Bagi manusia Bugis, menegakkan
hukum terhadap suatu pelanggaran merupakan kewajiban. Dalam konsep Siri' (malu,
harga diri) terungkap bahwa manusia Bugis yang berbuat semaunya dan tidak lagi
mempedulikan aturan-aturan adat (etika panngadereng atau peradaban) dianggap
sebagai manusia yang tidak mempunyai harga diri. Siri' atau harga diri
merupakan landasan bagi "pemimpin" untuk senantiasa menegakkan hukum
tanpa pilih kasih. Pemimpin yang tidak mampu menegakkan hukum dianggap pemimpin
lembek atau banci. Seseorang yang tidak mempunyai Siri' diumpamakan sebagai
bangkai yang berjalan.
Taro-taroi alemu siri'
Narekko de' siri'mu inrekko
siri'
(Perlengkapilah dirimu dengan
siri', Kalau tidak ada siri'-mu, pinjamlah siri'.)
Dalam dunia realitas, sering
dijumpai seorang manusia Bugis mengorbankan sanak keluarga yang paling
dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah
masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di Sidenreng Rappang pada abad XVI,
La Pagala Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan murid dari La
Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat
dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan
pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang
dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati
putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang
manusia, beliau menjawab:
"Ade'e temmakeana'
temmakke eppo"
"Hukum tidak mengenal anak
dan tidak mengenal cucu."
Pidana mati itu dilakukan
semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di
tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada
putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena
akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur
akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah "taro ada taro
gau" (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang
tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar
sebagai manusia "munafik" (munape), suatu gelar yang sangat dihindari
oleh
manusia Bugis.
Penegakan Hukum (Patettong Bicara)_dok.Asrul |
Adat yang telah merupakan jiwa
dan semangat manusia Bugis berlaku umum dalam kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Adat atau panngadereng tidak mengenal kedudukan, kelas sosial,
derajat kepangkatan, status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam menjatuhkan
sanksi atau hukuman adat terhadap manusia-manusia yang telah melakukan
pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu, apakah dia seorang raja, putra
mahkota, orang kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai hak istimewa dalam
kehidupan panngadereng masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite dan
masyarakat biasa diperlakukan sama dalam kehidupan masyarakat. Faktor inilah
yang telah menempatkan adat pada tempat yang teratas dalam diri manusia Bugis:
"Ade'temmakiana', temmakieppo" (adat tidak mengenal anak dan tidak
mengenal cucu).
Data tentang bagaimana adat
diperlakukan kepada semua kelompok masyarakat, berikut beberapa data historis
yang dicatat oleh Abidin sebagai berikut.
1. Pada waktu Lamanussa
Toakkarangeng menjadi Datu Soppeng, orang-orang Soppeng pernah hampir kelaparan
karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki sebab-sebab bencana kelaparan itu,
tetapi tak ada seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang-
wenang. Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut
suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri.
Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu, pikir
beliau. Beliau mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada dirinya
sendiri karena tidak ada orang pun yang berani menjatuhkan hukuman kepada diri
sang Datu. Hukuman yang dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah berupa denda,
yaitu beliau memotong kerbau dan dagingnya dibagikan kepada rakyat. Di hadapan
rakyatnya, beliau menyatakan diri bersalah karena telah memungut suatu barang
dari sawah seseorang dan menyimpannya sendiri. Beliau mengumumkan barang
tersebut di tengah pesta tudang sipulung (duduk bersama), tetapi tak seorang
pun yang mengaku telah kehilangan
sesuatu.
2. Ketika La Pabbelle' putra
Arung Matoa Wajo yang X La Pakoko Topabbele' memperkosa wanita di kampung
Totinco, ia dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri.
3. Raja Bone yang bernama La
Ica' dibunuh oleh orang-orang Bone karena kekejamannya.
4. Raja Bone yang bernama La
Ulio "Bote'" (Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena
dianggap berbuat sewenang-wenang kepada rakyat.
5. Ketika Toangkone Ranreng
Bettempola pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk
diserahkan kepada temannya Opu Rajeng dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana
dipecat dengan tidak hormat lalu diusir untuk seumur hidup.
6. La Temmasonge putra raja
Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana "ripaoppangi
tana" (diusir keluar Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung
Tiboyong, seorang anggota dewan pemangku adat Bone. Raja Luwu menyingkirkan
putrinya (yang terserang penyakit kulit yang menular) dari istina karena atas
permintaan rakyat.
0 komentar :
Posting Komentar