Asrul dan Diana Saat Berkunjung Ke Korsel (Dok-Asrul) |
Mengucapkan
kata “desa membangun” sangat mudah disampaikan oleh siapapun. Karena hampir
tidak ada kesulitan baik gramatikal maupun konseptual. Terlebih sudah banyak
penerbitan buku maupun dalam bentuk literatur lainnya, yang membantu dalam
menjelaskan keadaan desa di Indonesia. Di ranah ini sebenarnya adalah merupakan
kabar positif ditengah masih karut marutnya pengaturan desa, walau sudah
diterbitkannya undang-undang no 6 tentang desa tahun 2014.
“Saemaul Undong” Desa Membangun Korsel (Dok-Asrul) |
Litbang
kompas, mengadakan jajak pendapat dan mengatakan pada 13 Januari lalu yang
berkesimpulan bahwa persoalan mendasar warga desa adalah bagaimana membangun
sarana fisik seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas
pendidikan. Namun terdapat paradoks dalam pelaksanaan pembangunan karena pada
kenyataannya pembangunan bias perkotaan. Sehingga terjadi misleading antara
harapan pembangunan desa dan kenyataan kota.
Saemaul Undong adalah kampanye pembangunan mental dan revolusi mental. Gerakan ini tak didorong dengan pidato, tetapi dengan tindakan dan praktik. Filosofinya, lakukan saja!
Berbagai
strategi sebenarnya sudah sangat gencar dilaksanakan di desa. Mulai dari skema
industrialisasi hingga kepada pengutan basis sosial terlebih dahulu. Melihat
kenyataan bahwa penopang pangan nasional berasal dari desa, skema
industrialisasi desa dikhawatirkan akan menggerus ketersediaan lahan pangan
yang dikonversi ke industri, juga akan merusak tatanan sosial di desa termasuk
kesukarelaan warga desa dalam bergotong royong.
Diskusi
mengenai pilihan dan kajian dampak negatif dari strategi – strategi diatas
sangat penting untuk dilanjutkan terlebih untuk mengurusi sekitar 73 ribu desa
yang teregister di kementerian republik Indonesia.
Salah satu
negeri yang bisa kita perbandingkan sebagai kajian dan diskusi adalah negeri
ginseng Korea Selatan dimana sering kita kenal hanya produk elektronik seperti
Samsung, LG. Juga kita mengenal produk mobil seperti Hyundai, dan KIA. Serta
masih banyak lagi terutama ada ekspor kultur ”cara hidup” dari sana, yakni
Saemaul Undong. Gerakan masyarakat baru ini menjadi ”K-wave” yang dibawa ke
pedesaan Afrika, India, Tiongkok, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Indonesia
juga tercatat mendapat manfaat darinya.
Berikut ini
tulisan laporan singkat tentang Saemaul Undong sebagaimana yang ditulis Mas Roy
wartawan Jawa Post.
Adalah
Saemaul Undong membuktikan, bantuan hanyalah pemicu. Kementerian Administrasi
Publik dan Keamanan Korea membanggakan Saemaul Undong ini dalam Forum dan Award
Pelayanan Publik PBB di Seoul, 22–26 Juni lalu. Yakni, Saemaul dilandasi
diligently (ketelatenan), self help (menolong diri sendiri), serta cooperation
(kerja sama) dari warga desa, plus dipancing bantuan pemerintah. Korea
menularkan Saemaul karena ketika membangun sangat banyak diutangi negara lain.
Kini Korea
berhasil menjadi negara maju dan negara donor. Korea masuk ”20–50 Club” atau
negara berpenduduk lebih dari 50 juta jiwa dan pendapatan per kapita lebih dari
USD 20.000 (pendapatannya USD 33.000). Korea bangkit dari kemiskinan absolut
dengan pendapatan USD 79 pada 1960. Indonesia mulai membangun 1967 dengan
pendapatan USD 55. Kini pendapatan rakyat Indonesia USD 4.000. Gerakan Saemaul
ini tercetus ketika Presiden Park Chung-hee (ayah Presiden Park Geun-hye)
blusukan ke bekas lokasi banjir pada 1969. Dia terkejut karena dengan bantuan
sedikit warga berhasil memulihkan desanya. Bahkan, membangun jalan lebih lebar,
membuat tembok dan atap dengan bahan lebih baik.
Sang
presiden terilhami: kemajuan bisa dipercepat kalau semangat warga desa untuk
maju disokong pemerintah. Saat itu Korea memang mulai bangkit. Satu dasawarsa
industrialisasi, kesenjangan mulai menganga. Urbanisasi merebak. Desa
tertinggal. Atas ilham tadi, Presiden Park mulai menyusun sendiri kerangka
konsep Saemaul Undong. Dalam edisi Inggris, konsep asli yang ditulis 26 April
1972 ini hanya tujuh halaman. Bandingkan dengan berbagai dokumen kenegaraan
kita yang tebal-tebal dan bombastis. Presiden Park mengkritik konsep akademik
yang canggih, tapi tidak praktis. Saemaul Undong disebutnya ”upaya untuk hidup
lebih baik”. Yakni, rakyat terentas dari kemiskinan, pendapatan meningkat,
tetangga bersahabat dan saling menolong, serta desa menjadi permai.
Lebih dalam,
Presiden Park menyebut ’’Saemaul Undong adalah kampanye pembangunan mental dan
revolusi mental.” Gerakan ini tak didorong dengan pidato, tetapi dengan
tindakan dan praktik. Filosofinya, lakukan saja! Menariknya, konsep ini pun
disusun setelah Saemaul Undong berjalan dua tahun. Bertindak dulu, baru
’’diteorikan”. Pada 1970, pemerintah mengirimkan 335 sak semen masing-masing ke
33.267 desa. Proyek dasar diprioritaskan, seperti memperlebar jalan desa,
memperbaiki atap rumah, membuat pagar, sumur umum, serta memelihara sungai dan
jembatan kecil. Sangat mendasar karena kondisi desa sangat miskin. Mengejutkan,
dengan partisipasi warga menyediakan tenaga kerja dan tanah, sebanyak 16.600
desa mencapai harapan lebih dari yang ditargetkan.
Gerakan
terus berlanjut. Lalu, desa kebanyakan (predominant village) diberi 500 sak
semen dan satu ton besi beton. Pemerintah juga membantu warga desa dengan
tenaga mereka sendiri untuk mengganti atap ilalang dan tembok rumah mereka
dengan genting dan tembok bersemen. Jalan desa dipaving. Jembatan dibangun.
Intinya, pemerintah siap memberikan ”kail”, asal warga mau mengupayakan tenaga
penggeraknya. Revolusi mental pun terjadi. Warga merasa ”aku bisa
melakukannya”, lalu ”jika saya berbuat, apa pun bisa tercapai”. Bagi tetangga
yang ragu, warga lain mendorong ”ayo, coba saja”. Hasilnya nyata. Ada 6 ribu
desa mandiri membangun tanpa bantuan pemerintah.
Atas dasar
praktik nyata itu, dirumuskan tiga langkah strategi Saemaul. Pertama,
pemerintah memicu kemampuan menolong diri sendiri dengan spirit ketelatenan,
kemandirian, dan kerja sama. Kedua, secara demokratis warga memilih proyek yang
bisa menguntungkan desa, bisa dipraktikkan, dan partisipasi sukarela. Ketiga,
konsisten menerapkan prinsip mengutamakan dukungan ke desa yang kebanyakan
untuk membangkitkan kemampuan menolong diri sendiri dan semangat kompetisi
warga desa. Bergulirlah perekonomian di desa.
Mereka mulai
mengembangkan pabrik pengolahan, greenhouse untuk mengatasi musim dingin,
mengadopsi alat pertanian bermesin, beternak, dan budi daya ikan dengan
intensif, membangun perpustakaan, dan fasilitas lain. Indikator paling nyata
keberhasilan Saemaul adalah pendapatan setahun keluarga petani di desa mencapai
pendapatan empat tahun buruh di kota pada 1974. Kota maju, desa tak
ketinggalan. Kini Korea melembagakan Saemaul Undong ini ke dalam kajian
akademik di universitas. Para relawan dan pemuka desa dari berbagai negara
dilatih untuk menumbuhkan semangat berkorban untuk kepentingan bersama. Ya,
mirip gotong royong. Bedanya, gotong royong kita terasa ”jadul” dan kehilangan
spirit.
Sumber: Klik di Sini.
0 komentar :
Posting Komentar