Gambar Ilustrasi: Presiden Joko Widodo. Sumber:Asrul |
Presiden
Republik Indonesia
Bapak Ir.
Joko Widodo
------
Perihal : Pengelolaan
Sampah Indonesia Tidak Fokus dan Misregulasi
Assalamu
Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dengan
Hormat,
Kami sangat
memahami Presiden Joko Widodo
(Jokowi), selaku pribadi maupun Presiden Republik Indonesia, sangatlah peduli
tentang pengelolaan sampah Indonesia. Sesuai amatan kami, sejak Pak Jokowi kami
ingat mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik
Indonesia. Sangatlah peduli terhadap pengelolaan sampah berbasis komunal
sebagaimana amanat regulasi persampahan, yang mengharuskan pengelolaan sampah
di sumber timbulannya atau kelola sampah di hulu yang berorientasi pada ekonomi
atau berdasar kearifan lokal wilayah.
Beberapa
progres Pak Jokowi, dalam surat terbuka ini kami angkat 2 (dua) fakta
kepeduliannya dalam pengelolaan sampah, yaitu:
- Pertama: Saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Jakarta, atas revisi perda sampah sebelumnya yaitu Perda No. 5 Tahun 1988 Tentang Kebersihan Lingkungan Dalam Wilayah DKI Jakarta. Klik dan Download Perda Sampah Jakarta. Sedikit memahami masalah karena kebetulan saat itu, kami mengusulkan draf perda sampah Jakarta tersebut kepada Gubernur Jokowi melalui sebuah presentase di Balaikota DKI Jakarta. Ini sebuah kemajuan dan kepedulian besar, karena sejak 1988 perda sampah Jakarta tidak pernah tersentuh sampai tahun 2013, tanggal 10 Juni 2013 perda tersebut ditandatangani oleh Gubernur Joko Widodo. Hal ini bisa menjadi contoh bagi pemerintah daerah (pemda dan pemprov) di seluruh Indonesia. Sesuai pantauan, umumnya pemda kabupaten dan kota di Indonesia belum merevisi perda sampahnya mengikuti amanat regulasi sampah. Ini juga yang menjadi hambatan besar dalam pengelolaan sampah di daerah. Bahkan beberapa daerah belum memiliki perda sampah.
- Kedua: Sejak Pak Jokowi sebagai Presiden, telah 2 (dua) kali Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet Kerja dalam membahas masalah sampah, Ratas Kabinet Kerja pertama di Kantor Presiden, Jakarta (23/6/2015) dan Ratas Kabinet Kerja kedua membahas Penanggulangan Sampah Sungai Citarum di Bandung (16/1/18). Karena kondisi ini membuat kami tergugah untuk mengoreksi para pembantu-pembantu Pak Jokowi melalui ulasan kami di beberapa media, antara lain bisa baca dan Klik di "Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia" Karena dari Ratas Pertama dan Ratas Kedua, hanya membahas solusi saja. Ini sudah sangat keterlaluan, artinya tidak ada progres pada Ratas Pertama.
Berdasar
fakta tersebut diatas dan kinerja para menteri kabinet kerja terkait
persampahan sepertinya kontra produktif dalam menuntaskan permasalahan sampah,
nampak para menteri tidak bisa membaca alur berpikir dan bertindak Presiden
Jokowi. Serta beberapa kali pula kami mengingatkan menteri dan organ-organ
lintas kementerian dan non kementerian terkait, baik secara langsung melalui
melalui fgd, seminar, pertemuan-pertemuan resmi dan tidak resmi.
Termasuk
telah kami memberi koreksi dan solusi tertulis kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) yang juga kami tembuskan kepada para menteri kordinator
dan Kantor Presiden dan Wakil Presiden atas permasalahan sampah yang dihadapi
Indonesia. Nampak urusannya semakin malah melebar dan tidak fokus, hanya
menghasilkan wacana dan gerakan-gerakan parsial saja. juga terjadi oper lapping
antar lintas menteri sendiri serta kementerian dengan pemerintah daerah yang
semakin tumpang tindih.
Sebagai
contoh (membaca dalam berita di online "Jokowi Bakal Terbitkan Perpres
Pengolahan Sampah" dan Undangan Lokakarya Penyusunan Rencana
Aksi Penanganan Sampah di Bali tanggal 20 Maret 2018 membahas masalah
sampah Bali (Baca: Undangan Lokakarya),
pelaksana oleh Kantor Menko Maritim, sepertinya Menko Maritim Pak Luhut Binsar
Panjaitan akan mengusulkan lagi perpres pengelolaan sampah khusus di Provinsi
Bali.
Sesungguhnya
Kemenkomaritim terlalu jauh masuk, seharusnya endorse saja KLHK dan pemda
seluruh Indonesia untuk melaksanakan Perpres Jaktranas Sampah yang telah di
tanda-tangani Pak Jokowi pada tanggal 23 oktober 2017 (Baca dan download Perpres Jaktranas Sampah).
Maka
kesemuanya itu mendorong kami menulis "surat terbuka" ini kepada
Presiden Jokowi, agar persegera melakukan tindakan taktis dan strategis guna
menghindari pemborosan uang negara melalui APBN dan APBD dengan fokus jalankan
regulasi persampahan (SOP dan Tupoksi sudah sangat jelas dalam regulasi
sampah).
Mungkin
menurut laporan yang Presiden Jokowi terima dari para pembantunya mengatakan
bahwa masalah sampah problemnya di regulasi. Oh tidak !!! Bukan regulasi yang
lemah dan salah, tapi sesunggguhnya masalah ada pada mental dan karakter oknum
penyelenggara yang tidak jalankan regulasi sampah dengan benar dan jujur. Jadi
masalahnya, pada mental oknum pemerintah pusat dan daerah yang tidak mengindahkan
regulasi sampah itu sendiri.
Susbstansi
surat terbuka ini antara lain:
- Mengingatkan bahwa, regulasi sampah yang ada, antara lain: UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, PP. No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Permen Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah, Permen Pekerjaan Umum No. 3 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Semua regulasi ini sudah sangat bagus dan saling menunjang, namun hanya perlu ada penekanan pelaksanaan dari Presiden Jokowi kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mengejawantah dan melaksanakan dengan benar dan bertanggungjawab atas aturan tersebut dengan progres aturan secara fisik dan non fisik.
- Gerakan-gerakan pengelolaan seperti pungut sampah di Hilir (Sungai,Waduk, Laut dll) bukan tidak bagus, cuma harus lebih fokus pada pengelolaan sampah di hulu atau pada sumber timbulannya. Bukan hanya menunggu sampah di hilir lalu menciptakan gerakan-gerakan parsial disana. Semua ini tidak sustainable dan hanya membuang uang rakyat dan tidak memberi efek positif berkelanjutan.
- Segera revisi Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengeloiaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Perpres ini terjadi beberapa kekeliruan besar antara lain tidak dilibatkannya Menteri Pertanian, Kementerian Pertanian sangat urgen dilibatkan, karena sebagai pengguna terbesar atas olahan sampah organik yang volumenya mendominasi seluruh sampah Indonesia, Kementerian Pertanian harus masuk dalam Jaktranas Sampah 2017-2025. Padahal seluruh menteri terlibat. Baca ulasannya di Aneh, Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah. Padahal Kementerian Pertanian sangat butuh pupuk organik kompos berbasis sampah ini. Fakta kebutuhan itu, sampai sekarang Kementerian Pertanian selalu gagal memenuhi target subsidi pupuk organik dari tahun ke tahun. Di sisi lain bila sampah organik fokus pada pengomposan, maka 50-70 % pengurangan sampah ke TPA dapat teratasi dengan cepat. Hanya itu solusi cerdas yang ramah lingkungan dan investasi tidak terlalu besar serta pro rakyat atau pro regulasi.
- Pengelolaan sampah organik harus disinergikan dengan pengembangan pertanian organik Indonesia (Baca: Visi Misi Jokowi-JK Berdikari Dalam Bidang Ekonomi Point 12 halaman 42, Pencanangan Indonesia Go Organik melalui Pembangunan Demplot 1000 Desa Organik). Bila Program Nawa Cita Pembangunan 1000 Desa Organik ini dijalankan, tentu membutuhkan banyak sampah organik, ini yang tidak dipikirkan oleh kementerian terkait, sehingga Kementerian Pertanian tidak ikut di dalam Jaktranas Sampah tersebut.
- Dalam Jaktranas Sampah, dimasukkan lagi Rencana Pembangunan PLTSa, sementara Perpres PLTSa No. 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar, telah dicabut oleh Mahkamah Agung atas gugatan Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah pada tahun 2016. Kami duga Perpres Jaktranas 2017-2025 ini hanya akal-akalan saja untuk mengganti Perpres PLTSa tersebut. Maka seharusnya hapus PLTSa dalam Jaktranas Sampah, karena ini berpotensi digugat lagi oleh masyarakat. Khususnya kami yang bergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah sebagai penggugat Perpres PLTSa yang lalu.
- Tarik kembali Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah yang telah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 2016, pencabutan ini tanpa alasan oleh kemendagri. sebagaimana permen atau perda lainnya yang dicabut semua dengan alasan-alasan tertentu. Permendagri No. 33 Tahun 2010 ini menjadi kekuatan dan pedoman bagi kemendagri dan pemerintah daerah serta masyarakat dan dunia usaha dalam mengelola sampah.
- Pemerintah pusat layaknya hanya berpikir dan bertindak "kebijakan dan fasilitator serta monitoring dan evaluasi", biarkan pemerintah provinsi menjadi pengawas serta kabupaten dan kota yang menjadi eksekutornya di lapangan bersama masyarakat, LSM dan dunia usaha. Selama ini, kenapa tidak bisa ditemukenali masalah dan solusi sampah, karena seakan pemerintah pusat yang ambisi bertindak sebagai eksekutor. Beberapa fakta yang kami temukan dan koreksi, antara lain Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) melalui KLHK cq: Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (Ditjen PSLB3) itu gagal total karena kesalahan penerbitan dan pelaksanaan regulasinya, bercampur-baur dengan pelaksanaan dana CSR. Ini kesalahan besar dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang yang berpotensi terjadinya unsur koruptif atau gratifikasi. Hal ini juga kami telah bersurat dan mengoreksi serta memberi solusi atas Kebijakan KPB ini kepada Menteri LHK dan Dirjen PSLB3, yang juga kami tembuskan kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Kordinator Bidang Maritim, Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, dan Ombudsman RI dengan Surat kami atas nama Green Indonesia Foundation Nomor 07/GIF/XI/2016 tertanggal 30 November 2016 (semua disertai tanda terima surat). Kami estimasi kasus KPB ini akan berahir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena pihak terkait Menteri LHK cq: Ditjen PSLB3 KLHK mengabaikan masalah pertanggungjawaban dana-dana KPB yang telah ditarik dan terserap banyak di masyarakat Indonesia melalui Toko Ritel atau Pasar Modern selama bulan Februari 2016 s/d bulan Oktober 2016. Malah sampai saat ini masih ada ritel (data toko ritel tercatat) yang memungut dana KPB tersebut yang seharusnya dihentikan atau moratorium sampai ada perbaikan sistem. Karena KPB sebenarnya bagus, hanya saja aplikasi terkesan dipaksakan dan diduga kuat koruptif. Menguntungkan sekelompok golongan dan merugikan orang banyak atau konsumen (baca; masyarakat).
- Hentikan wacana solusi sampah plastik mix aspal. Ini sangat jelas tidak memiliki efek solutif, sebaliknya akan menjadi peluang atau berpotensi menjadi ruang baru korupsi. Karena sampah plastik tersebut tidak mengurangi atau mengganti komponen pengaspalan, hanya menambah komponen plastik alias menambah biaya saja pada pengaspalan normal. Bila saja program ini dikabulkan, akan terdapat penganggaran pengaspalan dalam RABnya yang dicantumkan adanya anggaran pembeliaan atau pengadaan plastik, padahal senyatanya akan atau bisa saja minus plastik dilapangan (karakter Indonesia belumlah jujur, maka harus dicegah saja). Fakta, di India gagal total proyek aspal mix plastik ini, sehingga ratusan mesin cacah plastik di India mangkrak akibat salah hitung dalam programnya pada beberapa tahun lalu. Indonesia harus belajar dari kegagalan India tersebut.
- Sekedar Presiden Jokowi ketahui bahwa, Pada tanggal 4 Oktober 2017, kami diundang selaku narasumber oleh Kementerian Perindustrian, dan telah memberi solusi komprehensif dalam pengelolaan sampah dan sampah plastik, dihadiri Kementerian Kordinator Maritim dan lintas kementerian terkait, asosiasi dan pelaku Industri plastik dan karet serta pengelola Bank Sampah. Tapi rupanya menteri-menteri terkait mengabaikan dan selalu kembali mencari solusi yang mis regulasi, inilah antara lain yang menjadikan solusi sampah Indonesia tidak pernah menemukan jalannya, terlalu koruptif pemikiran ini. Otak para oknum birokrasi sudah pada jadi sampah rupanya. Solusi yang kami maksud bisa baca di "Program Pencegahan Limbah Plastik Masuk ke Lautan"
- Sekedar mengingatkan bahwa Tahun 2020 menjadi Target Indonesia Bebas Sampah dan pada tahun 2022 pemberlakuan Kebijakan Kepedulian Perusahaan Berkemasan atau Extanded Produsen Responsibility (EPR). Satu-satunya jalan untuk mensukseskan program-program ini adalah membangun serta memandirikan kelompok pengelola sampah atau kelompok Bank Sampah secara massif pada setiap desa atau kelurahan di seluruh Indonesia. Semua kementerian terkait harus mendorong terlaksananya program ini dengan baik dan bertanggungjawab. Khusus dana EPR ini, bila tidak diantisipasi infrastrukturnya sejak dini, maka sangat berpotensi gagal dan dana EPR akan berujung di korupsi.
- Karena kelihatan para menteri pembantu presiden galau berkolaborasi, sangat kental ego sektoralnya dalam mengurus dan mengurai permasalahan sampah, sebaiknya Presiden Joko Widodo membentuk Badan Persampahan Nasional. Beberapa kali kami sarankan masalah ini melalui petisi dll (Baca: Indonesia Perlu Badan Persampahan Nasional). Agar terjadi sinergitas dan kolaborasi program yang baik antar kementerian, non kementerian dan lembaga lainnya serta LSM, perusahaan dan masyarakat. Badan ini hanya mengurus dan mengurai program serta melakukan monitorin dan evaluasi, mendampingi pemerintah daerah melakukan kegiatan fisik dan non fisik dalam pengelolaan sampah yang baik dan benar, sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku. Badan ini bukan sebagai eksekutor, hanya menjadi mediator dalam pengelolaan sampah.
- Presiden Jokowi diminta Moratorium Piala Adipura, penilaian Adipura ini diduga sudah tidak obyektif lagi. Perlu moratorium untuk penataan ulang agar maksud dan tujuan baik dari eksistensi Adipura ini tercapai. Sekedar informasi bahwa Piala Adipura ini pernah terhenti atau moratorium pada tahun 1998 dan berlanjut lagi pada tahun 2002 (saat itu dicanangkan kembali di Bali tanggal 5 Juni 2002) dan berlanjut sampai sekarang. Fakta mendasar, Presiden Jokowi sendiri tidak pernah menyerahkan langsung Piala Adipura itu. Hal ini kami maknai bahwa, ada masalah dan pertanyaan besar didalamnya. Terakhir kami saksikan pada penyerahan Adipura tahun 2017, saat itu hanya Piala Adipura yang tidak diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi kepada penerimanya, padahal pialanya sudah disiapkan. Tapi acara penyerahan Adipura bergeser dilaksanakan pada malam harinya oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada tempat yang sama (Kantor Menteri LHK) dan tahun-tahun sebelumnya hanya diserahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Juga pada saat Pak Jokowi sebagai Walikota Solo, tidak terlalu terpengaruh dengan Piala Adipura ini. Sepertinya kami sependapat dengan Pak Jokowi tentang Adipura ini, bahwa tidak mempunyai efek keberlanjutan dalam kebersihan sampah dan lingkungan. Hanya sebagai pencitraan kepala daerah, yang bisa saja berpotensi dibayar mahal oleh yang menginginkannya. Fakta lainnya Walikota Bekasi dinyatakan terbukti memberikan suap untuk mendapatkan Piala Adipura tahun 2010 oleh KPK.
Demikian
surat ini kami tulis dan kirim secara terbuka kepada Presiden Jokowi, agar para
stakeholder persampahan dan masyarakat Indonesia pada umumnya selaku produsen
sampah, untuk ikut pula memahami problematika "darurat" sampah yang
sesungguhnya dan diharapkan ikut mengawal dan melaksanakan pengelolaan sampah,
setidaknya bersama merubah paradigma kelola sampah agar terwujud Indonesia
Bebas Sampah 2020 menuju Indonesia Hebat. Terima kasih.
Wassalam
Jakarta, 20
Maret 2018
Asrul Hoesein (Direktur Eksekutif)
Kontak
Person: 081287783331 dan 08119772131
Tembusan:
- Masyarakat sebagai Produsen Sampah di seluruh Indonesia.
- Wakil Presiden HM.Jusuf Kalla
- Anggota MPR, DPD,DPR dan DPRD seluruh Indonesia.
- Seluruh Menteri Kordinator.
- Seluruh Menteri Kabinet Kerja.
- KPK, Kapolri dan Kejaksaan Agung
- Lembaga non Kementerian.
- Pers (Media Cetak, Online dan Elektronik)
- LSM dan NGO (dalam dan luar negeri).
- Perusahaan CSR, EPR dan Toko Ritel atau Pasar Modern.
- Asosiasi Sampah, Ritel dan DUP serta Komunitas Sampah dan Lingkungan.
- Pengelola Kawasan (sesuai Pasal 13 UU.18 Tahun 2008).
- Pemerhati dan Penggiat Persampahan (dalam dan luar negeri).
- Pengelola Bank Sampah seluruh Indonesia.
Berita
Terkait
- Aneh, Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah
- Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
- Catatan untuk Menteri LHK tentang Regulasi Sampah
- Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
- Catatan untuk Presiden Jokowi Terkait Revitalisasi Sungai Citarum
- [YouTube] Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi.
- [YouTube] Presiden Jokowi Bicara Tentang Sampah di Ratas Kabinet Kerja.
- Presiden Joko Widodo "Bentuk Badan Pengelola Sampah Nasional"
- Program Pencegahan Limbah Plastik Masuk ke Lautan.
- Arak-arakan Adipura di Pagaralam Disambut Tumpukan Sampah di Tepi Jalan.
- Problemnya Di Regulasi, Presiden Jokowi: Belum Ada Kota Yang Berhasil Tangani Sampah.
- Rencana Aspal Jalan dari Sampah Plastik Perlu Ditinjau Ulang.
- Sampah Plastik, Pesan untuk Menko Maritim.
0 komentar :
Posting Komentar