Asrul di Korea Selatan (Dok-Asrul) |
Berdasarkan
pada sejarahnya Korea Selatan merupakan Negara miskin pada tahun-tahun awal
berdirinya. Bentang alam Korea sendiri didominasi oleh pegunungan, belum adanya
sumber daya dan modal.
Pada saat itu Negara ini hanya bergantung pada
sektor pertanian. Kemudian sejak pemerintahan dipimpin oleh presiden Park Chung
Hee yang diperoleh berdasarkan kudeta, pada saat itu ada harapan untuk
memeperbaiki nasib perekonomian. Dasar-dasar dari pembangunan korea berasal
dengan berdirinya perusahaan-perusahaan. Dibawah kepemimpinan Park Chung Hee,
kepemimpinan bersifat dictator namun efisien, dan tidak adanya partai oposisi.
Pada saat itu pula kemudian digalakkan kewirausahaan.
Korea
Selatan memiliki ekonomi pasar dan menempat urutan kelima belas berdasarkan
PDB. Sebagai salah satu dari empat Macan Asia Timur. Korea Selatan telah
mencapai rekor ekspor impor yang memukau, nilai ekspornya merupakan terbesar
kedelapan di dunia. Sementara, nilai impornya terbesar kesebelas. Kesuksesan
ekonomi Korea Selatan dicapai pada akhir 1980-an ketika PDB berkembang dari
rata – rata 8% per tahun (US$2,7 miliar) pada tahun 1962 menjadi US$230 miliar
pada 1989. Jumlah ini kira – kira 20 kali lipat dari Korea Utara dan sama
dengan ekonomi – ekonomi menengah di Uni Eropa. Kemajuan ekonomi ini dikenal
dengan nama Keajaiban di Sungai Han.
Krisis
Finansial Asia 1997 membuka kelemahan dari model pengembangan Korea Selatan,
termasuk rasio utang/persamaan yang besar, pinjaman luar yang besar, dan sektor
finansial yang tidak disiplin. Pertumbuhan jatuh sekitar 6,6% pada 1998,
kemudian pulih dengan cepat ke 10,8% pada 1999 dan 9,2% pada 2000. Pertumbuhan
kembali jatuh ke 3,3% pada 2001 karena perlambatan ekonomi dunia, ekspor yang
menurun, dan persepsi bahwa pembaharuan finansial dan perusahaan yang
dibutuhkan tidak bertumbuh. Dipimpin oleh industri dan konstruksi, ekonomi
Korea Selatan mulai bangkit pada 2002 dengan pertumbuhan sebesar 5,8%. Jumlah
penduduk dibawah garis kemiskinan sebesar 15% pada tahun 2003. Indeks gini
menunjukkan perbaikan, dari angka 35.8 menjadi 31.3 pada tahun 2007. Nilai
investasinya sebesar 29.3% dari PDB dan menempati urutan ke dua puluh satu.
Pada 2005,
di samping merupakan pemimpin dalam akses Internet kecepatan tinggi,
semikonduktor memori, monitor layar-datar dan telepon genggam, Korea Selatan
berada dalam peringkat pertama dalam pembuatan kapal, ketiga dalam produksi
ban, keempat dalam serat sintetis, kelima dalam otomotif dan keenam dalam baja.
Negara ini juga menempati peringkat ke tiga puluh enam dalam hal tingkat
pengangguran, kesembilan belas dalam Indeks Kemudahan Berbisnis[34] dan ketiga
puluh satu dari 179 negara dalam Indeks Kebebasan Ekonomi berdasarkan data
tahun 2010.
Ekspor
bergerak dalam bidang semi konduktor, peralatan komunikasi nirkabel, kendaraan
bermotor, computer, baja, kapal dan petrokimia dengan mitra ekspor utama RRT
21.5%, Amerika Serikat 10.9%, Jepang 6.6% dan Hong Kong 4.6%. Korea Selatan
mengimpor plastik, elektronik dan peralatannya, minyak, baja dan bahan kimia
organik dari RRT 17.7%, Jepang 14%, Amerika Serikat 8.9%, Arab Saudi 7.8%, Uni
Emirat Arab 4.4% dan Australia 4.1%. jumlah tenaga kerja berada di peringkat
kedua puluh lima dunia. Ekonomi Korea Selatan dipimpin oleh konglomerat besar
yang dikenal dengan sebutan chaebol. Beberapa chaebol yang terbesar antara lain
: Samsung Electronics, POSCO, Hyundai Motor Company, KB Financial Group, Korea
Electric Company, Samsung Life Insurance, Shinhan Financial Group, LG
Electronics, Hyundai dan LG Chem.
Tahap
Pertumbuhan Dan Sistem Ketergantungan Korea Selatan
Tahap
Ketergantungan
Korea
Selatan adalah sebuah Negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan
Semenanjung Korea. Disebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di
mana keduanya bersatu sebagai suatu Negara hingga tahun 1948. Korea Selatan
kini telah digolongkan menjadi Negara yang berpenghasilan menengah. Pperkembangan
perekonomian Korea Selatan membuktikan kebenaran tahapan ppembangunan rostow
yakni masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas (lepas landas), menuju
kedewasaan dan era konsumsi tinggi (Budiman, 2000).
Dalam
beberapa tahun terakhir pangsa investasi dalam pendapatan nasional Korea
Selatan adalah yang tertinggi didunia yang merupakan bagian penting dari
penjelasan mengenai pesatnya perkembangan ekonomi Korea Selatan. Bahkan Korea
Selatan sama sekali tidak disebut dalam buku Stages of Economic Growth
Rostow. pada tahun 1960 ketika buku tersebut diterbitkan kondisi Negara ini
sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut “siap landas”.
Dari
perkembanngan perekonomian yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa
Negara ini telah melewati tahapan-tahapn akhir dari tepri Rostow. Menurut
rumusan tahapan pembangunan Rostow, Korea Selatan kini telah berada pada tahap
menejelang kematangan, bukan lagi sekedar pada kondisi tinggal landas, apalagi
tekhnologi Korea Selatan saat ini sudah sangat diperhitungkan sehingga tidak
lama lagi maka Negara ini akan sampai pada tahap Negara yang berekonomi matang
atau berperekonomian matang.
Korea
Selatan dengan pertumbuhan pembangunan yang sangat pesat ini dengan produk
ekspor dan impornya yang sangat tinggi dan mampu bersaing dengan Negara-negara
maju lainnya serta produk teknologi yang sangat diperhitungkan diseluruh dunia
menegaskan bahwa Negara ini sudah berada pada tahap kematangan.
Ketergantungan
Korea Selatan
Menurut
Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan dimana
kehidupan ekonomi Negara-negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan
ekspansi dari kehidupan ekonomi Negara-negara lain, dimana Negara-negara
tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja (Salingkat, 2010). Model
ketergantungan, Negara berkembang aktif dalam kegiatan hubungan ekonomi
internasional pada akhirnya hanya akan menjadi tergantung dan terus menerus
dirugikan (P.Todaro, 1999). Korea Selatan memang kian tergantung pada
perekonomian internasional namun terdapat pperbedaan dimana Negara ini tidak
dirugikan dengan keadaan tersebut.
Korea
Selatan memang tergantung pada perekonomian internasional bahkan pada saat
masih menjadi koloni Jepang sampai tahun 1945, setelah lepas dari sistem koloni
Jepang Korea Selatan jatuh ketangan Amerika Serikat yang kemudian tetap
mempertahankan kehadirannya hingga saat ini untuk alasan-alasan pertahanan dan
membendung komunisme dari Korea Utara (C.Smith, 1999).
Ketergantungan
Korea Selatan terhadap Amerika Serikat sama sekali tidak merugikan Korea
Selatan bahkan menguntungkan, karena begitu banyak bantuan Amerika Serikat
terhadap Korea Selatan sejak tahun 1950an dimulai pada saat itu Korea Selatan
sangat terbantu dengan Amerika terutama dalam menjalin hubungan dagang dengan Negara-negara
maju (Amerika Serikat dan Jepang).
Hal ini
memberikan peluang besar bagi Korea Selatan dalam hal ekspor produk yang
dihasilkan negaranya dengan mudah diterima Negara-negara yang sangat
berpengaruh pada stabilitas perekonomian, dan hal inilah yang merupakan
komponen terpenting dalam keberhasilan pembangunan Korea Selatan.
Dinamika
Sosial, Ekonomi, Dan Politik Korea Selatan
Korea
Selatan merupakan salah satu negara republik dengan ekonomi tersukses di Asia.
Korea Selatan terletak di bagian selatan Semenanjung Korea yang berbatasan
langsung dengan Korea Utara, Laut Jepang, dan Laut Kuning. Bagian timur Korea
Selatan merupakan pegunungan, sementara bagian barat dan selatan ada banyak
pelabuhan di daratan dan lepas pantai. Korea Selatan memiliki penduduk yang
homogeny, kecuali ribuan orang China yang tinggal disana dengan jumlah penduduk
49.039.986 jiwa. Berdasarkan survey tahun 2010, penduduk Korea Selatan menganut
agama Kristen 31,6%, Buddha 24,2%, dan lainnya 44,2% (Central Intelligence Agency,
t.t.). Korea tradisional mendapatkan pengaruh budaya dari China, termasuk
karakter tulisan bahasa Korea dan mengadopsi neo-konfusianisme sebagai filosofi
dalam pemerintahan (Asia Society, t.t.).
Selama lebih
dari empat dekade terakhir, Korea Selatan muncul sebagai negara dengan
pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan ekonomi industri dengan teknologi
yang tinggi. Pada 1960an, GDP per kapita pada level yang sama dengan
negara-negara di Afrika dan Asia. Namun dewasa ini Korea Selatan mampu
memajukan ekonominya dan menjadi negara dengan perekonomian tersukses ke-12 di
dunia. Kemajuan perekonomian Korea Selatan disebabkan oleh faktor sistem
pemerintah dan bisnis, termasuk kredit langsung dan restriksi impor. Pemerintah
hanya meningkatkan impor terhadap bahan mentah dan teknologi daripada
barang-barang konsumsi, serta menggalakkan tabungan dan investasi daripada
konsumsi. Saat terjadi krisis finansial yang parah di Asia pada tahun
1997-1998, Korea Selatan mengadopsi beberapa bentuk reformasi ekonomi, termasuk
menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing dan impor dari negara lain.
Setelah itu Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 4% per tahun
antara tahun 2004 hingga 2007, bahkan pada 2010 Korea Selatan berhasil mencapai
pertumbuhan ekonomi hingga 10%. Namun seiring dengan pertubuhan ekonomi, ada
permasalahan yang tengah dihadapi Korea Selatan, seperti pertumbuhan penduduk
yang cepat, pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel, serta ketergantungan
terhadap ekspor yang notabene menyumbang sekitar setengah dari total GDP
(Central Intelligence Agency, t.t.). Selain faktor kebijakan dan strategi
pemerintah, transformasi yang terjadi di Korea Selatan juga dipengaruhi
oleh karakteristik, seperti implementasi model ekonomi berbasis perdagangan bebas,
perkembangan struktur ekonomi berbasis jaringan bisnis (chaebols), dan cepatnya
penciptaan kapasitas teknologi. Selain itu, adanya pengaruh budaya baik di
pemerintah maupun masyarakat yang memiliki peran penting dalam kemajuan Korea
Selatan, yakni Konfusianisme.
Selama
berabad-abad, Konfusianisme telah menjadi pedoman rakyat Korea Selatan yang
penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep Konfusianisme adalah
harmoni sosial dan ajaran-ajaran moral diserap dalam kehidupan rakyat Korea
Selatan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak budaya Korea
seperti yang terlihat saat ini. Konfusianisme telah mengakar dalam tingkah
laku, kebiasaan, hingga pola pikir rakyat Korea Selatan. Ide-ide fundamental
tentang moralitas dan hubungan manusia seringkali diasosiasikan dengan konsep
konfusianisme. Di Korea, orang-orang tua sangat dihargai, bahkan perbedaan usia
diakui. Meskipun memiliki catatan buruk tentang korupsi dan mismanajemen yang
sangat parah dalam pemerintah Korea Selatan selama beberapa dekade, namun Korea
Selatan mampu memperbaiki dan bangkit kembali (Asia-Pasific Connection, 2008).
Konfusianisme
menjadi faktor penting dalam kemajuan perekonomian di Korea Selatan. Di Korea
Selatan tejadi asimilasi ajaran Protestanisme dan nilai kapitalisme dengan
budaya Konfusianisme yang tegas dan berorientasi pada tujuan, dimana dalam
proses asimilasi Konfusianisme sebagai faktor positif yang mengajarkan
hierarki, masyarakat harmonis dan berorientasi komunitas. Masuknya
Protestanisme di Korea Selatan pada 1884 telah memodifikasi nilai-nilai
Konfusianisme tradisional dengan pendidikan modern, dan visi masyarakat Barat
dan nilai-nilai Protestan. Tu Wei-ming (1984, dalam Ramirez 2010) mengatakan
bahwa modifikasi ini dilakukan untuk membentuk neo-konfusianisme yang
berotientasi pada tujuan, gagasan hierarki yang menempatkan para intelektual
dan pegawai publik pada puncak hierarki, kemudian di bawahnya ada petani,
artisan, dan terakhir pedagang.
Selain itu,
Weber (1989, dalam Ramirez 2010) mengatakan bahwa prinsip-prinsip Protestan
mengajarkan individualisme, bekerja untuk mengejar kekayaan, standar moral, dan
kewajiban religius untuk tiap-tiap individu. Kontras dengan Protestanisme,
prinsip-prinsip Konfusianisme menawarkan panduan moral untuk kebaikan masyarakat,
agar bisa mencapai masyarakat yang harmonis secara moral, kedisiplinan,
edukasi, ikatan keluarga, dan harmoni sosial yang kuat. Pembauran inilah yang
menciptakan neo-konfusianisme yang membawa perkembangan dan kemajuan pesat di
Korea Selatan dan membuat Korea Selatan menjadi sangat Konfusian daripada
negara-negara Asia Timur lainnya. Misalnya yang terjadi di Jepang, dimana dalam
etos kerja dan sistem pekerjaan di Jepang sama sekali tidak terpengaruh oleh
nilai Konfusianisme, melainkan sistem pekerjaan lah yang menggambarkan
Konfusianisme. Kooperasi, konsensus, dan solidaritas sosial juga menjadikan
dinamika organisasi di perusahaan Korea Selatan berbeda dengan Jepang, dimana
kolektivisme di Jepang tidak sekuat di Korea Selatan, hal ini pula yang membedakan
dengan individualisme dan kompetisi di Barat. Selain itu, menurut Kim (1997,
dalam Ramirez 2010), pembelajaran Konfusian di Korea Selatan jauh lebih merata
daripada di negara-negara Asia Timur lainnya.
Konfusianisme
memiliki enam arts of governance: pembetulan, Chung Yung atau Doctrine of the
Mean, memerintah dengan kebajikan, instruksi publik, mengembangkan kekayaan
nasional, dan pertumbangan opini publik. Pembetulan menjadi panduan moral bagi
masyarakat yang berisi norma-norma yang menentukan benar dan salah, atau yang
disebut dengan standar. Standar inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan
kolektif sebagai cara untuk kontrol sosial (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010).
Berdasarkan ajaran Konfusianisme, faktor yang paling penting dalam konsolidasi
negara adalah kesatuan politik untuk memproteksi negara dari ancaman eksternal
dan untuk memerintah melalui cara yang efisien dan efektif. Konfusianisme
menganggap negara terkonsolidasi ketika negara mencapai sentralisasi otoritas
politik yang dipahami sebagai “kekuatan negara” (Hsu 1975, dalam Ramirez 2010).
Sehingga jelas bahwa Korea Selatan sebagai contoh dimana kantor pusat
pemerintahan mengawasi semua kantor pemerintahan yang berurusan dengan
masalah-masalah nasional. Konfusianisme Korea Selatan juga tidak mengenal
pemisahan kekuasaan yang menjadi hal esensial dari nilai kapitalis Barat,
melainkan struktur pemerintah Konfusian berdasarkan hierarkhi dimana
fungsionaris ditempatkan pada otoritas yang lebih tinggi. Bangsa konfusian juga
mendukung pemerintahan rakyat untuk rakyat, namun tidak oleh rakyat.
Konfusianisme mengenal adanya pola-pola hirarkis dan birokratis, dimana
pemerintah lebih kuat daripada masyarakat sipil. Hal inilah yang membedakan
Konfusianisme dengan kapitalisme. Bagaimanapun Korea Selatan mengasimilasikan
nilai kapitalisme yang telihat dari pola perekonomiannya yang berbasis
perdagangan bebas.
Selain maju
dalam bidang ekonomi, Korea Selatan juga fokus memajukan negara sebagai negara
demokrasi. Selama era Park, terjadi transisi demokratis pada 1987 karena
keseimbangan kekuatan antara pemegang bisnis dan politisi membuat korupsi
terjadi dan tidak terkendali, sehingga transisi demokrasi mengubah hubungan
dasar bisnis dan negara, yang sebelumnya bisnis memiliki pengaruh yang lebih
besar dalam keputusan kebijakan. Terlalu fokus pada pilihan kebijakan
individual, seperti industrialisasi berorientasi ekspor atau peraturan
institusional yang spesifik (birokrasi) sebagai isu yang dipisahkan juga tidak
relevan. Baik institusi maupun kebijakan adalah variabel penghalang, dimana
hubungan pemerintah-bisnis mempengaruhi berbagai isu. Institusi tidak hanya
sekedar organisasi negara, melainkan ditempatkan sebagai pengambil kebijakan
perdagangan dan finansial (Kang 2002, 178).
Periode
transisi Korea Selatan juga tidak terlepaskan dari terbunuhnya Park yang
memerintah negara selama 18 tahun. Peristiwa itu seringkali disebut dengan
“Seoul Spring” yang membawa pada keterbukaan politik dan atmosfer politik yang
lebih bebas dan pemerintah yang lebih mewakili rakyat (Seth 2011, 412).
Kemudian pada tahun 1987 ada pemilihan presiden secara bebas, dimana persaingan
para calon presiden, Kim Young Sam dan Kim Dae Jung, membagi oposisi, yakni
dari militer dan pekerja konservatif serta rakyat kelas menengah. Namun, peristiwa
ini menjadi turning point dalam sejarah Korea Selatan. Terjadi pergeseran
politik dari rezim otoritarian menjadi sistem politik yang lebih terbuka.
Pengalaman tahun 1960-1961 ketika demokrasi diasosiasikan dengan kekacauan
sosial telah hilang, kemudian muncul keinginan untuk mengakhiri rezim yang
didominasi oleh militer selama hampir tiga dekade (Seth 2011, 442).
Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi demokratisasi di Korea Selatan. Pertama, adanya
perubahan sosial dan kultural masyarakat Korea Selatan, termasuk evolusi
demokrasi yakni penyebaran idealisme kesetaraan dan meningkatnya mobilitas
sosial. Kedua, kontribusi dan pengaruh Amerika Serikat. Budaya Amerika mulai
memasuki Korea Selatan, seperti budaya pop – film, musik, dan fashion –
termasuk dalam bidang pendidikan dan ide-ide tentang sosial dan politik.
Buku-buku cetak Korea mengajarkan tentang prinsip-prinsip tentang hak asasi dan
demokrasi yang menempatkan Amerika Serikat sebagai teladan. Ribuan pelajar
Korea yang belajar di Amerika Serikat juga kembali dengan impresi terhadap
nilai-nilai dan budaya Amerika. Amerika Serikat juga mensponsori
program-program pelatihan untuk birokrat, membiayai publikasi seperti
Sasanggye, jurnal yang berpengaruh terhadap pemikiran sosial dan politik di
Korea Selatan. Amerika Serikat juga memiliki peranan besar dalam pengembangan
pendidikan di Korea Selatan dengan memberi pelatihan kepada Kementrian
Pendidikan, memasukkan tentang nilai-nilai politik Amerika Serikat dalam
program kurikulum dan pelatihan guru. Ketiga, berkembangnya agama Kristen di
Korea Selatan yang mengajarkan pluralisme sosial dan menyediakan basis
institusi untuk oposisi politik. Misi Kristen merupakan hal penting dalam
penyebaran ide-ide baru dan orang-orang Kristen aktif dalam gerakan nasionalis
pra-1945.
Dari
penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa kemajuan Korea Selatan tidak terlepas
dari nilai-nilai Konfusianisme yang dianutnya. Korea Selatan juga menjadi
negara yang paling konfusian daripada negara-negara Asia timur lainnya karena
adanya asimilasi ajaran Protestan dan nilai-nilai kapitalisme yang membawa
kemajuan Korea Selatan. Selain kemajuan ekonomi, Korea Selatan juga sukses
dalam memajukan demokrasi di negaranya. Pada tahun 1987 terjadi “Seoul Spring”,
yakni transisi demokrasi dari pemerintahan yang otoriter dan didominasi militer
menjadi pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Hal ini membuktikan
bahwa perbaikan dan progres yang signifikan Korea Selatan di bidang ekonomi,
sosial, dan politik membawa pada kemajuan Korea Selatan seperti yang terlihat
dewasa ini.
0 komentar :
Posting Komentar