Bagian ini akan menguraikan dimensi lain untuk mengukur keefektifan
pembelajaran yaitu dengan mengaitkannya pada tipe isi apa yang
dipelajari dan pada tingkat (unjuk-kerja) apa? Bagaimanapun juga,
seperti telah banyak diuraikan sebelumnya, suatu metode pembelajaran
seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu dan di bawah
kondisi tertentu.
Atau, dengan ungkapan lain, pengaruh optimal suatu metode hanya nampak bila digunakan untuk mempelajari tipe isi tertentu di bawha kondisi tertentu. Ini berarti bahwa utuk belajar tipe isi yang lain dan di bawah kondisi yang lain pula, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda.
Sebagai contoh, strategi pengorganisasian model elaborasi hanya cocok untuk menata ranah kognitif. Lebih khusus lagi, model Taba (1980), sebagai strategi pengorganisasian tingkat mikro, hanya dimaksudkan untuk belajar konsep dan, karena itu, hanya cocok untuk pembentukan konsep.
Model Gagne dan Briggs (1979) lebih jelas lagi mempreskripsikan bahwa suatu hasil belajar memerlukan kondisi belajar internal dan kondisi belajar eksternal yang berbeda. Ini selanjutnya tercermin dalam perbedaan tahapan peristiwa pembelajaran untuk tiap-tiap hasil belajar.
Reigeluth dan Stein (1983) secara tegas mempreskripsikan penggunaan struktur isi (epitome) yang berbeda untuk tipe isi yang berbeda. Struktur konseptual hanya dipakai untuk tipe isi konseptual, struktur prosedural untuk tipe isi prosedur, dan struktur teoritik untuk tipe isi prinsip.
Jadi, keefektifan suatu pembelajaran selalu dapat dikaitkan dengan tipe isi bidang studi yang dipelajari. Suatu pembelajaran mungkin tidak efektif untuk belajar tipe isi tertentu, tetapi untuk isi lain, ia bisa amat efektif. Penelitian Degeng (1988) menunjukkan bahwa teori elaborasi lebih efektif untuk belajar konsep daripada untuk belajar informasi verbal. Atas dasar ini, keputusan untuk menetapkan bahwa suatu pembelajaran efektif harus disertai dengan priskripsi efektif untuk tipe isi apa.
Tingkat unjuk-kerja merupakan sisi lain dari pengukuran keefektifan pembelajaran berdasarkan tipe isi yang dipelajari. Bila tipe isi yang dipelajari termasuk ranah kognitif, hirarkhi unjuk-kerja, kalau memakai klasifikasi Bloom (1956), bermula dari pengetahuan, ke pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan akhirnya evaluasi. Pengetahuan adalah tingkat yang paling rendah dalam ranah kognitif menurut klasifikasi Bloom, maju ke tingkat berikutnya menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Keefektifan pembelajaran dalam kaitannya dengan tingkat unjuk-kerja akan menanyakan pada tingkat mana siswa menampilkan unjuk-kerja? Pada tingkat Pengetahuankah? Pemahaman? Atau, tingkat evaluasi? Suatu pembelajaran mungkin akan efektif bila digunakan untuk tingkat unjuk-kerja tertentu, tetapi tidak untuk tingkat unjuk-kerja lainnya. Informasi mengenai ini juga amat
penting untuk mempreskripsikan keefektifan sebagai hasil pembelajaran.
Selain klasifikasi Bloom, Gagne dan Briggs (1979) juga mempreskripsikan hirarkhi hasil belajar, khusus untuk ketrampilan intelektual. Mulai dari diskriminasi, konsep konkrit, konsep abstrak, kaidah, dan kaidah tingkat yang lebih tinggi (pemecahan masalah). Tingkat unjuk-kerja terendah, diskriminasi, memerlukan kondisi belajar internal dan eksternal yang berbeda dari tingkat unjuk-kerja berikutnya. Keefektifan pembelajaran juga bisa dilihat dari hirarkhi hasil belajar ini.
Matriks dua dimensi Merrill (1983): unjuk-kerja dan tipe isi, jelas sekali peranannya untuk pengukuran keefektifan pembelajaran. Selain dapat dilihat dari sisi tipe isi bidang studi yang dipelajari, juga sekaligus dapat menunjukkan pada tingkat mana unjuk-kerja yang diperlihatkan siswa. Apakah pada tingkat mengingat? Menggunakan? Atau, Menemukan? Kalau mengingat, apakah mengingat fakta, konsep, prosedur, atau prinsip? Kalau sampai pada tingkat menggunakan, apakah menggunakan konsep, prosedur, atau prinsip? Akhirnya, apabila mencapai tingkat menemukan, tipe isinya juga dapat dirinci. Apakah menemukan konsep? Prosedur? Ataukah menemukan prinsip?
Pengukuran keefektifan pembelajaran yang menekankan ranah sikap juga menggunakan indikator yang serupa. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa hirarkhi belajar sikap dimulai dari menerima suatu nilai, maju ke tahap merespon nilai itu, terus muncul rasa penghargaan, selanjutnya adanya keinginan untuk mengorganisasi nilai itu ke dalam suatu sistem nilai, dan akhirnya bertindak secara konsisten sesuai dengan nilai yang telah diorganisasinya dan menjadi milikinya. Tingkatan unjuk-kerja ranah sikap ini juga dapat dijadikan indikator pengukuran keefektifan pembelajaran.
Pertanyaan yang serupa kembali dapat dimunculkan di sini: "Pembelajaran ini efektif untuk belajar ranah sikap pada tingkat yang mana?" Tingkat menerima suatu nilai? Tingkat merespon? Atau, sampai tingkat terakhir, tindakan yang konsisten?
Cara yang sama juga dapat dipakai untuk mempreskripsikan pembelajaran ranah ketrampilan motorik. Dari lima tingkatan ketrampilan motorik yang dikemukakan Simpson (1966), persepsi adalah tingkat yang terendah. Proses ini harus dilalui lebih dulu sebelum maju ke tingkatan berikutnya, yaitu kesiapan.
Adanya kesiapan mental, fisik, dan emosional akan memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan. Pada tingkat ini masih merupakan tindakan meniru suatu model (model mengenai ketrampilan yang diajarkan). Tindakan coba-gagal juga sering dilakukan pada tingkat ini, untuk mencapai penguasaan tingkat minimal ketrampilan itu. Penguasaan dengan tingkat kepercayaan minimal ini memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan secara otomatis, yang selanjutnya akan menuju ketingkat penampilan tindakan secara terpola. Pada tingkat kelima ini, seseorang sudah mampu menampilkan suatu tindakan dengan tingkat kecermatan yang amat tinggi.
Tingkat keenam, lebih merupakan tindakan alih ketrampilan. Tingkat ini menuntut seseorang untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tindakan sesuai dengan tuntutan atau persyaratan situasi di mana tindakan itu akan ditampilkan. Pada tingkat ini juga dimungkinkan munculnya pola tindakan baru yang khusus diperlukan untuk memecahkan masalah baru yang dihadapi.
Seperti halnya, ranah kognitif dan sikap, tingkatan penguasaan ketrampilan seperti yang diklasifikasi oleh Simpson (1966) ini, juga dapat digunakan sebagai indikator tingkat keefektifan pembelajaran. Tentu saja, hanya pembelajaran yang menekankan pada penguasaan suatu
ketrampilan motorik. Pada tingkat manakah siswa menguasai suatu ketrampilan? Pada akhir suatu pembelajaran, apakah siswa berhasil mencapai tingkat keenam, yaitu penyesuaian dan/atau keaslian? Atau, apakah hanya mencapai tingkat sebelumnya, yaitu tindakan terpola? Atau, bahkan mungkin tingkat yang lebih rendah lagi? Dengan melakukan pembandingan tingkat pencapaian ketrampilan dari beberapa metode pembelajaran yang digunakan, akan dapat ditetapkan mana dari metode pembelajaran itu yang paling efektif.
Ref: data.tp.ac.id
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
Atau, dengan ungkapan lain, pengaruh optimal suatu metode hanya nampak bila digunakan untuk mempelajari tipe isi tertentu di bawha kondisi tertentu. Ini berarti bahwa utuk belajar tipe isi yang lain dan di bawah kondisi yang lain pula, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda.
Sebagai contoh, strategi pengorganisasian model elaborasi hanya cocok untuk menata ranah kognitif. Lebih khusus lagi, model Taba (1980), sebagai strategi pengorganisasian tingkat mikro, hanya dimaksudkan untuk belajar konsep dan, karena itu, hanya cocok untuk pembentukan konsep.
Model Gagne dan Briggs (1979) lebih jelas lagi mempreskripsikan bahwa suatu hasil belajar memerlukan kondisi belajar internal dan kondisi belajar eksternal yang berbeda. Ini selanjutnya tercermin dalam perbedaan tahapan peristiwa pembelajaran untuk tiap-tiap hasil belajar.
Reigeluth dan Stein (1983) secara tegas mempreskripsikan penggunaan struktur isi (epitome) yang berbeda untuk tipe isi yang berbeda. Struktur konseptual hanya dipakai untuk tipe isi konseptual, struktur prosedural untuk tipe isi prosedur, dan struktur teoritik untuk tipe isi prinsip.
Jadi, keefektifan suatu pembelajaran selalu dapat dikaitkan dengan tipe isi bidang studi yang dipelajari. Suatu pembelajaran mungkin tidak efektif untuk belajar tipe isi tertentu, tetapi untuk isi lain, ia bisa amat efektif. Penelitian Degeng (1988) menunjukkan bahwa teori elaborasi lebih efektif untuk belajar konsep daripada untuk belajar informasi verbal. Atas dasar ini, keputusan untuk menetapkan bahwa suatu pembelajaran efektif harus disertai dengan priskripsi efektif untuk tipe isi apa.
Tingkat unjuk-kerja merupakan sisi lain dari pengukuran keefektifan pembelajaran berdasarkan tipe isi yang dipelajari. Bila tipe isi yang dipelajari termasuk ranah kognitif, hirarkhi unjuk-kerja, kalau memakai klasifikasi Bloom (1956), bermula dari pengetahuan, ke pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan akhirnya evaluasi. Pengetahuan adalah tingkat yang paling rendah dalam ranah kognitif menurut klasifikasi Bloom, maju ke tingkat berikutnya menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Keefektifan pembelajaran dalam kaitannya dengan tingkat unjuk-kerja akan menanyakan pada tingkat mana siswa menampilkan unjuk-kerja? Pada tingkat Pengetahuankah? Pemahaman? Atau, tingkat evaluasi? Suatu pembelajaran mungkin akan efektif bila digunakan untuk tingkat unjuk-kerja tertentu, tetapi tidak untuk tingkat unjuk-kerja lainnya. Informasi mengenai ini juga amat
penting untuk mempreskripsikan keefektifan sebagai hasil pembelajaran.
Selain klasifikasi Bloom, Gagne dan Briggs (1979) juga mempreskripsikan hirarkhi hasil belajar, khusus untuk ketrampilan intelektual. Mulai dari diskriminasi, konsep konkrit, konsep abstrak, kaidah, dan kaidah tingkat yang lebih tinggi (pemecahan masalah). Tingkat unjuk-kerja terendah, diskriminasi, memerlukan kondisi belajar internal dan eksternal yang berbeda dari tingkat unjuk-kerja berikutnya. Keefektifan pembelajaran juga bisa dilihat dari hirarkhi hasil belajar ini.
Matriks dua dimensi Merrill (1983): unjuk-kerja dan tipe isi, jelas sekali peranannya untuk pengukuran keefektifan pembelajaran. Selain dapat dilihat dari sisi tipe isi bidang studi yang dipelajari, juga sekaligus dapat menunjukkan pada tingkat mana unjuk-kerja yang diperlihatkan siswa. Apakah pada tingkat mengingat? Menggunakan? Atau, Menemukan? Kalau mengingat, apakah mengingat fakta, konsep, prosedur, atau prinsip? Kalau sampai pada tingkat menggunakan, apakah menggunakan konsep, prosedur, atau prinsip? Akhirnya, apabila mencapai tingkat menemukan, tipe isinya juga dapat dirinci. Apakah menemukan konsep? Prosedur? Ataukah menemukan prinsip?
Pengukuran keefektifan pembelajaran yang menekankan ranah sikap juga menggunakan indikator yang serupa. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa hirarkhi belajar sikap dimulai dari menerima suatu nilai, maju ke tahap merespon nilai itu, terus muncul rasa penghargaan, selanjutnya adanya keinginan untuk mengorganisasi nilai itu ke dalam suatu sistem nilai, dan akhirnya bertindak secara konsisten sesuai dengan nilai yang telah diorganisasinya dan menjadi milikinya. Tingkatan unjuk-kerja ranah sikap ini juga dapat dijadikan indikator pengukuran keefektifan pembelajaran.
Pertanyaan yang serupa kembali dapat dimunculkan di sini: "Pembelajaran ini efektif untuk belajar ranah sikap pada tingkat yang mana?" Tingkat menerima suatu nilai? Tingkat merespon? Atau, sampai tingkat terakhir, tindakan yang konsisten?
Cara yang sama juga dapat dipakai untuk mempreskripsikan pembelajaran ranah ketrampilan motorik. Dari lima tingkatan ketrampilan motorik yang dikemukakan Simpson (1966), persepsi adalah tingkat yang terendah. Proses ini harus dilalui lebih dulu sebelum maju ke tingkatan berikutnya, yaitu kesiapan.
Adanya kesiapan mental, fisik, dan emosional akan memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan. Pada tingkat ini masih merupakan tindakan meniru suatu model (model mengenai ketrampilan yang diajarkan). Tindakan coba-gagal juga sering dilakukan pada tingkat ini, untuk mencapai penguasaan tingkat minimal ketrampilan itu. Penguasaan dengan tingkat kepercayaan minimal ini memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan secara otomatis, yang selanjutnya akan menuju ketingkat penampilan tindakan secara terpola. Pada tingkat kelima ini, seseorang sudah mampu menampilkan suatu tindakan dengan tingkat kecermatan yang amat tinggi.
Tingkat keenam, lebih merupakan tindakan alih ketrampilan. Tingkat ini menuntut seseorang untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tindakan sesuai dengan tuntutan atau persyaratan situasi di mana tindakan itu akan ditampilkan. Pada tingkat ini juga dimungkinkan munculnya pola tindakan baru yang khusus diperlukan untuk memecahkan masalah baru yang dihadapi.
Seperti halnya, ranah kognitif dan sikap, tingkatan penguasaan ketrampilan seperti yang diklasifikasi oleh Simpson (1966) ini, juga dapat digunakan sebagai indikator tingkat keefektifan pembelajaran. Tentu saja, hanya pembelajaran yang menekankan pada penguasaan suatu
ketrampilan motorik. Pada tingkat manakah siswa menguasai suatu ketrampilan? Pada akhir suatu pembelajaran, apakah siswa berhasil mencapai tingkat keenam, yaitu penyesuaian dan/atau keaslian? Atau, apakah hanya mencapai tingkat sebelumnya, yaitu tindakan terpola? Atau, bahkan mungkin tingkat yang lebih rendah lagi? Dengan melakukan pembandingan tingkat pencapaian ketrampilan dari beberapa metode pembelajaran yang digunakan, akan dapat ditetapkan mana dari metode pembelajaran itu yang paling efektif.
Ref: data.tp.ac.id
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar