Perbandingan Strategi Sun Tzu dan Machiavelli_dok.asrul |
Sekedar berbagi
apa yang pernah saya baca, kepada rekan-rekan dan para pembaca blog ini,
walaupun mungkin juga nggak akan dibaca karena tulisan seperti ini tidak
se-menarik tulisan-tulisan yang bersifat menghibur.
Ketika Negara
kita menghadapi potensi konflik dengan antar parpol, komunitas, atau bahkan antar negara lain seperti yang terjadi sekarang ini,
rasanya penting untuk kita mengkaji pikiran-pikiran strategis dari para pakar
strategi klasik seperti Sun Tzu, Carl von Clausewitz, Machiavelli, Jomini dan
lain-lain. Dengan pengkajian ini, diharapkan kita menjadi sadar bahwa banyak
ilmu-ilmu kemiliteran yang harus kita ingat kembali untuk mendasari kesiapan
kita menghadapi tuntutan profesionalisme kemiliteran. Secara universal bisa
dikatakan bahwa fungsi pokok dari tentara adalah bertempur atau menjadi
eksekutor utama dalam perang. Disini harus dibedakan pengertian pertempuran
(battle) dan perang (war) karena perang mempunyai cakupan yang jauh lebih besar
dan komplek daripada pertempuran. Perang melibatkan semua komponen dan potensi
negara.
Perang itu
sendiri merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan politis dan
pelaksanaannya hanya bisa ditentukan oleh keputusan politis para pemimpin
negara, bukan para komandan militer. Pengertian perang dan kaitannya dengan
politik yang paling populer mungkin bisa diambil dari ungkapan seorang pakar
strategi klasik dari barat yaitu Carl von Clausewitz bahwa, “…… (W)ar is not
merely an act of policy but a true political instrument, a continuation of
political intercourse, carried on with other means. The political object is the
goal, war is the means of reaching it, and means can never be considered in
isolation from their purpose.” (On War, hal. 87) Disini terlihat bahwa antara
perang dan politik mempunyai keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak bisa
dipisahkan. Sama halnya dengan membicarakan perang dan pertempuran, pembicaraan
tentang strategi juga harus dibedakan dengan pembicaraan tentang taktik, karena
strategi mempunyai lingkup yang jauh lebih luas dibandingkan dengan taktik.
Pembahasan tentang strategi itu sendiri juga tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan tentang politik.
Tulisan ini
disamping bertujuan untuk lebih mengingatkan, dan mungkin memperkenalkan kita
kepada pemikiran-pemikiran pakar strategi klasik, juga memberikan gambaran
sebagai bahan perbandingan dengan konsep-konsep strategi yang di anut oleh para
tokoh atau pendiri TNI seperti Jenderal Soedirman, Jenderal A.H. Nasution dan
lain-lain. Disamping itu, konsep-konsep strategi yang ditulis ratusan tahun
yang lalu (Sun Tzu dan Machiavelli) serta pada kisaran Perang modern di daratan
Eropa (Clausewitz, Jomini dan Liddell Hart) mungkin akan sangat berguna bagi
kita yang hidup pada abad ke-21 ini dimana warna perang dan pertempuran sudah
sangat jauh berubah dibandingkan dengan masa-masa dimana konsep-konsep tersebut
ditulis. Kita mungkin bisa memberikan penilaian apakah secara umum konsep dan
logika dari perang dan strategi itu bersifat universal dan tidak berubah,
ataukah diperlukan penyesuaian pada berbagai hal akibat berkembangnya situasi
politik dan tekhnologi perang itu sendiri.
Perang dan
Strategi
Seperti
disebutkan dalam bagian pendahuluan, pengertian perang menurut Clausewitz, dan
diterima secara universal adalah, “….a continuation of political intercourse,
carried on with other means. The political object is the goal, war is the means
of reaching it.” Jadi perang merupakan sarana untuk mencapai tujuan politik,
disamping perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari konflik politik yang
menggunakan cara lain. Kaidah universal yang lain yang juga harus diperhatikan
adalah bahwa perang haruslah di dasarkan pada keputusan politis dan tujuan dari
perang juga ditentukan oleh para pemimpin politik, bukan pemimpin militer. Sun
Tzu yang hidup pada masa jauh sebelum Clausewitz dan dari belahan dunia yang
berbeda ternyata juga memiliki penekanan yang sama dalam pembahasan hubungan
antara prang dan politik. Hal ini yang lebih memperjelas universalitas kaidah
perang.
Sejarah perang
Amerika Serikat di Vietnam semakin membuktikan bahwa kaidah perang seperti
tersebut diatas disamping berlaku universal juga bisa dikatakan aplikatif
lintas waktu. Kegagalan Amerika Serikat di Vietnam (secara politis) mungkin
merupakan kegagalan pertama Amerika dalam sejarah modernnya. Meskipun di
berbagai kawasan Vietnam militer Amerika memperoleh keunggulan (karena
keunggulan tekhnologi) tetapi secara umum Amerika dianggap gagal, karena
kemenangan militer tidak diikuti oleh kemenangan politis. Banyak kontroversi
yang menyertai pengiriman tentara Amerika ke Vietnam, bahkan sebagian besar
tentara yang dikirim ke Vietnam pun bertanya untuk apa mereka berada disana.
Sejak kegagalan
tersebut, pada dekade tahun 70-an para pemikir dan siswa di berbagai War
Colleges mulai mencoba mengadakan evaluasi dan mereka mengkaji kembali teori
strateginya dua orang tokoh klasik Sun Tzu dan Clausewitz. Akhirnya mereka
sampai pada suatu kesimpulan bahwa perang dan politik tidak bisa
dipisah-pisahkan seperti yang selama ini mereka kira; bahwa kemenangan militer
di medan pertempuran tidak secara otomatis menjamin kemenangan politis; bahwa
semua peperangan, khususnya yang berlangsung lama, memerlukan dukungan politik
rakyat serta kesepakatan dimana dalam hal ini perang membawa nama rakyat.
Mereka juga menyadari betul bahwa militer hanyalah salah satu cara untuk
memperoleh kemenangan dan salah satu cara yang digunakan dalam perang.
Teori ini mungkin
agak sulit untuk dikorelasikan dengan keadaan pada perang merebut Kemerdekaan
RI karena pada masa itu Indonesia belumlah membentuk sebuah negara, sampai
Proklamasi Kemerdekaan, dan kekuatan bersenjata yang berperang sebagian besar
(atau seluruhnya) hanyalah merupakan kelompok-kelompom rakyat bersenjata.
Tetapi kesatuan tujuan antara para pimpinan militer dan pemimpin politik mulai
terlihat setelah secara resmi Indonesia menjadi negara melalui Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan militer terwadahi dalam organisasi BKR/TKR
serta pimpinan politik dan pimpinan militer sudah ditunjuk secara resmi.
Kekuatan itulah yang pada waktu itu mampu menyatukan apa yang dinamakan
national interest bangsa Indonesia sehingga kita bisa tetap menjadi bangsa yang
merdeka hingga saat ini. Meskipun sempat terjadi perbedaan prinsip antara
pemimpin politik (Soekarno) dan pemimpin militer (Soedirman) ketika menghadapi
tekanan Belanda (Soekarno menyerah sedangkan Soedirman lebih memilih
melanjutkan perlawanan dengan gerilya), namun secara utuh bangsa Indonesia yang
baru saja merdeka tetap mempunyai kesatuan tekad untuk mempertahankan
kemerdekaan yang baru saja di dapatkan.
Ada sebuah
paradigma tradisional tentang strategi yang berisi asumsi-asumsi dan observasi
tentang perang yang ditulis oleh seorang professor Strategi dari Naval War
College, Michael I. Handel. Paradigma tersebut berbunyi:
Karena perang
melayani kepentingan politik suatu negara, perang hampir selalu berkaitan
dengan sebuah tujuan yang rasional, minimal pada awal pelaksanaannya. Hal ini
juga menjelaskan mengapa pemimpin politik, bukan militer, harus memegang
kendali dan memberi arah pada jalannya perang pada level tertinggi.
Meskipun perang
seharusnya tidak menjadi jalan pertama untuk penyelesaian masalah, tetapi
perang juga tidak harus selalu menjadi jalan terakhir. Pada kondisi dan situasi
tertentu, perang bisa merupakan cara yang paling efektif dan bahkan mungkin
merupakan satu-satunya cara untuk mendukung kepentingan politik negara.
Aspek-aspek
rasional dari perang meliputi, inter alia, pembentukan tujuan yang jelas,
perhitungan untung rugi apabila sebuah perang dibuat secara berlanjut. Secara
ideal, perang harus dimenangkan secepat mungkin dengan perhitungan kerugian
yang sekecil-kecilnya.
Meskipun titik
berat yang normatif dari pelaksanaan perang adalah bagaimana perhitungan untuk
perang dilaksanakan serasional mungkin, tetapi paradigma strategi klasik juga
mengenal bahwa beberapa factor dapat membatasi rasionalitas dari perhitungan
tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya, friksi di dalam, peluang dan
ketidak pastian, kesabaran yang tidak terkontrol, ketidak mampuan dan berbagai
tingkah laku yang tidak rasional dari para pemimpin. Sebagai tambahan, perang
biasanya dimulai dengan perhitungan-perhitungan rasional untuk mendukung
kepentingan politik negara, dan kemudian kehilangan rasionalitasnya pada saat
mereka keluar dari kontrol. Lebih jauh, paradigma ini melihat kenyataan bahwa
kadang-kadang perang dilakukan secara rasional untuk tujuan-tujuan yang tidak
rasional.
Kegiatan-kegiatan
politis, diplomatis, ekonomis dan lain-lain yang digunakan untuk menekan musuh
tidak boleh berhenti pada saat terjadinya konflik antar negara dan mungkin sama
pentingnya dengan kegiatan-kegiatan militer. Lebih jauh paradigma ini melihat
bahwa keunggulan militer saja tidak cukup. Kemenangan yang diperoleh oleh
militer harus dikonsolidasikan dengan unsure-unsur politik dan diplomatic
karena kemenangan yang diperoleh harus bisa diterima oleh musuh dan setelah
kemenangan tersebut diharapkan bisa tercipta perdamaian yang lebih baik.
Yang terakhir,
paradigma tradisional yang berdasar pada observasi terhadap sifat dasar manusia
dan kenyataan sejarah terlihat pesimistis dalam arti bahwa paradigma tersebut
mengasumsikan bahwa perang tidak mungkin ditiadakan sama sekali. Konflik dan
kekerasan merupakan bagian parallel yang menyertai hubungan antar negara.
Dengan demikian, meskipun sebagian dari perang bisa dicegah, tetapi secara umum
perang itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang berlangsung.(Masters
of War, Classical Strategic Thought, 1996, hal. xiv – xv)
Membaca paradigma
tersebut dan membuat kaitannya dengan kenyataan perang yang terjadi di berbagai
kawasan, terlihat bahwa paradigma tersebut berlaku secara universal dan
penyimpangan terhadap norma-norma universal tersebut bisa berakibat sangat
merugikan pada suatu negara. Pengalaman Indonesia di Timor-Timur mungkin bisa merupakan
indikasi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah universal tersebut. Kita melihat
bahwa kemenangan militer pada saat pembebasan Timor-Timur pada tahun 1975 tidak
diikuti oleh langkah-langkah politis, diplomatis dan ekonomis yang
mengakibatkan kemenangan pihak Indonesia dan kedatangannya diterima oleh
masyarakat Timor-Timur. Akibatnya, timbul perasaan tidak puas sehingga terjadi
penolakan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan dan diakhiri dengan
lepasnya kembali Timor-Timur dari wilayah Indonesia pada tahun 1999.
Akankah kejadian
serupa bisa terjadi pada Irian dan Aceh? Kemungkinan itu akan selalu ada
apabila pemerintah atau para pemimpin politik dan militer di Indonesia tidak
menyadari pentingnya kaidah-kaidah perang (konflik) yang berlaku secara universal
tersebut. Tetapi akan menjadi tidak baik pula apabila terjadi ketakutan yang
berlebihan untuk melakukan sebuah aksi. Aksi militer terhadap daerah konflik
vertikal bisa saja di laksanakan asalkan didasarkan pada perhitungan yang
matang dan rasional bahwa aksi tersebut nantinya bisa diikuti dengan
tindakan-tindakan politis, diplomatis dan ekonomis yang memadai, sehingga
kehancuran yang ditimbulkan oleh perang atau aksi militer segera bisa
direhabilitasi dengan baik dan hasilnya diterima oleh rakyat setempat. Yang
paling penting disini adalah bagaimana pemerintah atau para pemimpin menerapkan
manajemen konflik dengan benar. Strategi yang diterapkan oleh pemerintah,
termasuk aksi-aksi yang diambil untuk penyelesaian konflik, diantaranya aksi
militer, diplomasi, politik, ekonomi dan lain-lain harus tetap berpedoman pada
kaidah-kaidah umum yang berlaku, tentunya dengan tetap memperhatikan faktor
kultural.
Pelaksanaan
perang itu sendiri bisa dilihat dari 3 sudut pandang hirarkhis, yaitu tataran
strategis, operasional dan taktis. Pada tataran strategis, perang harus dilihat
sebagai sebuah permasalahan yang merupakan bagian dari hal-hal yang mengikuti
proses hubungan antar negara. Pada tataran ini juga perang harus dilihat
sebagai sebuah hal yang sangat komplek, karena melibatkan banyak unsur
didalamnya, bahkan bisa dikatakan semua komponen suatu bangsa bisa di gerakkan
dalam rangka perang. Dalam hal ini, seperti diuraikan diatas, mayoritas pakar
strategi klasik dan modern sepakat bahwa perang harus didasarkan pada
kepentingan negara.
Pada tataran
operasional, perang bisa dilihat dari aspek pengerahan kekuatan militer. Dalam
hal ini perang harus didasarkan pada perencanaan dan perhitungan yang tepat
untuk memperoleh hasil yang maksimal. Pada level inilah terlihat beberapa
perbedaan sudut pandang antara para pakar strategi yang mungkin banyak
diakibatkan oleh pengaruh situasi, geografi, serta perkembangan tekhnologi
perang. Contoh yang bisa dikemukakan disini adalah ketika Sun Tzu lebih memilih
kemenangan tanpa pertempuran atau pertempuran merupakan jalan terakhir,
Clausewitz berpendapat bahwa pada berbagai kondisi, perang merupakan cara yang
paling efektif, atau bahkan bisa merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh
kemenangan. Pada tataran operasional ini Jomini berargumen bahwa perang harus
dipersiapkan dan direncanakan dengan menggunakan perhitungan-perhitungan yang
cermat dan rasional, sedangkan Machiavelli lebih melihat hal-hal yang tidak
rasional yang bisa mempengaruhi hasil dari peperangan, untuk itu Machiavelli
menekankan perlunya pemimpin militer memiliki intuisi.
Tataran taktis
dari perang lebih banyak membahas bagaimana pasukan di medan pertempuran bertempur
dengan cara-cara tertentu untuk mencapai kemenangan militer. Pada level ini
pula banyak terlihat perbedaan pandangan antara para pakar strategi klasik. Sun
Tzu yang hidup pada sekitar tahun 400SM menganggap bahwa intelijen,
pengelabuhan dan pendadakan merupakan factor yang sangat dominan dalam
menentukan hasil sebuah perang. Sementara itu Clausewitz, Machiavelli dan
Jomini yang hidup pada jaman, budaya dan kondisi geografis yang berbeda
menganggap bahwa intelijen, pengelabuhan dan pendadakan lebih banyak
membuang-buang waktu dan tidak efektif. Mereka yang hidup pada waktu dimana
pengerahan pasukan besar-besaran lebih banyak mendominasi jalannya peperangan
menganggap bahwa pengerahan pasukan yang besar untuk menyerang bagian-bagian
vital dari musuh merupakan factor yang sangat penting.
Konsep strategi
itu sendiri ternyata sulit untuk di definisikan. Berbicara mengenai strategi,
sering terjadi kerancuan antara pengertian strategi itu sendiri dan pengertian
operasi serta taktik. Sering orang berpikir apabila berbicara tentang strategi
haruslah selalu berkait dengan pertempuran yang melibatkan aksi-aksi militer,
padahal pengertian yang sebenarnya jauh lebih luas daripada itu.
Taktik, menurut
International Military and Defense Encyclopedia, adalah “the art of fighting
battles.” Atau seni melaksanakan pertempuran. Hal ini merupakan level
operasional dan sekaligus merupakan inti dari perang. Sedangkan strategi
menurut definisi yang dikemukakan seorang pakar strategi modern, Liddell Hart,
adalah “the art of distributing and applying military means to fulfill the ends
of policy.”(Strategy, 1967, hal. 335) Menurut Clausewitz strategy is the use of
engagement for the purpose of the war.. Definisi Clausewitz terhadap pengertian
strategi ini lebih luas dari Liddle Hart dimana diperlukan pengerahan seluruh
sumber daya yang ada pada suatu negara. Beberapa konseptor strategi yang lain
seperti Jomini dan Moltke juga cenderung menganut pengertian bahwa strategi
sangat berkaitan dengan pengerahan kekuatan militer dalam perang untuk mencapai
tujuan politis.
Definisi tentang
strategi yang paling modern dan dianut khususnya oleh negara-negara barat
adalah definisi yang dikemukakan oleh U.S. Joint Chiefs of Staff yaitu:
Strategy is the
art and science of developing and using political, economic, psychological, and
military forces as necessary during peace and war, to afford the maximum
support to policies, in order to increase the probabilities and favorable
consequences of victory and lessen the chances of defeat. (Handel, hal. 36)
Dari definisi
strategi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh strategi dunia tersebut dan
khususnya definisi kontemporer dari Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata
Amerika Serikat bisa dilihat bahwa dalam membicarakan strategi kita tidak boleh
hanya terpaku kepada gambaran tentang pertempuran yang melibatkan aksi militer
secara berdiri sendiri. Kegiatan-kegiatan politis, ekonomis, pesikologis dan
lain-lain yang menyertai pelaksanaan perang haruslah menjadi bagian dari
pemikiran kita.
Sejarah mencatat
ada dua tokoh strategi yang sangat penting dan sering dianggap mewakili
pemikiran strategis Barat dan Timur meskipun pada sebagian besar pembahasannya
terdapat kesamaan konsep. Dua tokoh tersebut adalah Sun Tzu, pemikir strategi
dari Cina yang dianggap mewakili konsep-konsep atau pemikiran strategis dunia
Timur, dan Carl Von Clausewitz dari Jerman yang pemikiran-pemikirannya banyak
dianut oleh negara-negara belahan dunia Barat. Selain mereka, masih ada
beberapa pemikir-pemikir strategis terkenal yang konsep-konsepnya sebagian
berada pada tengah-tengah antara konsep Sun Tzu dan Clausewitz. Tokoh tokoh
tersebut diantaranya Machiavelli, Jomini, Moltke, T.E. Lawrence, Liddell Hart
dan Mao Zedong.
Sayangnya
tokoh-tokoh besar yang dimiliki oleh sejarah Indonesia tidak banyak menuliskan
idenya menjadi teori-teori strategi yang bisa dibaca luas sehingga agak sulit
untuk membuat perbandingan dengan tokoh-tokoh dari negara lain yang peradaban
dan budayanya memang berkembang lebih maju seperti negara-negara Eropa dan
Cina. Mahapatih Gajah Mada dari jaman kerajaan Majapahit yang mampu menyatukan
Nusantara dan membawa Majapahit ke jaman keemasan tidak meninggalkan
tulisan-tulisan yang bisa dipakai untuk mempelajari konsep strategisnya. Yang
ada lebih banyak berupa tulisan sejarah dari orang lain tentang kebesaran sang
Mahapatih beserta keberhasilan-keberhasilannya. Padahal mungkin Gajah Mada
punya konsep strategis dan taktis yang digunakan pada saat melaksanakan
ekspansi ke kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya sehingga mencapai keberhasilan
yang besar.
Yang mungkin bisa
sedikit menggambarkan ide strategis Gajah Mada adalah pada kejadian yang paling
terkenal, yaitu Perang Bubat yang sekaligus menjadi awal dari kemunduran Gajah
Mada. Pada peristiwa tersebut, kelihatan kecenderungan dan kemiripan konsep
sang Patih dengan konsep strategisnya Clausewitz. Dengan ambisinya yang besar,
Gajah Mada lebih memilih pengerahan pasukan yang besar untuk menyerang musuh
yang relatif lebih kecil pada titik lemahnya dan di tempat yang menguntungkan
buat pasukan Majapahit. Hal itu dilaksanakan pada saat sang Raja Hayam Wuruk
(pemimpin politik) sedang mengupayakan langkah diplomatis politis (mengambil
putrid Pajajaran sebagai istri). Gajah Mada terkesan menganggap bahwa
pengerahan pasukan yang besar merupakan satu-satunya cara yang paling efektif
untuk memperoleh kemenangan (seperti konsep Clausewitz). Tetapi pada akhirnya
langkah yang diambil Gajah Mada menemui kegagalan meskipun secara militer dia
memperoleh kemenangan. Disini bisa terlihat bahwa kegagalan Gajah Mada (secara
politis) karena terjadinya penyimpangan dari kaidah-kaidah perang internasional
bahwa perang harus dilaksanakan untuk kepentingan negara dan tidak boleh
bertentangan dengan tujuan atau langkah-langkah politis. Kemenangan militer
Gajah Mada tidak diikuti dengan langkah-langkah politis karena sang pemimpin
politik (Hayam Wuruk) mengalami kekecewaan, dan akhirnya ini merugikan sang
Patih sendiri.
Secara taktis,
konsep Gajah Mada pada perang Bubat terlihat mirip dengan konsepnya Sun Tzu,
yaitu mengadalkan pendadakan dan penyerangan pada saat musuh lengah dan lemah.
Hal itu menguntungkan bagi Gajah Mada karena kondisi geografis, dan kultur pada
saat itu sangat cocok untuk aplikasi taktik tersebut.
Tokoh-tokoh dalam
negeri lainnya yang besar pada jaman yang lebih modern seperti Jenderal
Soedirman dan Nasution lebih jelas kemiripannya dengan Sun Tzu. Perang Gerilya
yang dilakukan oleh Soedirman dan yang akhirnya di teorikan oleh Nasution
menunjukkan arah kecondongan tokoh-tokoh tersebut kepada konsep strategisnya
Sun Tzu.
Pada pembahasan
selanjutnya akan dikutip beberapa konsep penting dari tokoh-tokoh strategi
Barat dan Timur yang sangat berpengaruh dan diharapkan bisa dijadikan bahan
perbandingan dengan konsep-konsep strategi yang dianut oleh negara dan angkatan
perang kita.
Sun Tzu
Sun Tzu dengan
tulisannya yang sangat terkenal, The Art of War, bisa dianggap sebagai seorang
konseptor militer terbesar di belahan dunia bagian timur. Sebagai seorang
bangsawan negeri Cina yang terkenal dengan budayanya yang tinggi dan kaya,
konsep strategi Sun Tzu telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran tentang strategi
pada masa-masa berikutnya di hampir seluruh penjuru dunia, bahkan di
negara-negara barat sekalipun sampai dengan sekarang. Konsep strategi Sun Tzu
selalu menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan pakar-pakar strategi,
bahkan aplikasinya telah memasuki berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan
bisnis dan ekonomi. Buku The Art of War sendiri sampai sekarang masih banyak
membanjiri toko-toko buku di berbagai belahan dunia ini.
Dalam tulisannya,
Sun Tzu secara umum menitik beratkan pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan
sebelum perang itu sendiri dilaksanakan. Pada tataran strategis, Sun Tzu sangat
berfokus pada kepentingan-kepentingan suatu negara di dalam penggunaan kakuatan
militer. Salah satu kalimat yang dituliskan mengenai hal ini adalah. “Jika
bukan karena kepentingan negara, jangan bertindak. Jika tidak yakin akan
berhasil, jangan menggunakan kekuatan militer. Jika tidak dalam bahaya
(terancam) jangan bertmpur.” (The Art of War, hal. 142) Phrase ini merupakan
salah satu prinsip yang sangat signifikan yang juga masih aplikatif sampai
dengan sekarang. Prinsip ini juga yang mungkin menjadikan inspirasi munculnya
kaidah perang universal ayng mengatakan bahwa Self Defense atau pembelaan diri
menjadi salah satu alasan yang legal bagi suatu negara untuk melaksanakan
perang. Penggunaan kekuatan militer juga dibenarkan apabila bertujuan untuk
mengamankan kepentingan negara. Diluar itu, penggunaan kekuatan militer harus
dikesampingkan tetapi militer itu sendiri harus selalu dalam keadaan siap sedia
bila sewaktu-waktu diperlukan.
Sun Tzu juga
mengatakan bahwa militer harus digunakan dengan tepat. “Seorang penguasa tidak
boleh menggerakkan militer hanya karena dia marah, tidak pula seorang jenderal
boleh berperang hanya karena dia merasa tertantang. Karena seorang yang marah
mungkin akan menjadi tenang kembali, dan seorang yang merasa tertantang akan
menjadi senang kembali. Sebuah negara yang hancur akan susah untuk dibangun
kembali, dan orang-orang yang mati tidak akan mungkin hidup kembali.” (The Art
of War, hal 143) Ini memperlihatkan bahwa penggunaan militer harus benar-benar
diperhitungkan dengan tepat, dan tidak boleh dilakukan hanya atas keinginan dan
ambisi pribadi, apakah itu seorang pemimpin politik maupun seorang pemimpin
militer. Karena pengerahan kekuatan militer sangat berhubungan dengan
kehancuran dan kematian, maka kesalahan dalam perhitungan akan menyebabkan
kerugian yang sangat fatal. Contoh yang mungkin bisa diambil adalah kampanye
militer Amerika Serikat di Vietnam pada saat perang Vietnam. Meskipun secara
militer Amerika banyak memenangkan pertempuran, tetapi secara strategis Amerika
menderita kekalahan baik di Vietnam maupun di dalam negeri sendiri. Hal itu
disebabkan oleh ketidak jelasan tujuan perang. Pengerahan kekuatan militer di
Vietnam lebih disebabkan oleh ambisi politis pemimpin pada saat itu. Sedangkan
rakyat Amerika maupun tentara yang dikirimkan ke medan perang sebagian besar
tidak memahami tujuan politis itu sendiri. Hal ini berarti pengerahan kekuatan
militer Amerika pada saat itu tidak mewakili kepentingan negara secara utuh.
Pada tataran
operasional, Sun Tzu memberikan titik berat pada intelijen, pengelabuhan, dan
pendekatan tidak langsung kepada musuh sebagai cara yang paling efektif untuk
memenangkan pertempuran. “Semua peperangan didasarkan pada pengelabuhan
(deception).” (hal. 66) “Serang pada saat mereka tidak siap: adakan pendadakan
pada saat mereka tidak menyangka.”( hal. 69) dan kata-kata yang paling populer
di telinga kita adalah “Kenali musuhmu, kenali dirimu sendiri; kemenanganmu
tidak akan pernah terancam.” (hal. 129)
Penggunaan
kemampuan intelijen, pengelabuhan, dan mendekati musuh secara diam-diam dan
tidak langsung merupakan titik berat pembahasan taktis Sun Tzu dalam tataran
operasional pertempuran. Taktik-taktik yang kita anut dalam pelaksanaan Operasi
Lawan Gerilya mungkin merupakan adopsi atau aplikasi secara tidak langsung dari
konsep taktisnya Sun Tzu. Walaupun tekhnologi perang sudah sedemikian canggihnya
saat ini, tetapi konsep umum taktisnya Sun Tzu kelihatannya tidak begitu saja
ditinggalkan. Penggunaan pesawat mata-mata B-52, pesawat super canggih Stealth
dan sejenisnya yang tidak terdeteksi oleh radar menunjukkan masih pentingnya
unsur intelijen dan pendadakan meskipun di dalam perang modern. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memenuhi kaidah perang universal yaitu capai kemenangan
secepat dan sebesar mungkin dengan kemungkinan kerugian yang sekecil-kecilnya.
Machiavelli
Machiavelli yang
hidup pada jaman pertengahan sebenarnya merupakan salah satu perintis dalam
bidang politik sejajar dengan Adam Smith pada ekonomi dan Newton pada sains.
Lewat bukunya yang terkenal The Prince and the Discourses, Machiavelli
pemikiran-pemikiran Machiavelli banyak mempengaruhi perkembangan ilmu dan
kehidupan politik di seluruh penjuru dunia. Meskipun demikian, bahasannya
tentang perang dan strategi yang diselipkan dalam tulisannya juga perlu dikaji
untuk bahan perbandingan dengan teori-teori strategi yang dihasilkan oleh
tokoh-tokoh besar lainnya. Pada bahasan tentang perang dan strategi,
Machiavelli terlihat lebih menekankan pentingnya penggunaan keunggulan kekuatan
militer sebagai penentu kemenangan dalam pertempuran. Disamping itu,
Machiavelli juga terlihat sangat peduli dengan masalah kedisiplinan dan
kepemimpinan. Dia berpendapat bahwa,
“ Seorang
pangeran (pemimpin) yang mempunyai pasukan yang dipersenjatai dengan baik dan
mempunyai disiplin yang tinggi seharusnya menunggu musuh yang kuat dan
berbahaya di wilayahnya sendiri, dan tidak boleh menyambutnya jauh dari
wilayahnya. Tetapi bagi pemimpin yang pasukannya tidak dipersenjatai dengan
baik dan tidak terbiasa dengan perang, harus selalu menjaga agar bertempur
dengan musuh jauh dari wilayahnya sendiri, dan dengan demikian keduanya akan
bisa mempertahankan diri dengan baik, masing masing dengan caranya sendiri.”
(The Prince and the Discourses, hal. 318)
Senada dengan Sun
Tzu, Machiavelli juga melihat pentingnya pendadakan untuk mencapai kemenangan
atas musuh. Menurutnya, menunggu pada saat musuh lengah dan terkejut kemudian
menyerangnya akan lebih baik daripada menyerangnya dari awal dengan serangan
cepat tanpa perhitungan dengan cermat. Dia mengambil contoh dari tokoh dalam
bukunya, Fabius, yang berdebat dengan dirinya sendiri, “ dengan mengandalkan
kelengahan musuh, memutuskan untuk menyerang dengan hati-hati menjadi sesuatu
yang paling menguntungkan dan menghasilkan kepuasan dan antusiasme pada
pasukannya ketika kemauan musuh untuk bertempur dan daya tembaknya menjadi
menurun.” (hal. 534) Machiavelli melihat efek dari pendadakan pada penurunan
moril musuh, karena musuh dalam keadaan tidak siap, dan hal ini sangat
menguntungkan bagi pasukan sendiri.
Dalam
pembahasannya tentang kualitas seorang komandan atau pemimpin, Machiavelli
menyatakan bahwa seorang komandan atau pemimpin yang baik tidak boleh hanya
memberikan perintah-perintah, tetapi dia harus memberi contoh melalui
tindakannya sendiri. Machiavelli menyitir kata-kata dari Titus Livius, “ Aku
ingin kalian mengikuti tindakanku dan tidak hanya kata-kataku; bukan cuma
perintahku, tetapi contoh yang kuberikan untuk mencapai kejayaan.” (hal. 522)
Clausewitz
Clausewitz,
seorang perwira militer Jerman yang berdinas pada masa perang antar negara di
kawasan Eropa dikenal luas kebesarannya menyamai Sun Tzu lewat teori-teori
strategisnya yang ditulis dalam buku On War. Clausewitz terkenal dengan
konsepnya yang menitik beratkan pada pentingnya peran politik dalam perang.
Menurutnya, “Policy (kebijaksanaan politik)…..akan masuk dan mempengaruhi semua
operasi militer, dan seperti sifat dasar kekerasan mempengaruhi perang, policy
juga akan terus mempengaruhi peperangan. Perang bukan hanya merupakan sebuah
aksi politik, tetapi benar-benar merupakan sebuah alat politik, kelanjutan dari
konflik politik dan dilaksanakan dengan cara lain. Obyek-obyek politik menjadi
tujuan, dan perang merupakan suatu cara untuk mencapainya……” (On War, hal.
86-87) Clausewitz juga berpendapat bahwa, “Perang hanyalah merupakan salah satu
bagian dari politik, satu-satunya penyebab perang adalah politik,……perang tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan berpolitik.” (hal. 605)
Dari pendapat
tersebut diatas, terlihat sekali bagaimana Clausewitz melihat politik sebagai
unsure yang sangat berpengaruh terhadap peperangan, bahkan secara lebih jelas
dia mengatakan bahwa perang hanyalah merupakan salah satu bagian dari politik.
Meskipun Clausewitz berpendapat bahwa perang hanyalah merupakan salah satu cara
dan menjadi kelanjutan dari proses politik, tetapi hampir mirip dengan
Machiavelli, dia juga melihat bahwa penggunaan kekuatan militer sering menjadi
sesuatu yang sangat penting, bahkan paling efektif untuk mencapai tujuan
politik.
Kalau Sun Tzu
lebih mengutamakan kemenangan tanpa berperang, maka Clausewitz melihat hal yang
sebaliknya, bahwa cara terbaik atau terpraktis untuk mencapai tujuan politik
adalah dengan menghancurkan kekuatan militer musuh dalam sebuah peperangan yang
menentukan.
Tidak seperti Sun
Tzu yang mengutamakan intelijen, pengelabuhan dan pendadakan, hal-hal tersebut
tidak mendasari konsep strategis Clausewitz pada tataran operasional. Menurut
Clausewitz, “Jarang terjadi sebuah negara melakukan pendadakan kepada negara
lain, tetapi lebih sering perang dilakukan dengan serangan yang dipersiapkan.”
(hal. 199) “Banyak laporan intelijen yang kontradiktif, lebih banyak lagi yang
salah dan sebagian besar tidak pasti.” (hal. 117) Jadi jelas disini bahwa
Clausewitz tidak melihat unsur intelijen dan pendadakan sebagai suatu hal yang
penting dalam sebuah perang. Hal ini mungkin dilandasi oleh mulai berlakunya
Hukum Internasional tentang perang yang mengatur bahwa sebuah negara yang
menyatakan perang terhadap negara lain harus disampaikan terlebih dahulu,
sehingga dalam kondisi seperti ini pendadakan tidaklah berfungsi dengan baik.
Secara umum
Clausewitz menganggap bahwa konsentrasi pasukan pada titik-titik yang
menentukan dalam medan pertempuran adalah sesuatu yang sangat penting. Ttitik
pusat yang harus dihancurkan terlebih dulu adalah pasukan militer musuh.
(Handel, Masters of War, hal 19)
Jomini
Jomini sebagai
seorang pemikir strategis, lebih memiliki kesamaan dengan Clausewitz. Mungkin
ini karena latar belakang cultural yang hampir sama antara keduanya. Kesamaan
ini juga mungkin diakibatkan oleh masa dimana mereka menggeluti dunianya.
Sejalan dengan Clausewitz, Jomini juga menekankan pentingnya peran politik
dalam penggunaan kekuatan militer. “Kita bisa berharap agar militer memainkan
perannya: pertimbangan pertama yang harus diperhatikan oleh pimpinan militer
adalah persetujuan dari pimpinan negara terhadap pelaksanaan perang.” (Jomini,
The Art of War, hal. 66) Menurut Jomini yang senada dengan sebagian besar pakar
strategi, bahwa pemimpin militer tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk
menggerakkan pasukannya atau menggunakan kekuatan militer. Semuanya harus atas
persetujuan pemimpin negara atau pemimpin politik. Ini menunjukkan bahwa Jomini
melihat keterkaitan yang sangat erat, tidak bisa dilepaskan satu sama lain,
antara politik dan militer.
Jomini yang hidup
pada era dimana persenjataan modern mulai diperkenalkan dan digunakan dalam
perang, berpendapat bahwa kekuatan persenjataan mempunyai efek yang lebih
menentukan pada keberhasilan perang. “Superioritas persenjataan mungkin dapat
meningkatkan peluang tercapainya kemenangan dalam perang; senjata tidak dengan
sendirinya memenangkan perang, tetapi merupakan komponen yang sangat penting
dari sebuah keberhasilan. …..persenjataan tentara masih akan berkembang dengan
pesat; negara yang memimpin pembuatan senjata akan memiliki keuntungan yang
sangat besar.” ( hal. 47) Apa yang dikatakan Jomini ini bisa dilihat sekarang
pada negara-negara besar yang memegang kendali dalam perlombaan persenjataan
seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina dan Perancis. Negara-negara tersebut,
dengan kekuatan senjatanya, mampu memegang kontrol atas sebagian urusan dalam
hubungan antar negara pada masa sekarang ini.
Masih senada
dengan Clausewitz, para level operasional Jomini menyatakan pentingnya
penggunaan kekuatan yang besar untuk menyerang bagian-bagian dari musuh.
“Strategi, disamping mengindikasikan poin-poin yang menentukan pada sebuah
teater perang, juga memerlukan dua hal pemnting: 1. bahwa prinsip-prinsip
penggunaan kekuatan yang besar untuk menyerang musuh yang kecil memperbesar
keberhasilan. 2. bahwa arah gerakan yang paling baik untuk diadopsi adalah
langsung kepada poin-poin yang menentukan.” ( hal. 331)
Tentang konsep
pentingnya penggunaan kekuatan yang besar untuk menyerang bagian-bagian kecil
musuh, mungkin aplikasinya bisa dilihat sekarang pada prinsip-prinsip yang
dianut oleh TNI. Dalam serangan kita mengenal perbandingan 3:1 atau untuk
menyerang pasukan dengan kekuatan tertentu, dibutuhkan jumlah pasukan penyerang
sebesar 3 kali lipat. Dalam pertahanan diberlakukan sebaliknya.
T. E. Lawrence
Inggris yang
mempunyai sejarah cukup besar juga memiliki seorang pemikir strategi yang layak
diperhitungkan, dan mungkin pikiran-pikirannya bisa disejajarkan dengan
konseptor-konseptor lainnya. Thomas Edward Lawrence, sang pakar, berpendapat
bahwa untuk memperoleh sebuah kemenangan maka tujuan daripada perang itu
sendiri harus jelas. “Kemenangan secara umum bersandar pada kejelasan
tujuan…”(Seven Pillars of Wisdom, hal.191) Lawrence mengatakan bahwa perang
ibarat sebuah rumah yang memiliki beberapa aspek structural. “…..bertolak pada
pemikiran bahwa keseluruhan rumah adalah perang, maka dalam aspek strukturalnya
terdapat strategi, dalam aspek perencanaannya terdapat taktik, dan pada
kehidupan di dalamnya terdapat aspek psikologi; ……dan seorang komandan, seperti
halnya seorang ahli arsitektur, bertanggung jawab terhadap semuanya.” (hal.
191-192) Dalam hal ini, Lawrence menitik beratkan pada kejelasan tujuan politis
sebagai factor yang dominan dalam menentukan kemenangan dari sebuah perang.
Pengalaman Amerika dalam Perang Vietnam mungkin juga bisa dijadikan ilustrasi
yang tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya kejelasan tujuan politis dari
perang.
Lawrence juga
berargumen bahwa intuisi merupakan salah satu factor penting yang berpengaruh
terhadap keberhasilan seorang komandan (pemimpin). “….dan seorang komandan
terhebat dari manusia adalah mereka yang mempunyai intuisi. Sembilan persepuluh
dari taktik cukup jelas dan pasti untuk diajarkan di sekolah-sekolah, tetapi
sepersepuluh lainnya yang tidak rasional seperti seorang pemancing handal yang
memancing diatas kolam dan disitulah terdapat ujian bagi para jenderal. Hal itu
hanya dapat di tentukan dengan instinc (dipertajam oleh latihan berfikir dalam
keadaan tertekan).” (hal. 193) Memang pada kenyataannya banyak permasalahan di
medan perang yang memerlukan mainnya intuisi atau instinc seorang komandan,
tidak hanya pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan yang dipelajari di
sekolah.
Pada tataran
operasional Lawrence memberikan penekanan pada penyerangan terhadap materiil
musuh. “Keputusan tentang apa yang kritik (penting) harus selalu berada pada
pihak kita,……serangan mungkin dilaksanakan, tidak diarahkan kepada personel
musuh, tetapi kepada materiilnya; jadi tidak mencari titik kuat maupun titik
lemah musuh, tetapi pada materiil yang paling penting bagi musuh.” ( hal. 194)
Untuk memperoleh informasi tentang keberadaan materiil musuh dan apa saja yang
substansial dari materiil musuh tersebut, tentunya diperlukan kekuatan
intelijen yang memadai. Dalam hal ini, Lawrence tampaknya sependapat dengan Sun
Tzu dalam membahas pentingnya peran intelijen di dalam perang. “Sesuatu yang
harus dibangun untuk sebuah perang adalah sebuah intelijen yang sempurna,
sehingga kita dapat membuat rencana dengan pasti……Jika kita tahu segala sesuatu
tentang musuh kita maka kita akan menjadi lega. Kita harus bekerja lebih keras
dalam pengolahan data daripada hal-hal yang lain.” ( hal. 194)
Liddell Hart
Sir Basil Liddell
Hart adalah seorang pemikir strategi yang luar biasa pada abad ke-20. Dia
mengkritik Clausewitz karena dinilai terlalu menitik beratkan perhatian pada
bagaimana perang dilaksanakan, bukan pada hasil akhirnya. Dia menilai bahwa
teori Clausewitz tentang strategi mempunyai dua penyimpangan. Yang pertama,
teori Clausewitz terlalu memasuki atmosfir politik, yang seharusnya menjadi
tanggung jawab pemerintah dan bukan tanggung jawab pemimpin-pemimpin militer
yang diberi mempunyai wewenang kontrol secara eksekutif pada operasional.
Kedua, teori itu menyempitkan arti daripada strategi kepada kegunaan dari murni
dari sebuah pertempuran, dengan demikian memunculkan pendapat bahwa pertempuran
adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan strategis.
Dalam
pembahasannya tentang teori strategi, Liddell Hart berpendapat bahwa,
“…..strategi bukanlah sekedar pekerjaan sederhana untuk mencari bagaimana
menghancurkan kekuatan militer musuh. Ketika pemerintah melihat bahwa musuh mempunyai
keunggulan militer, baik dalam peperangan secara umum atau tertentu, akan lebih
bijaksana untuk menggabungkan strategi dengan tujuan yang terbatas.”
Liddell hart
menyatakan bahwa tanggung jawab seorang komandan atau pemimpin militer adalah
menentukan hal-hal yang paling menguntungkan bagi kepentingan politik perang
yang lebih besar dimana pasukan tersedia dalam medan operasi yang ditentukan.
Akhirnya Hart membnuat suatu definisi dari strategi sebagai, “the art of
distributing and applying military means to fulfill the ends of policy.”
Definisi dari
Liddell Hart inilah yang oleh sebagian besar pakar strategi saat ini dianggap
sebagai definisi yang paling tepat untuk mengartikan kata-kata strategi.
Mao Zedong
Sama seperti
mayoritas pakar strategi, Mao Zedong juga membahas hubungan antara perang dan
politik. Menurut Mao, “Perang adalah kelanjutan dari politik. Dalam hal ini,
perang adalah politik dan perang itu sendiri merupakan salah satu kegiatan
politis; sejak jaman kuno tidak pernah ada perang yang tidak memiliki karakter
politis.” (On Protacted War, hal. 57) Menurutnya perang tidak bisa dipisahkan
sedikitpun dari politik, namun demikian Mao juga mengatakan bahwa perang itu
sendiri mempunyai karakter khusu yang tidak bisa disamakan dengan politik
secara umum.
Mao juga
menekankan bahwa perlawanan merupakan salah satu kunci untuk meraih kemenangan.
“Kunci untuk sebuah kemenangan bersandar pada pembentukan perlawanan semesta
dibentuk oleh seluruh bangsa (negara). Hanya dengan perlawanan semesta itulah
sebuah perang pada akhirnya bisa dimenangkan.” (hal. 109) Pendapat ini agaknya
cenderung diilhami oleh politik komunis yang dianutnya sehingga mobilisasi umum
dianggap sebagai sebuah alternatif utama untuk memenangkan sebuah perang.
Perbandingan
Teori Strategi Sun Tzu – Clausewitz (Timur-Barat ?)
Untuk melihat
perbandingan dari teori-teori strategi, maka lebih pas kiranya kalau mengambil
Sun Tzu dan Clausewitz sebagai perwakilan karena dianggap dua tokoh tersebut
mewakili dunia masing-masing dengan latar belakang cultural, sosio ekonomi, dan
geografis yang berbeda, atau mungkin bisa dikatakan mewakili konsep pemikiran
Dunia Barat dan Timur. Tokoh-tokoh lain yang hidup di jaman setelah kedua tokoh
tersebut lebih banyak memiliki kesamaan dengan Sun Tzu maupun Clausewitz.
Machiavelli yang meskipun menulis teori sebelum Clausewitz, tetapi secara umum
lebih mewakili dunia politik dibandingkan strategi perang.
Meskipun para
tokoh tersebut hidup di jaman yang berbeda dengan latar belakang politik,
ekonomi, kultur dan geografis yang berbeda pula, tetapi pada tataran strategis
mereka relatif mempunyai kesamaan pandangan dalam melihat permasalahan perang
dan strategi. Secara umum mereka semua sepakat bahwa perang tidak bisa
dipisahkan dari politik. Perang merupakan salah satu kegiatan politik dan
perang merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan politik.
Perbedaan
pandangan diantara mereka lebih banyak terlihat pada tataran operasional dan
taktis. Tetapi kalau dikaji lebih jauh, perbedaan-perbedaan tersebut juga lebih
disebabkan oleh perbedaan waktu, kondisi geografis yang dihadapi, kultur yang
sedang berkembang dan lain-lain. Bagaimanapun juga ada beberapa perbedaan yang
bisa di lihat dan diperbandingkan satu dengan yang lain untuk, pada akhirnya,
dinilai mana yang lebih aplikatif untuk diterapkan di masa sekarang dan di
wilayah dimana kita tinggal. Namun demikian, tidak bijaksana kalau kita
menyikapi perbedaan antara mereka sebagai sebuah kontradiksi.
Perbedaan antara
Sun Tzu dan Clausewitz yang dianggap mewakili konsep strategi Barat dan Timur
khususnya terletak pada tataran operasional dan taktis. Pada Sun Tzu,
intelijen, pengelabuhan dan pendadakan menjadi factor yang dominan dan
menetukan kemenangan sebuah pertempuran seperti yang dikatakannya bahwa, “All
warfare is based on deception,” (The Art of War, hal. 66), “Attack where he is
unprepared: sally out when he does not expect you,” (hal. 69) dan “Know your enemy,
know yourself; your victory will never be endangered,” (hal. 129). Sementara
itu, bagi Clausewitz yang hidup di jaman dan situasi medan pertempuran
menyebabkan pengelabuhan menjadi sangat sulit dilaksanakan tidak memandang
teorinya Sun Tzu sebagai sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Bahkan
terkesan bahwa Clausewitz bersikap skeptis terhadap intelijen, pengelabuhan dan
pendadakan sebagai factor penentu kemenangan dalam perang. Baginya melakukan
ketiga unsure diatas merupakan suatu hal yang buang-buang waktu. Hal ini bisa
dilihat dari apa yang dikatakannya,” It is very rare therefore that one state
surprises another, either by an attack or by preparations for war.”(On War,
hal.199) serta,”Many intelligence reports in war are contradictory; even more
are false, and most are uncertain.”(hal.117)
Sedikit perbedaan
pada tataran strategis adalah pandangan mereka tentang penggunaan perang
sebagai salah satu aksi politik atau penyelesaiana masalah. Dalam hal ini
terlihat bahwa Sun Tzu, mengilhami kaidah perang universal, berpendapat bahwa
perang haruslah dilaksanakan sebagai “the last resort” bahkan terkesan bahwa
Sun Tzu lebih memilih kemenangan tanpa pertempuran atau pertumpahan darah.
Dilain pihak Clausewitz melihat bahwa perang atau pertempuran merupakan bagian
yang sangat penting sebagai salah satu cara untuk memenangkan perang secara
utuh yang pada akhirnya akan mengantarkan kepada penyelesaian akhir secara
lebih komprehensif. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dikatakannya, ” There is
only one means in war; combat. . . .Combat is the only effective force in war;
its aim is to destroy the enemy’s forces as a means to a further end.”(On War,
hal. 96-97)
Walaupun ada
beberapa perbedaan pada tataran operasional dan taktis, tetapi kedua tokoh
tersebut saling melengkapi ketika membahas hubungan antara perang dan politik.
Keduanya sepakat dan menekankan bahwa harus ada kontrol politik atas penggunaan
kekuatan militer dalam perang. Sun Tzu berpendapat bahwa penggunaan kekuatan
militer haruslah didasari untuk kepentingan negara dan untuk pembelaan diri..
“If not in the interests of the state, do not act. If you cannot succeed, do
not use troops. If you are not in danger, do not fight.”( The Art of War,
hal.142) Clausewitz dalam hal ini juga membuat argumen senada yang mengatakan
bahwa, “War is only a branch of political activity . . .The only source of war
is politics . . .War cannot be divorced from political life . . .”(On War,
hal.605)
Lantas, apakan
perbedaan-perbedaan antara konsep strategi Sun Tzu dan Clausewitz bisa
dikatakan mewakili perbedaan cara pandang terhadap perang antara negara-negara
di belahan dunia bagian Timur dengan mereka yang berada di Barat? Secara
otomatis memang tidak, perbedaan antara Sun Tzu dan Clausewitz tidak dengan
begitu saja mewakili perbedaan konsep antara dunia Timur dengan dunia Barat.
Yang sebenarnya terjadi adalah perbedaan yang diakibatkan oleh kultur,
geografi, ekonomi dan tekhnologi yang berbeda. Mereka lebih cenderung mewakili
dunia mereka masing-masing dengan terdapatnya berbagai perbedaan yang ada.
Sedangkan secara umum, konsep mereka sama-sama bisa diterima oleh siapapun
terutama pada tataran strategis. Pada aplikasi level operasional dan taktis,
adopsi terhadap konsep-konsep klasik tersebut disesuaikan dengan kondisi
kultural, ekonomis, politis, geografis dan demografis masing masing negara, tak
perduli apakah itu negara “timur” maupun “barat.” Pada akhirnya kondisi yang
berbeda pada berbagai negara tersebut yang melahirkan perbedaan konsep
operasional dan taktis diantara para tokoh.
Namun demikian,
pada perkembangan sejarah perang di era modern (mulai Perang Dunia I) terlihat
kecenderungan bahwa negara-negara belahan Timur lebih condong kepada konsep
strateginya Sun Tzu, dan sebaliknya negara-negara Barat lebih condong kepada
Clausewitz atau Jomini. Ini bisa dilihat pada berbagai perang mulai Perang
Dunia I dan II sampai sekarang bahwa negara-negara Barat lebih mengutamakan
keunggulan angkatan perang dan persenjataan untuk menyelesaikan perang atau
pertempuran. Di bagian lainnya di negara-negara Timur, berbagai perang masih di
dominasi dengan pelaksanaan gerilya atau perang inkonvensional yang lebih
akomodatif bagi pelaksanaan konsep strategi Sun Tzu.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan bisa dikatakan bahwa konsep strategi pada umumnya mengandung
pandangan-pandangan stategis yang sama dalam melihat perang secara utuh serta
hubungannya dengan politik. Secara umum para tokoh strategi dunia sepakat bahwa
perang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu proses politik. Perang
hanyalah merupakan salah satu bagian dari proses politik dan menjadi salah satu
cara untuk mencapai tujuan politik. Perang harus semaksimal mungkin
dilaksanakan untuk membela kepentingan negara dan harus digunakan sebagai
langkah terakhir setelah langkah-langkah politik dan diplomasi ditempuh.
Adanya beberapa
perbedaan pada tataran operasional dan taktis lebih disebabkan oleh perbedaan
kultural, geografis dan ekonomis serta perbedaan waktu dimana para tokoh
tersbeut dibesarkan. Tetapi perbedaan tersebut tidaklah prinsip dan tidak
seharusnya terlalu dibesar-besarkan karena pelaksanaannya akan kembali kepada
situasi dan kondisi dimana konsep tersebut akan diterapkan.
4 komentar :
Terima kasih Bung Mugi sdh mampir dan ini bagian dr "strategi" kehidupan bermasyarakat "silaturahim" ......... hehehe.
Salam Sukses.... :)
Siiiiiiip :)
Posting Komentar