Buku RPJMN 2015-2019 (Sumber: musrenbangnas.bappenas.go.id) |
Banyak kesalahan bahasa yang nampak dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pertanda ketidakcermatan dan ketergesaan dalam bekerja?
Ekonom senior dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Fadhil Hasan menilai ada sejumlah fondasi ekonomi yang bergerak secara positif pada 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Salah satunya, keberanian pemerintah mengambil keputusan yang tidak populis. Misalnya, pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna mencari ruang fiskal untuk mendanai pembangunan.
Namun, “Itu kebijakan jangka pendek,” kata Fadhil Hasan, Sabtu, 31 Januari 2015. Dalam jangka panjang, belum nampak jelas apa saja yang bakal dilakukan pemerintah. Belum nampak perencanaan terpadu antara kementerian yang satu dengan kementerian lain.
Pada 8 Januari 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Mestinya, RPJMN sudah bisa menjelaskan arah pembangunan pemerintah lima tahun ke depan karena rencana itu merupakan pengejahwantahan visi-misi Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2014. Tapi, nyatanya dari sisi bahasa saja, RPJM ini sudah serba tidak jelas.
Ketidakjelasan–kalau tak disebut kerumitan–penggunaan bahasa bahkan terasa sejak RPJMN ala Jokowi-JK disusun. Naskah rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Ketiga (2015-2019) terdiri dari tiga jilid buku. Jilid satu, berjudul Agenda Pembangunan Nasional, tebalnya 289 halaman. Jilid dua, judulnya Agenda Pembangunan Bidang setebal 938 halaman. Dan, jilid tiga, setebal 601 halaman, berjudul Agenda Pembangunan Wilayah.
Apa yang terkandung dalam naskah cetak biru Pemerintahan Republik Indonesia periode 2014-2019 yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla? Itulah pertanyaan yang langsung muncul setelah melihat buku yang totalnya setebal 1.828 halaman.
Pada halaman awal, tertulis bahwa pembuat naskah rancangan awal RPJMN ini adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau biasa disingkat Bappenas yang kini dipimpin Andrinof Chaniago—sebelumnya lebih dikenal sebagai pengamat politik. Tidak ada keterangan yang cukup mengenai asal-usul buku ini kecuali informasi bahwa rancangan RPJMN ini adalah hasil Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus) pada 25 November 2014 di Jakarta.
Buku I memuat daftar isi sebanyak tujuh bab. Setelah itu terdapat daftar tabel yang terdiri dari 2 tabel bab 3, 7 tabel bab 4, 1tabel bab 5 dan 8 tabel bab 6. Selanjutnya terdapat daftar gambar yang terdiri dari 2 gambar bab2, 6 gambar bab 3, 2 gambar bab 4, 1 gambar bab 5, dan 6 gambar bab 7.
Baru dibaca sampai sini, langsung nampak bolongnya. Terdapat beberapa kesalahan penulisan nomor tabel. Dalam gambar bab 7 terdapat dua kali nomor yang sama untuk enam gambar yang berbeda. Nomor itu adalah 7.1, 7.2, 7.3. Kesalahan itu terbilang fatal dan memperlihatkan ketidakcermatan dan ketergesaan dalam penyusunannya.
Masuk ke Bab Pendahuluan, kesan tergesa-gesa makin nampak. Kalimat pembuka menyatakan, ” … Pembangunan nasional adalah upaya seluruh komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Sepertinya tidak ada yang salah dalam kalimat ini kecuali dua kata pertama yang semestinya dengan penulisan huruf besar semua. Pembangunan Nasional dan bukan Pembangunan nasional, jika memang dua kata itu dibikin konsisten.
Kalimat berikutnya, ” … Jalan perubahan adalah jalan ideologis yang bersumber pada Proklamasi, Pancasila 1 Juni 1945, dan Pembukaan UUD 1945.” Kalimat kedua ini seolah berdiri sendiri dan tak menyambung dengan logika kalimat pertama.
Bab 1.1 Sub Judul “Meneguhkan Kembali Jalan Ideologis” cukup menarik perhatian. Kata “jalan ideologis” seolah-olah membangkitkan kenangan jaman revolusi kemerdekaan. Kalimat pertama dan kedua paragraf itu langsung meneguhkan pentingnya ideologi. Pada kalimat ketiga muncul kata “Ideologi itu adalah Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti,” sebuah kalimat yang sepertinya ingin meneguhkan warna kepartaian pengusung pemerintahan baru Presiden Joko Widodo yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Di sini muncul pertanyaan. Apa pentingnya menegaskan Pancasila 1 Juni 1945? Apakah ada Pancasila selain itu?
Selanjutnya, penjabaran tentang Trisakti yang menyangkut kedaulatan politik, berdikari dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan. Dalam penjabaran berdikari dalam ekonomi terdapat kalimat ” … menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di dalam pengelolaan keuangan negara …” sebuah penegasan yang cukup penting.
Berlanjut pada kalimat “…mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat….” Kalimat ini cukup berani karena memicu penafsiran lain bahwa ada ekonomi bentuk lain yang selama dipraktikkan di Indonesia, dan ekonomi itu bukan pilihan rakyat.
Kalimat lain yang cukup memantik perhatian adalah pada penjabaran tentang kepribadian dalam kebudayaan yaitu “… yang berdasar pada realitas kebhinekaan dan kemaritiman ….” Melalui kalimat ini, pemerintah agaknya ingin menegaskan adanya warna baru dibanding pemerintah sebelumnya.
Peneliti kebijakan publik dari Indonesia Berdikari, Waskito Giri Sasongko, mengatakan, tiga halaman pertama RPJMN Jokowi-JK secara substansial memang menonjolkan warna baru. Hanya, terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi.
Kalimat seperti “Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat dan berdaulat dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat melalui penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara…” jelas tumpang tindih. Tidak jelas mana subjek, predikat, dan keterangannya.
Waskito menduga, perumus RPJMN Jokowi-JK tak punya tim redaksi yang mampu menerjemahkan visi-misi pemerintah ke dalam kalimat sesuai bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Padahal naskah itu adalah dokumen negara,” katanya.
Menurut Waskito, banyak kata “bombastis” yang sebaiknya diganti dengan padanan kata yang lebih membumi tanpa mengurangi maknanya. Misalnya, kata “keterisolasian” cukup diganti dengan “keterpencilan”.
Baru pada tiga halaman saja, sudah nampak berbagai kesalahan penggunaan bahasa. Tapi, kesalahan seperti ini mungkin tak dianggap penting oleh penyusun RPJMN. Terpenting adalah kerja, kerja, dan kerja! Padahal, bahasa mencerminkan kepribadian. Dalam komunikasi, bahasa merupakan elemen penting dalam penyampaian pesan. Berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa memudahkan penerima pesan untuk memahami maksud pemberi pesan.
Pendek kata, ketidakjelasan dalam berbahasa akan menyulitkan publik untuk mencerna arah pembangunan lima tahun ke depan. Aparat pemerintah pun boleh jadi kebingungan mengikuti kemauan pemimpinnya. Ya, bagaimana mau bekerja dengan benar, jika panduan kerjanya saja banyak salah? *
by: Varia.IdBest regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar