Hari Minggu ini (3 Juli 2011) yang lalu, Thailand kembali akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih 500 orang anggota Parlemen. Seperti halnya setiap Pemilu dimana pun, selalu saja terdapat persaingan yang sangat ketat diantara masing-masing kandidat peserta pemilu. Kampanye dan upaya-upaya untuk meyakinkan para pemilih terus dilakukan dengan berbagai cara hingga saat-saat akhir sebelum pemilih masuk ke bilik suara.
Dan di era teknologi informasi dewasa ini, salah satu cara yang digunakan untuk meyakinkan calon pemilih adalah dengan menggunakan internet dan sosial media. Hal ini sudah terbukti dari pengalaman di beberapa negara, seperti Iran dan sejumlah negara Afrika Utara seperti Mesir dan Libya, dimana internet dan sosial media berperan penting dalam menggerakkan massa.
Khawatir kejadian di negara lain berulang di Thailand, Komisi Pemilu Thailand pun kemudian mengeluarkan larangan penggunaan sosial media seperti Facebook dan Twitter, satu hari menjelang pemilihan (Sabtu sore) hingga sehari setelah pemilihan (Senin pagi). Komisi Pemilu Thailand khawatir penggunaan sosial media, yang memungkinkan penggunaan secara anonymous dan real time, dapat memicu terjadinya krisis seperti yang pernah dialami tahun 2010. Saat itu para pendukung National United Front of Democracy Against Dictatorship atau yang dikenal dengan kelompok kaos merah menuntut Parta Demokrat yang sedang berkuasa untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu dekat.
Sanksi bagi para pelanggar larangan adalah hukuman penjara hingga 6 bulan dan denda US$ 330. Untuk itu sebanyak 100 orang polisi ditugaskan untuk mengawasi penggunaan sosial media selama kurun waktu tersebut. Dengan jumlah polisi terbatas, Sekjen Komisi Pemilu Thailand, Suthiphon Thaveechaiyagam, mengakui bahwa sulit bagi Komisi untuk mengawasi sekitar 70 juta penduduk Thailand, dimana 20 juta diantaranya menggunakan internet dan sekitar 8 juta diantaranya adalah pengguna Facebook.
Sebagai salah satu negara di ASEAN yang memiliki infrastruktur telekomunikasi yang baik, penggunaan perangkat sosial media oleh masyarakat dan partai-partai politik Thailand bukanlah hal yang baru. Partai Demokrat yang saat ini sedang berkuasa misalnya, sejak tahun lalu telah menggunakan Facebook untuk kampanye menjaring calon anggota parlemen dan dukungan massa dengan tema “Future Thai Leaders”. Melalui Fabeook ini Partai Demokrat mendapatkan nama-nama calon anggota parlemen yang diajukan ke pemilihan untuk memperebutkan jatah 375 kursi.
Sementara itu Pheu Thai Party, sebuah partai politik baru yang didukung mantan PM Thaksin Sinawatra, menggunakan sosial media untuk lebih memperkenalkan partainya ke masyarakat dan berkomunikasi antar calon maupun dengan masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sebagai sebuah partai politik baru, nama partainya belum banyak dikenal oleh masyarakat.
Pemilu tahun 2011 ini merupakan pemilihan yang kedua sejak pemilu 2006 yang dimenangkan Thai Rak Thai Party pimpinan Thaksin Shinawatra. Namun Thaksin gagal melanjutkan kepemimpinannya sebagai Perdana Menteri akibat kudeta tidak berdarah yang dilakukan oleh militer, bahkan Thai Rak Thai Party dibubarkan. Pada tahun 2007 Ketua People Power Party, Samak Sundaravej, yang partainya mendapat dukungan suara mayoritas di parlemen ditunjuk sebagai PM Thailand yang baru. Akibat gejolak politik, jabatan PM yang dipegang Samak pun tidak berlangsung lama dan segera digantikan Ketua Partai Demokrat Abhisit Vejjajiva.
Sebanyak 3.832 orang calon dari 42 partai politik saling bersaing untuk mendapatkan kursi di Parlemen melalui 2 cara pemilihan, yaitu 375 calon langsung dipilih oleh 42 juta konstituen yang memiliki hak suara dan 175 calon dipilih berdasarkan proporsi suara yang didapat masing-masing partai secara nasional. Selanjutnya partai politik yang berhasil meraih suara mayoritas di parlemen membentuk pemerintahan baru, dimana ketua partai yang bersangkutan ditunjuk sebagai PM.
Akhirnya, ketika anda membaca postingan ini, masyarakat Thailand dapat dipastikan sedang berada di bilik suara untuk memilih wakil-wakilnya. Kita tunggu apakah larangan penggunaan sosial media benar-benar dipatuhi oleh masyarakat Thailand dan tentu saja para peserta pemilu. Bisakah masyarakat Thailand bersabar untuk tidak menggunakan sosial media untuk kepentingan kampanye? Kita tunggu juga apakah polisi Thailand dan Komisi Pemilihan dapat menemukan terjadinya pelanggaan dan menegakkan aturan yang telah dibuatnya. Apapun hasilnya, harapannya adalah kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran terbaik dari pelaksanaan pemilu di Thailand. (Ref: Sobat Blogger ASEAN Arisheruutomo)
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar