Songko To Bone (Songko Recca) |
Catatan : Tulisan ini sebagai persembahan Milad Kab.Bone ke-685 (6 April 1330 - 6 April 2015). Pada Ultah Bone kali ini, tidak sekedar seremoni belaka, yang dalam perayaannya yang cukup ramai dan mewah tentu menghabiskan uang tidak sedikit. Diharapkan dijadikan momentum "introsfeksi" menuju sebuah solusi "pembangunan dan kemandirian" masyarakat Bugis, dengan belajar pada kearifan lokalnya sendiri.
Meri sedikit refleksi akan eksistensi La Mellong (Ahli Diplomasi Raja Bone), beliau seorang "Bissu" atau "Tabib" atau "Rohaniawan" atau sekaligus Ahli Strategi Kerajaan Bugis (Bone, Soppeng dan Wajo). Mungkin La Mellong ini bisa disetarakan dengan Sun Tzu (Ahli Strategi China Kuno), yang juga banyak saya bedah dalam blog ini.
Siapa La Mellong atau Kajao La Liddong
Nama La Mellong atau Kajao La Liddong (atau Kajao La Liddo) mungkin sudah akrab di telinga warga Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dan Khususnya di Watampone, Ibukota Kabupaten Bone, karena dijadikan nama jalan di sana dan beberapa kab/kota lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi masih sedikit yang tahu siapa sebenarnya Kajao La Liddong. Berikut sedikit cerita tentang siapa sebenarnya La Mellong.Kajao dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada masa abad XVI, atau masa pemerintahan Raja Bone VI La Uliyo Botee (1543-1568) dan raja Bone VII Tenri Rongkang Bongkange (1568-1584). Kegemilangan pikiran Kajao terbukti dengan banyaknya hasil pemikiran beliau yang digunakan sebaga dasar dalam menetapkan hukum pemerintahan dan ketatanegaraan.
Kelebihan lain yang dimiliki Kajao
adalah kemampuannya berdiplomasi. Kemampuan inilah yang akhirnya mampu
menyatukan kerajaan Bugis (Bone, Soppeng dan Wajo) dalam satu aliansi. Ikrar
aliansi ketiga kerajaan tersebut dikenal dengan nama Lamumpatue
Timurung (1582) pasa masa pemerintahan Tenri Rawe Bongkange. Tanda
ikrar aliansi itu adalah ketika tiga raja yaitu: Tenri Rawe Bongkange (Bone),
La Mappaleppe Patoloe (Soppeng) dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) sama-sama
menenggelamkan tiga batu.
Peran besar Kajao La Liddong bukan cuma menyatukan ketiga kerajaan Bugis
tersebut, tapi juga dalam perjanjian Caleppa (Ulu kanayya ri Caleppa) antara
kerajaan Bone dan Gowa. Pada masa itu kerajaan Gowa dikenal sebagai kerajaan
terkuat di jazirah Sulawesi. Kekuasaan kerajaan Gowa membesar dengan cara
menaklukkan kerajaan-kerajaan lain secara damai maupun dengan kekerasaan.
Kerajaan Bone yang saat itu perlahan mulai terdesak oleh dominasi kerajaan
Gowa mulai mempersiapkan diri dengan melatih para pemuda dalam pusat-pusat pelatihan.
Salah satu pesertanya adalah Kajao La Liddong muda. Kajao yang memang punya
bakat cemerlang menemukan tempat yang tepat untuk menempa bakat-bakat luar
biasa yang dia miliki hingga akhirnya dipercaya sebagai pemikir istana Raja
Bone.
Lamellong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola
dasar pemerintahan Kerajaan Bone di masa lampau. Tepatnya pada abad ke-16 masa
pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7
Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Lamellong muncul ibarat bintang gemilang di
kerajaan. Dengan pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan.
Pokok-pokok pikiran beliau menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas
pemerintahan.
Tentang Lamellong di tanah Bugis, dilacak melalui sumber-sumber lisan
berupa cerita rakyat dan catatan sejarah, baik dari lontara maupun
tulisan-tulisan lainnya. Serpihan tulisan yang ada lebih banyak mencatat
tentang buah pikirannya yang menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam
bahasa Bugis Bone disebut “Pangngadereng”.
Dalam lintasan perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa
Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan
Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal
pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatua”
ri Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngE.
Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni :
- Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
- Tidak memejamkan mata siang dan malam;
- Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
- Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Gelar Kajao
Karena pola pikiran dan kemampuannya yang luar biasa itu, maka Lamellong diberi gelar penghargaan dari kerajaan yang disebut “Kajao Lalliddong”. Kajao berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone ke-4 We Benrigau (1496-1516).
Sejak kecil dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang ahli pikir yang cemerlang.. Bakat-bakat istimewa itu kemudian nampak menjelang usia dewasanya yang dilatarbelakangi iklim yang bergolak, di mana pada zaman itu Gowa telah berkembang sebagai kerajaan yang kuat di jazirah Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sulawesi Selatan satu demi satu ditaklukkannya baik secara damai maupun kekerasan. Hanya Kerajaan Bonelah yang masih dapat mempertahankan diri dari ekspansi Gowa. Akan tetapi lambat laun Kerajaan Bone dalam keadaan terkepung menyebabkan kerajaan dan rakyat Bone dalam situasi darurat, namun akhirnya dua kerajaan yang berseteru berdamai.
Menurut catatan Lontara, bahwa pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe BongkangngE. Lamellong atau Kajao lalliddong diangkat menjadi penasihat dan Duta Keliling Kerajaan Bone. Ia dikenal sebagi seorang ahli pikir besar, negarawan, dan seorang diplomat ulung bagi negara dan bangsanya.
Dalam perjanjian Caleppa (Ulu Kanaya ri Caleppa) antara Kerajaan Bone dan Gowa tahun 1565. Lamellong atau Kajao Lalliddong memainkan peranan penting. Juga perjanjian persekutuan antara kerajaan Bone,Soppeng, dan Wajo yang disebut Perjajnjian LamumpatuE ri Timurung tahun 1582.
Ajaran-ajaran Kajao termuat dalam berbagai Lontara diantaranya LATOA seperti beberapa alinea yang dikutip berikut ini :
Dalam dialog Kajao dengan raja Bone (berkata Raja Bone : Apa tandanya apabila negara itu mulai menanjak kejayaannya? Jawab Kajao : Duwa tanranna namaraja tanae, yanaritu seuwani namalempu namacca Arung MangkauE, madduwanna tessisala-salae. Artinya : dua tandanya negara menjadi jaya, pertama raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan, kedua di dalam negeri tidak terjadi perselisihan.
Selain itu, ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan antara lain :
1. Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian terhadap dirinya sendiri;
2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak;
3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan, merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan Raja, sehingga Raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Tentang Pembatasan kekuasaan, dalam lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian Raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Lebih jauh Lamellong Sang Kajao menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman kepada “Pangngadereng” (Sistem Norma). Adapun sistem norma menurut konsep Lamellong Kajao Lalliddong sebagai berikut :
1. ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanenatau menetap dengan sukar untuk diubah.
b. Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
3. RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
4. WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone pada abad ke-17, maka keempat komponenpangngadereng (Ade, Bicara, rapang, dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni Sara (Syariah). Dengan demikian ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kominitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaa-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkahlaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan.
Nama dan jasanya sampai kini terpatri dalam hati sanubari masyarakat Bone khususnya, bahkan masyarakat bugis pada umumnya. Dia adalah peletak dasar konsep-konsep hukum (Pangngadereng) dan ketatanegaraan yang sampai kini msaih melekat pada sikap dan tingkah laku orang Bugis.
Saat-saat Terakhir dalam Hidupnya
Mengingat usia Lamellong Kajao Lalliddong pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584) sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang berpendapat, bahwa pada masa pemerintahan raja Bone ke-8 peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Pada masa inilah Lamellong yang digelar Kajao Lalliddong meninggal dunia.
Sumber-sumber lisan misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone menyebutkan bahwa di saat usia uzur, beliau memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke kampung kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada dalam wilayah wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan.
Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Rohaniawan” (Bissu) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu namapak sebagai layaknya seorang perempuan.
Di desa Kajao Lalliddong Kecamatan Barebbo kabupaten Bone ada dua versi tentang peristiwa meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya ditandai dengan peristiwa “Mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi sebelah selatan kampung Lamellong, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan. Dengan demikian orang-orang di kampung Lalliddong menyatakan “Mallajang” (menghilang).
Versi kedua menyatakan di saat usia Kajao lalliddong bertambah uzur, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Hanya tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.
Tentang makamnya yang terletak di Desa Lalliddong sekarang ini, menurut penduduk setempat pada mulanya hanyalah merupakan kuburan biasa yang ditandai sebuah batu sebagai nisan. Nanti pada suatu saat beberapa turunannya mengambil inisiatif dengan memugarnya, sehinnga sekaran nampak lebih unik dari kuburan lainnya.
Di sekitar makam Kajao Lalliddong terdapat beberapa kuburan tua. Menurut cerita penduduk di desa itu yang merasa turunannya, bahwa kuburan-kuburan itu adalah sanak keluarga Lamellong Kajao Lalliddong di masa hidupnya. Sedikitnya ada empat kuburan tua yang terdapat disekitar kuburan Kajao Lalliddong samapai sekarang tetap terjaga dan terpelihara.
Menurut sumber yang dapat dipercaya, bahwa saat-saat terakhir kehidupan Lamellong Kajao Lalliddong memperlihatkan hal-hal yang istimewa tentang ilmu kebatinan. Bahkan masyarakat banyak menganggap Kajao Lalliddong memilki berkah, sehinnga setiap saat dikunjungi oleh banyak orang.
Tongkat Lamellong
Di dusun Lamellong sekarang ini terdapat sebuah pohon besar yang berdiameter kira-kira 10 meter lebih hingga sekaran masih nampak berdiri dan tumbuh menjulang tinggi. Masyarakat meyakini pohon itu adalah tongkat Lamellong.
Konon pada suatu hari, Lamellong pernah mengambil pohon” Nyelle “ yang masih kecil untuk dijadikan tongkat. Namun karena tongkat itu tidak lagi digunakan maka dipancangkannya di atas tanah. Ternyata tongkat kayu itu kemudian tumbuh dengan suburnya, sampai sekarang pohon itu masih ada. Bahkan poho besar itu dijadikan penanda oleh penduduk setempat kapan mulainya musim tanam jagung. Menurut para petani di kampung Lalliddong apabila pohon nyelle itu sudah betul-betul rimbun maka tibalah saatnya menanam jagung. Selain itu pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang akan berlabuh di Barebbo, maka pohon itulah dijadikan sebagai pedoman. Menurut mereka, selagi masih jauh dari daratan sudah kelihatan, puncak pohon ini sayup-sayup melambai.
Benar atau tidak, yang jelas bahwa pohon nyelle tersebut yang diyakini masyarakat setempat sebagai tongkat La Mellong, masih dapat disaksikan keberadaannya hinnga saat ini. Oleh sebagian masyarakat setempat menganggap pohon besar itu “angker”
Best regards,
H.Asrul Hoesein (08119772131)
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar