan Konsumen ?!
Kebijakan pengurangan pemakaian kantong plastik ini banyak menuai kontra di kalangan masyarakat, karena pemerintah dinilai menambah beban masyarakat dan bisa saja merusak sistem manajemen pemasaran perusahaan retail (service konsumen). Saya yakin pengusaha retailer juga tidak setuju dengan kebijakan ini. Padahal seharusnya pemerintah mengeluarkan aturan yang pro rakyat. Banyak cara yang bisa ditempuh tanpa harus ‘mengorbankan’ masyarakat. Sepertinya pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah kehabisan akal dalam menyiasati pengelolaan sampah. Padahal banyak cara, hanya pemerintah yang setengah hati menjalankan regulasi persampahan yang ada (regulasi sudah sangat bagus, tapi pemerintah yang kurang cerdas mengejawantah regulasi. Malah penulis menduga, sepertinya ada pembiaran???
Kebijakan ini pula sangat menggelitik karena dana pembelian dan/atau penjualan kantong plastik minimal Rp 200 (bahkan ada daerah yang menerapkan harga bervariasi 1500-4500 per kantong) di sejumlah pasar modern dan retail akan dialokasikan pihak perusahaan ritel untuk lingkungan. Katanya uangnya nanti masuk perusahaan ritel masing-masing, kemudian disalurkan dalam bentuk CSR. Kenapa Dana CSR yang menjadi tanggungjawab sosial perusahaan tapi dananya dipungut dari masyarakat (Baca:Konsumen) ???? Benar bahwa SE Dirjen PSLB3 KLHK ini "diduga" terkategori penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Kantong Plastik Berbayar” Kontra Perda Sampah Jakarta dan Rugikan Konsumen ?!
Kebijakan pengurangan pemakaian kantong plastik ini banyak menuai kontra di kalangan masyarakat, karena pemerintah dinilai menambah beban masyarakat dan bisa saja merusak sistem manajemen pemasaran perusahaan retail (service konsumen). Saya yakin pengusaha retailer juga tidak setuju dengan kebijakan ini. Padahal seharusnya pemerintah mengeluarkan aturan yang pro rakyat. Banyak cara yang bisa ditempuh tanpa harus ‘mengorbankan’ masyarakat. Sepertinya pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah kehabisan akal dalam menyiasati pengelolaan sampah. Padahal banyak cara, hanya pemerintah yang setengah hati menjalankan regulasi persampahan yang ada (regulasi sudah sangat bagus, tapi pemerintah yang kurang cerdas mengejawantah regulasi. Malah penulis menduga, sepertinya ada pembiaran???
Surat Edaran Uji Coba KPB [dok_Asrul] |
Kebijakan ini diluncurkan oleh KLHK pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), pada hari minggu (21/2/2016) lalu, dan masyarakat yang berbelanja di ritel-ritel modern dikenakan biaya kantong plastik Rp200 per kantong, dan rencananya harga kantong plastik ini nantinya akan dinaikkan hingga menjadi Rp10 ribu per kantong. Kewajiban tersebut berdasar Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016, tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Dalam surat edaran menteri tersebut disepakati kantong plastik berbayar Rp 200 sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Surat edaran ini dikeluarkan terkait kebijakan diet kantong plastik untuk meminimalisir pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah kantong plastik.
Padahal seharusnya, pemerintah justru menekan para pengusaha ritel modern tersebut untuk dapat menyediakan plastik yang ramah lingkungan. Atau misalnya memaksa peritel mengganti kantong plastik dengan kantong kertas seperti yang digunakan ritel-ritel di luar negeri. Namun perlu diingat dan difahami bahwa sampah di Indonesia (dominan organik dikenal sebagai sampah basah) berbeda dengan sampah luar negeri (dominan an organik dikenal sebagai sampah kering).
Sementara itu menyikapi surat edaran Menteri LHK tersebut, Pemprov DKI Jakarta seharusnya menolak kebijakan KLHK ini sesuai yang tertuang pada Pasal 21 dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah yang berbunyi sbb: “Dalam rangka pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, penanggung jawab dan/atau pengelola pusat perbelanjaan, toko modern dan pasar wajib menggunakan kantong belanja yang ramah lingkungan” (ini artinya sejak diundangkan perda ini maka pengelola ritel sudah wajib mengganti kantong plastik menjadi kantong ramah lingkungan) dan selanjutnya menerapkan sanksi administratif bagi ritel modern yang tidak menyediakan kantong plastik ramah lingkungan terkena denda Rp 5 - Rp25 juta, yang dikondisikan dengan status atau kelas retail yang bersangkutan. (untuk lebih menguatkan kebijakan penolakan ini seharusnya Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pengelolaan Sampah. Karena belum diterbitkannya Pergub Ini pula, maka menjadi batu sandungan pengelolaan sampah di Jakarta. Hal ini penulis sudah pernah mengusulkan ke SKPD terkait dan juga pada HPSN (21 Februari 2016) membuat Petisi Ke Gubernur DKI Jakarta agar segera menerbitkan pergub tersebut. Klik di PergubJakartaChangePETISI
Maka berdasar Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Jakarta, Seharusnya Pemprov. DKI Jakarta MENOLAK KEBIJAKAN KLHK tersebut. Masyarakat konsumen Jakarta seharusnya tidak membayar lagi Kantong Plastik Berbayar tersebut, Pengusaha Retail yang harus menyiapkan Kantong Belanja Ramah Lingkungan yang banyak di produksi oleh kelompok usaha atau Bank Sampah yang banyak tersebar di Jakarta, atau pengusaha retail bisa membeli dari Bank Sampah dari Luar Jakarta. Ini juga bertujuan membantu pemasaran produk dari usaha daur ulang Bank Sampah yang ada (terjadi saling menghidupkan antara pengusaha retail dan Bank Sampah). Ide dan strategi ini yang mestinya dijalankan oleh pemerintah pusat cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pemerintah seharusnya jangan hanya membebankan biaya kantong plastik pada masyarakat, tanpa adanya pertanggung jawaban dari pemerintah mengenai ke mana uang Rp200 yang dipungut dari setiap kantong plastik yang digunakan oleh masyarakat? Dari mana dasar KLHK memungut Rp. 200/kantong tersebut, apakah DPR perlu menyetujui hal ini? Semua ini menjadi pertanyaan masyarakat. Sehingga menimbulkan pro-kontra adanya kebijakan Kantong Plastik Berbayar ini. Dalam catatan makro penulis, sekitar 20M/hari bila dikalikan satu kantong per konsumen (dalam hitungan 10 juta orang) berbelanja dari sabang sampai merauke, ini bukan angka kecil. Manajemen pengelolaan dana itu bagaimana? Kepada siapa retail menyetonya?
Mengapa pula pemerintah pusat tidak mewajibkan seluruh ritel modern untuk mengganti kantong plastik mereka dengan kantong plastik ramah lingkungan bagi konsumen mereka secara cuma-cuma (Ikuti Perda Sampah Jakarta No.03/2013 Pasal 21). Dengan demikian, maka beban untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat penggunaan kantong plastik tidak dilimpahkan pada masyarakat sebagai konsumen, tapi pada pengusaha. KLHK sepantasnya segera merevisi kebijakan ini, sebelum menimbulkan resistensi yang besar di masyarakat.
Catatan:
Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia agar segera merevisi Perda Persampahannya, guna menyikapi dan mengejawantahkan amanat Regulasi Persampahan yang ada al: UU.18/2008 Tentang Pengelolaan Sampah, PP.81/2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Permendagri 33/2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, serta regulasi2 lainnya yang sehubungan dengan pengelolaan sampah, setidaknya mengharuskan retail menggunakan kantong belanja ramah lingkungan (Stop Kantong Plastik bukan Kantong Plastik Berbayar)
Perlu diingat bahwa sekitar 6-7 tahun lagi kebijakan EPR (Extended Produsen Responsibility) akan berlaku bahwa setiap perusahaan berkemasan diwajibkan menarik kembali kemasannya. Pada saat ini peran Bank Sampah sangat dibutuhkan sebagai mitra pemerintah dan mitra retailer sebagai penyedia kantong belanja (Bank Sampah ini merupakan infrastruktur terpenting dan terdepan dalam pengelolaan sampah), tanpa pengembangan dan fasilitasi pemerintah dalam Pembentukan Kelompok Pengelola Sampah atau Bank Sampah sesuai yang tertuang dalam Permendagri 33/2010 Pasal 14, mustahil Indonesia Bebas Sampah 2020 dapat terwujud. Mari semua stakeholder persampahan Indonesia berpikir jernih untuk menjalankan regulasi, regulasi hanya perlu penguatan sebuah Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden untuk menjalankan regulasi persampahan yang ada, selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Pergub/Perbup/Perwako.
Jakarta, 7 Maret 2016
H.Asrul Hoesein (Pemerhati dan Penggiat Persampahan)
cc:
Presiden Joko Widodo Sekretariat Wakil Presiden RI Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) Wagub Djarot Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dinas Kebersihan DKI Jakarta DPR RI Basuki Tjahaja Purnama
Postingan ini, di copas sendiri oleh penulisnya Klik di SINI.
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar