Zakat Mensejahterakan Masyarakat (3)
KETIKA anda membaca artikel ini, saya dan anda tengah melaksanakan Ramadhan. Bagi kebanyakan kita, Ramadhan adalah satu-satunya bulan istimewa dalam kalender Islam. Kita bisa tidak peduli dengan awal Muharram, awal Rajab, akhir Rabiul Akhir, tapi kita tidak bisa tidak peduli dengan Ramadhan. Bahkan Syawal menjadi istimewa karena kaitan dengan Ramadhan.
Tanpa dikomando, tanpa razia aparat atau tanpa inspeksi atasan, beberapa pola kehidupan harian berubah serempak dan dilakukan secara sadar (meskipun terpaksa). Mata yang biasa akrab dengan angka 06:00, tiba-tiba akrab dengan 04:00. Sholat subuh jamaah yang biasa hanya kita dengar, mulai bisa kita rasakan. Alquran cetakan eksklusif yang kita sangka hilang, akhirnya kita temukan dipojok lemari penuh debu.
Beberapa dari kita mengalami hal lainnya. Entah bagaimana, dompet kita menjadi lebih tebal dan lembar-lembar rupiah terus menerus keluar menuju kontak infaq, ke telapak tangan peminta-minta dan anehnya kita tak pernah merasa masygul. Tetangga akhirnya kembali menjadi tetangga dan kawan bertegur sapa diakhir tarawih, setelah berbulan-bulan tak ketemu.
Meski lemas, kita menjadi lebih santun, menjadi lebih mampu menahan emosi. Tubuh kita tetap kuat tanpa camilan, pekerjaan tetap selesai tanpa kopi dipagi hari dan otak tetap bisa berfikir tanpa rokok dibibir kita. Waktu maghrib tiba-tiba menjadi sangat bermakna. Berkumpul bersama istri, suami dan anak-anak diwaktu itu menjadi hiburan tersendiri.
Begitu banyak perubahan yang sedang kita lakukan. Kita belum membahas mengenai keinginan kembali mendalami ajaran Islam, kenikmatan berdialog dengan Allah SWT yang baru kita temukan kembali, kepedulian pada ibadah suami, istri dan anak-anak, kepedulian pada lingkungan dan orang-orang tak mampu dan begitu banyak lagi. Sadar atau tidak, kita merasakan perubahan kearah kebaikan.
Tetapi mengapa kita tiba-tiba berubah? Apa yang menyebabkan kita memulai perubahan itu? Apa yang membuat kita tetap berpuasa, meski punya kesempatan membatalkan tanpa orang lain tahu?
Jawabannya ada di pikiran kita, paradigma kita. Tertanam kuat di pikiran kita bahwa Ramadhan berasosiasi dengan puasa, tarawih, menahan emosi, memperbanyak membaca Alquran, bersedekah dan membayar zakat. Kegiatan positif itu tidak berasosiasi dengan bulan-bulan Islam lainnya.
Maka ketika otak kita berfikir Ramadhan sudah datang, maka ia merangsang sisi kejiwaan kita dan memerintahkan tubuh untuk merubah ritme, pola kehidupan. Ketika tubuh melawan, maka pikiran kita memperkuat sisi kejiwaan kita untuk bertahan dan melawan 'pemberontakan' tersebut.
Sebagai contoh, adalah sulit bagi penikmat kopi dan rokok untuk beraktivitas tanpa dua hal tersebut pada 12 September (30 Syaban). Tapi pada tanggal 13 September (1 Ramadhan), mereka tetap mampu melakukan aktivitas yang sama tanpa keduanya disiang hari.
Mengapa? Pada 13 September pikiran kita berasosiasi dengan Ramadhan, tapi tidak pada 12 September. Akibatnya pada hari-hari dan aktivitas yang sama, tubuh bereaksi sangat berbeda. Inilah yang disebut Kekuatan Perubahan Paradigma. Perubahan cara pandang membuat perubahan perilaku.
Karena kita semua mengalami hal yang sama, maka kita semua sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan, dan itu dapat dimulai dengan langkah tanpa biaya: merubah cara pandang. Kita semua mampu, tapi tidak semua mau. Langkah 'balas dendam' dengan makan sebanyak-banyaknya, minum kopi dan merokok setelah buka puasa adalah bukti bahwa kita memang seringkali tidak mau berubah menjadi lebih baik, apapun alasannya.
Maka seandainya setelah Ramadhan kita mampu memerintahkan otak untuk tetap berfikir bahwa kita masih berada di bulan Ramadhan, maka kita akan berfikir dan bertindak layaknya bulan Ramadhan.
Ramadhan memberikan kita satu pelajaran berharga, yang kita ambil dari diri sendiri BUKAN orang lain, yang kita lakukan sendiri prosesnya, yang berlaku unik untuk masing-masing kita namun memberikan makna yang sama : sebuah perubahan dimulai oleh pikiran, cara pandang kita sendiri. Kita membuktikan kita MAMPU melakukannya, maka nilai kita ada pada: apakah kita MAU melakukannya [tamat-berbagai-sumber;asrulhoeseinbrotherblog_tagWawasanIslam]
0 komentar :
Posting Komentar