Urgensi Pemberdayaan Berbasis Masjid
Laporan: Karnita
"Negeri sejuta masjid", itulah sebutan bagi
Berdasarkan data Departemen Agama, pada 1998 terdapat 619.000 masjid,
langgar, dan mushola. Meningkat sekitar 140.000 dibandingkan dengan
1981. Penulis yakin, jumlah sebenarnya jauh masih lebih besar. Banyak
kantor, gedung pertemuan, sekolah, serta kampus, yang mengubah
sebagian bangunannya menjadi masjid, tak masuk daftar. Meski negara
kita masih dilanda krisis ekonomi, pembangunan "tempat bersujud" tak
pernah surut. Masjid semakin mudah dijumpai di mana saja.
Namun, bagaimana pemberdayaan masjid di Indonesia saat ini? Sudahkah
masjid diberdayakan tidak sekadar tempat bersujud dan ritual keagamaan
belaka? Era kini, masjid seyogianya dikelola secara profesional.
Tidak semata wadah penadah sedekah. Diversifikasi fungsinya sangat
potensial dilakukan. Mulai pusat ibadah sampai pengeloa maslahat umat.
Jujur saja, meski ada, jumlahnya masih sangat sedikit. Padahal, masjid
seyogianya bisa menjadi lembaga dakwah plus sarana pengembangan
ekonomi yang menggiurkan. Namun tetap, fungsi utamanya sebagai tempat
beribadah jangan sampai terganggu.
Masjid bukan sekadar tempat sujud. Sebagaimana makna harfiahnya.
Ismail Raji Al-Faruqi, pakar kebudayaan Islam asal Palestina,
mencatat, sejak zaman Nabi Muhammad, 14 abad silam, masjid punya
ragam. Tidak hanya tempat ritual murni (ibadah mahdah): seperti sholat
dan iktikaf. Kompleks masjid juga bisa menjadi pusat pemerintahan,
markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.
AdalahKhalifah kedua pada zaman khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab
menggunakan Masjid Nabawi sebagai tempat ibadah dan pusat
pemerintahan. Di bangunan yang tiangnya dari kayu kurma itulah ia
mengatur strategi perluasan wilayah, sekaligus mendengarkan gejolak
masyarakat.
Pakar tafsir terkemuka Indonesia, M. Quraish Shihab, merangkum
minimal ada sepuluh fungsi Masjid Nabawi pada periode awal sejarah
Islam. Kesepuluh Fungsi tersebut adalah sebagai berikut: (1) ibadah;
(2) pendidikan; (3) santunan sosial; (4) menawan tahanan; (5)
pengobatan para korban perang; (6) aula dan tempat menerima tamu; (7)
perdamaian dan pengadilan sengketa; (8) pusat penerangan dan pembelaan
Islam; (9) latihan militer dan persiapan peralatannya; dan (10)
komunikasi dan konsultasi soal ekonomi-sosial-budaya.
Di tengah hentakan problem kehidupan masyarakat kita yang semakin
berat, banyaknya pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, sulitnya
memperoleh modal usaha, tingginya angka putus ekolah, dan lain-lain,
masjid dipandang sangat strategis untuk dapat diberdayakan dalam
menghadapi masalah-masalah tersebut. Itulah sebabnya, ikhtiar yang
dilakukan Pos Pemberdayaan Keluarga berbasis masyarakat dan masjid
yang dikembangkan Yayasan Damandiri merupakan suatu usaha mulia yang
patut direspons dan ditindaklanjuti.
Pemberdayaan masjid dengan melibatkan langsung masyarakat sekitarnya
akan lebih terasa manfaatnya. Ide-ide dari masyarakat sekitar masjid
diharapkan mampu diterapkan dalam pemberdayaan masjid. Untuk itu,
sangatlah tepat dilakukan sosialisasi dan langkah nyata dari
pemberdayaan masjid, mulai memberikan motivasi, pendidikan pelatihan,
dan kerja sama kemitraan.
Dewasa ini banyak masjid yang sudah dikelola secara profesional.
Masyarakat pun sudah merasakan langsung manfaatnya. Masjid-masjid yang
telah dikelola profesional antara lain, Masjid Al Azhar ini memiliki
yang dikelola Yayasan Pesantren Islam Al Azhar. Masjid Al Azhar telah
telah diberdayakan dengan mendirikan sekolah-sekolah TK, SD, SMA, dan
Universitas Al Azhar yang dipercaya oleh masyarakat karena
kualitasnya. Selain mengembangkan pendidikan, mesjid ini juga
membangun ruang-ruang usaha di sekelilingnya, seperti ruang pertemuan,
warung telekomunikasi, hingga biro perjalanan. Dari berbagai usahanya
ini, pengurus Masjid Al Azhar bisa mencukupi kebutuhan rutinnya,
termasuk menggaji pegawainya. Pemberdayaan mesjid lainnya antara lain
Masjid Istiqomah di Bandung dan Masjid Salman ITB.
Harus kita akui, bahwa pengembangan masjid secara multifungsi
secara produktif baru menjadi gerakan sporadis. Belum serempak. Masih
banyak masjid di areal strategis yang masih dikelola secara
konvensional atau semiprofesional. Pengelolaan masjid di Indonesia
pada umumnya paling jauh baru level semiprofesional. Penggalian dana
semiprofesional biasanya baru sebatas penyewaan aula untuk resepsi
perkawinan dan pembentukan lembaga pendidikan. Masih banyak peluang
bisnis yang belum dikembangkan, padahal sangat potensial untuk
menciptakan mesin uang.
Orientasi produktif pengelolaan wakaf masjid telah dipayungi
Undang-undang Wakaf. Isi pasal 43 ayat 2, berbunyi, "pengelolaan dan
pengembangan karta benda wakaf dilakukan secara produktif".
Penjelasannya, "Dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal,
produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan,
perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen,
rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana
pendidikan, sarana kesehatan, dan usaha lain yang tidak bertentangan
dengan syariah.
Problem saat ini, alih-alih masjid mampu diberdayakan secara
maksimal, areal masjid yang strategis diincar pengembang untuk
dijadikan pusat bisnis, hotel, dan perkantoran, dan sejenisnya,
masjid justru di-ruislag (tukar guling) dan digeser ke lokasi lain.
Padahal, sentra bisnis boleh saja dibangun di atas tanah wakaf dengan
tetap mempertahankan keberdaan masjid itu sendiri. Bahkan, kegiiatan
bisnis bisa dirancang agar ikut memakmurkan masjid.
Problem laten yang dihadapi pengelola masjid saat ini adalah tidak
memadainya anggaran rutin untuk operasional masjid. Padahal masjid
memerlukan dana untuk membayar lisrik, telepon, air PAM, perawatan
perlengkapan, gaji marbut (petugas masjid), khotib, dan guru mengaji,
hingga biaya peringatan hari besar Islam.
Pendanaan masjid selama ini hanya berasal dari kotak amal—sesekali
menggelar jaring amal di pinggir jalan, proposal ke para donatur
insidental, dana areal parkir, penitipan sandal/sepatu. Pendanaan
konvensional itu hanya memenuhi 40% kebutuhan. Akibatnya, upaya
pengembangan bangunan masjid dan memakmurkannya kurang optimal.
Pengurus tak mampu membantu anak yatim dan kaum fakir miskin di
kampung kumuh sekitar masjid. Selain itu, pendanaan yang mengandalkan
infaq dan sedekah seperti jaring amal di pinggir jalan memberikan
kesan bahwa seolah-olah pengelola masjid dan umat islam tidak berdaya.
Kita mafhum, bahwa "zaman beralih, musim bertukar". Pemberdayaan
masjid pun tidak bisa tidak dapat dilakukan sesuatu dengan
karakteristik zaman dan tuntutan masyarakat sekitarnya. dan
kemandirian pengelolaan masjid. Prinsip ajaran Islam, telah
menganjurkan dan meletakkan kemandirian pada posisi terhormat. Hadist
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa "tangan di atas lebih baik dari
tangan di bawah". Jelas, ini menekankan pada kemandirian pengelolaan
atau pemberdayaan masjid.
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) yang telah berkiprah
puluhan tahun dalam membantu pembangunan masjid di seluruh nusantara
bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dengan Posdayanya, dan para
profesional aktivis masjid dalam pemberdayaan masjid secara
profesional. Dilaksanakannya Posdaya Berbasis Masjid yang dibangun
YAMP sebagai upaya melakukan transformasi sosial melalui pengembangan
budaya gotong-royong masyarakat mendapat sambutan yang sangat baik
dari jamaah dan masyarakat sekitarnya.
Dengan cara demikian, masjid akan semakin hidup dan dibutuhkan
masyarakat sekitarnya, selain dengan kepentingan hubungan dengan
Tuhan-Nya (hablum minallah), juga dibutuhkan karena perannya dalam
penguatan pemberdayaan ekonomi-sosial masyarakatnya (hablum minallah).
Wallahu a'lam.
Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia Indonesia di SMAN 13Bandung
Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat
0 komentar :
Posting Komentar