Perintah Pertama Baca [dok_Asrul] |
Dalam Al-Quran, kitab suci ummat Islam, yaitu Surat Iqro’ atau surat Al ‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat
tersebut adalah surat Makkiyyah. Di awal-awal surat berisi perintah
membaca. Yang dengan membaca dapat diketahui perintah dan larangan
Allah. Jadi manusia bukanlah dicipta begitu saja di dunia, namun ia juga
diperintah dan dilarang. Itulah urgensi membaca, maka bacalah, bacalah!
Allah Ta’ala berfirman,
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah
Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam
(pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).
Bacalah! Bacalah!
Surat ini adalah yang pertama kali turun pada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu. Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- enggan. Beliau berkata,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan“.
Yang dimaksud menciptakan di sini adalah menciptakan makhluk secara
umum. Tetapi yang dimaksudkan secara khusus di sini adalah manusia.
Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana disebut dalam ayat
selanjutnya,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”Manusia bukan hanya dicipta, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk menjelaskan perintah dan larangan ini diutuslah Rasul dan diturunkanlah Al Kitab (Al Qur’an). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.
Bentuk Kasih Sayang Allah: Diajarkan Ilmu
Setelah itu, Allah memerintahkan,
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
“Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.” Disebutkan bahwa
Allah memiliki sifat pemurah yang luas dan karunianya yang besar pada
makhluk-Nya. Di antara bentuk karunia Allah pada manusia -kata Syaikh As
Sa’di rahimahullah– adalah Dia mengajarkan ilmu pada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Manusia dikeluarkan dari perut ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu.” (Taisiri Al Karimir Rahman, hal. 930).
Allah mengajarkan pada manusia Al Qur’an dan mengajarkan padanya hikmah, yaitu ilmu. Allah mengajarkannya dengan qolam (pena) yang bisa membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan pada mereka. Alhamdulillah, atas berbagai nikmat ini yang sulit dibalas dan disyukuri.
Mengapa Wahyu Pertama Dimulai dengan Perintah: Iqra’ (Bacalah!)?
“Bacalah!” merupakan perintah, seruan, dan tugas ilahiah yang
ditujukan kepada makhluk termulia-Nya, Nabi Muhammad saw. Perintah itu
kemudian ditujukan kepada seluruh manusia. Alam terhampar di hadapan
kita untuk kita perhatikan dan kita pahami makna serta isinya. Alam juga
merupakan bukti atas tatanan yang dibuat Sang Pencipta dan atas
kekuasaan, keagungan, dan keindahan-Nya. Alam semesta tidak lain adalah
salah satu manifestasi Lauh Mahfuz. Allah Swt. telah menjadikan segala
sesuatu di alam ini, baik makhluk hidup maupun benda mati—selain
manusia—sebagai pena yang menuliskan berbagai manifestasi dan hikmah di
dalamnya.
Setiap entitas, baik makhluk hidup maupun benda mati, tak ubahnya
sebuah buku. Karena itu, perintah tidak turun dengan redaksi “Lihatlah
dan perhatikanlah!”, tetapi dengan redaksi: “Bacalah!”. Itu
karena buku memang untuk dibaca. Alam raya ini laksana perpustakaan
Ilahi. Itulah mengapa, ketika setiap entitas—selain manusia—ditugaskan
untuk “menulis”, manusia secara khusus ditugaskan pula, di samping
menulis, untuk “membaca”.
Ilmu tak lain adalah pengetahuan tentang berbagai manifestasi
sistem-ilahiah dan keterkaitan, susunan, serta keteraturan segala
sesuatu di alam ini. Sistem yang amat cermat dan seimbang ini tidak
mungkin terjadi secara kebetulan semata. Pasti ada pembuat dan peletak
sistem itu, dan begitu jelas [keniscayaan] keberadaannya.
Sebelum sebuah sistem dibuat, konsepnya disempurnakan terlebih
dahulu. Seorang arsitek bangunan, misalnya, tentu sudah memiliki konsep
sebelum ia menggambar desainnya di atas kertas. Apabila di satu sisi
kita melihat konstruksi fisik dan pemikiran manusia serta bagaimana
konstruksi tersebut memengaruhi konsepnya tentang alam, maka kita bisa
mengatakan bahwa jika Lauh Mahfuz merupakan sistem yang komprehensif
tentang alam, Al-Quran adalah sistem yang tercatat dan tertulis.
Al-Quran adalah cermin Lauh Mahfuz. Karena itu, manusia harus membaca
dan berusaha memahami setiap kali membaca. Bisa jadi ia keliru dalam
memahami serta melewati pengalaman salah-dan-benar ketika ia berusaha
dengan inti ilmu untuk sampai kepada tingkat yakin dan berpegang teguh.
Melihat, menyaksikan, memahami, serta mengukir apa yang telah
dipahami dan diterima di dalam hati dan perasaan, masing-masing adalah
sesuatu yang berbeda. Demikian pula, sesudah semua itu, menerapkan apa
yang telah diterima dan menyerukannya kepada pihak lain juga merupakan
sesuatu yang berbeda. Tetap saja, semua aktivitas berbeda-beda yang
berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan ini selalu ada. Itu karena
ada hukum-hukum yang cermat dan harmonis di alam ini yang dibuat oleh
sang Peletaknya. Di antara hukum-hukum itu:
1. Perjalanan dari satu menjadi banyak;
2. Adanya persamaan, perbedaan, dan pertentangan di antara yang banyak ini;
3. Adanya keseimbangan aktual di antara berbagai hal yang bertentangan;
4. Perwakilan, yakni adanya perwakilan dalam tugas/fungsi;
5. Adanya proses belajar dan lupa lalu belajar lagi;
6. Pengerahan upaya dan usaha;
7. Analisis dan konstruksi; serta
8. Ilham dan penyingkapan.
2. Adanya persamaan, perbedaan, dan pertentangan di antara yang banyak ini;
3. Adanya keseimbangan aktual di antara berbagai hal yang bertentangan;
4. Perwakilan, yakni adanya perwakilan dalam tugas/fungsi;
5. Adanya proses belajar dan lupa lalu belajar lagi;
6. Pengerahan upaya dan usaha;
7. Analisis dan konstruksi; serta
8. Ilham dan penyingkapan.
Semua hukum di atas terwujud dalam diri manusia. Karena itu, adalah
wajar dan alami apabila terdapat persamaan, perbedaan, dan perselisihan
di antara manusia dalam hal pemikiran, pandangan, keyakinan, perangai,
dan tindakan. Semua perbedaan dan pertentangan alamiah itu tidaklah
kosong dan hampa, namun merupakan perbedaan yang hidup dan aktual dalam
koridor keseimbangan. Karena itu, adalah wajar dan alami pula apabila
gerakan yang hanya bertujuan iman semata terhalang dari ilmu dan,
sebaliknya, gerakan yang hanya bertujuan ilmu semata terhalang dari
iman.
Itulah mengapa terdapat ilmu dan kebodohan, pengakuan dan
pengingkaran, kemuliaan dan kehinaan, keadilan dan kezaliman, cinta dan
benci, damai dan perang, kehidupan yang diliputi kemalasan, kelemahan,
serta ketidakberdayaan dan kehidupan yang melihat bahwa manusia bisa
melakukan segala sesuatu seorang diri. Itulah mengapa kita melihat
kehidupan diwarnai ketergesaan, kerusakan, kegilaan, dan syahwat.
Kehidupan kadangkala membangun dan kadangkala merobohkan.
Itulah pula mengapa ada kemungkinan manusia untuk lupa bahkan
terhadap apa yang telah diajarkan oleh sang manusia istimewa yang diutus
sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia harus mengingatnya kembali dan
harus mempelajarinya lagi. Demikian pula ketika ia melakukan analisis
dan pemetaan. Dalam proses ini akan muncul pemahaman baru, pandangan
baru, serta ilham dan ketampakan baru.
Semua itu telah terjadi dan pasti terjadi serta akan terus terjadi.
Sepuluh perintah diwahyukan kepada Nabi Musa a.s. untuk menata kehidupan
sosial. Nabi Isa a.s. diberi sifat santun, kasih sayang, cinta, dan
sabar dalam berinteraksi dengan manusia. Lebih dari itu, Nabi Muhammad
saw. diberi ilmu, kehendak, kebijaksanaan, keberimbangan, kemampuan
menganalisis dan menyusun, serta kalam dan penjelasan yang komprehensif.
Oleh sebab itu, tugas seorang muslim dari satu segi lebih banyak dan
lebih sulit daripada orang lain, namun pada saat yang sama, lebih mulia
dan lebih luhur. Itu karena fungsi seorang muslim harus memenuhi sepuluh
perintah Ilahi dan prinsip-prinsip bermasyarakat, seperti sifat cinta,
toleran, memberi maaf, santun, kasih sayang, dan sabar, serta
mengharuskan adanya ilmu, kehendak, kebijaksanaan, ketawadukan, dan
penataan hati. Dengan kata lain, fungsi seorang muslim menuntut dan
mengharuskan derajat yang tinggi.
Karena itu, berbagai penemuan yang terwujud dalam bidang fisika,
kimia, dan biologi serta kemajuan yang dicapai oleh para ilmuwan dan
penemu layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan, sebab
penemuan-penemuan itu telah menyingkap banyak kebenaran yang tercatat
dalam Al-Quran, kitab yang tertulis dalam Lauh Mahfuz, di seputar
sejumlah prinsip beragam hubungan yang terdapat di berbagai penjuru
alam. Namun, pada waktu yang sama, umat manusia pun harus dilindungi dan
dijaga agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan pemikiran, seperti
pengingkaran adanya Pencipta alam, penolakan adanya ilham, petunjuk dan
wahyu Ilahi, atau sikap menuhankan manusia dan menjadikan kehendak
manusia sebagai penguasa mutlak.
Apabila berbagai pendekatan baru tidak diberikan kepada ilmu-ilmu
fisika, kimia, dan biologi terkait dengan hukum-hukum yang tersingkap
dan didasarkan pada eksperimen laboratorium, maka akan terdapat bahaya
besar di hadapan masyarakat berisi manusia yang—karena tertipu oleh
berbagai penemuan itu—mulai congkak dan berusaha melepaskan diri dari
semua ikatan kemanusiaannya, bertambah berani, serta kurang bertanggung
jawab. Karena itu, manusia semacam ini—yang telah menjadi seperti hewan
percobaan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan—harus menyadari bahwa
dirinya adalah manusia dan bahwa masyarakat bukanlah hewan percobaan
untuk dijadikan objek dalam berbagai eksperimen.
Sangat penting membersihkan sains yang ada saat ini dari berbagai
kebekuan dan kesiasiaan. Ini akan membantu untuk memahami persoalan
berbagai hal yang menjadi perhatian ilmu pengetahuan, di samping juga
mengantarkan manusia untuk bisa melakukan apa yang terdapat dalam
kehendak dan pikirannya sehingga bisa menyaksikan berbagai hal yang
didapatkan oleh perasaan dan kalbunya secara batin. Kalau ini terjadi,
sang cendekiawan akan berbalik menjadi lisan yang fasih dan kalbu yang
bisa membaca alam yang terhampar luas di hadapannya sebagai buku yang
terbuka, baris demi baris. Mustahil kita mengabaikan kesamaan alam
dengan buku, apalagi dalam urusan-urusan penciptaan, karena “pena (qalam)” adalah hal yang pertama kali diciptakan dan, karena itulah, perintah pertama dalam Al-Quran adalah “Bacalah!”
Namun, persoalan ini tidaklah mudah seperti tampak pada mulanya.
Sebab, meskipun ada pandangan yang mengatakan bahwa kekuatan pengindraan
[lahir] dan perasaan [batin] tergantung pada kekuatan indra lahir dan
indra batin, adanya aksiden apa pun pada salah satu indra berdampak
negatif kepada indra lainnya.
Karena itu, kita mengetahui bagaimana tuli, buta, dan bisu disebutkan
secara bersamaan dalam ayat-ayat Al-Quran, sebab meskipun mata dapat
membaca hal-hal yang diciptakan (alawâmir al-takwîniyyah), pendengaran merupakan indra yang dipenuhi banyak rahasia sebagai tempat pertama yang menerima hal-hal yang diturunkan (al-awâmir al-tanzîliyyah,
seperti Al-Quran), sementara lisan adalah alat yang menerjemahkan
penyaksian dan pendengaran. Oleh karena itu, barang siapa tidak bisa
menyaksikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di alam dan di dirinya, ia pun
tidak bisa mendengar apa yang sampai ke telinganya. Kalaupun mendengar,
ia tidak bisa memahaminya. Demikian pulalah kalbu yang tidak tersambung
dengan hal-hal ilahiah (al-awâmir al-ilâhiyaah, antara lain
perintah Tuhan), ia tidak memahami apa yang didengar telinganya dan ia
melihat kesibukan diri dengan agama yang fitri ini hanya sebagai sesuatu
yang percuma.
Jadi, perintah “Bacalah!” adalah simbol tauhid, keterpaduan,
dan penyempurnaan. Ia juga merupakan simbol penyaksian dan penilaian, di
samping ekspresi lisan terhadap pengetahuan batin ini. Ia mengandung
banyak petunjuk bagi kita dengan melihat keberadaannya sebagai perintah
pertama untuk kita.
Kami telah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar karena memang
demikian penting, dan mungkin kami telah keluar dari konteks
pembicaraan dan menyimpang kepada masalah lain. Kami berharap, dengan
menelaah, memikirkan, dan menganalisis masalah ini kembali, akan
dimengerti mengapa kami berpanjang lebar dan sedikit keluar dari konteks
permasalahan.
Sumber: Beberapa referensi al:
Fetullah Gullen dan Rumaysho
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar