Ilustrasi Moratorium Piala Adipura [dok_Asrul] |
Program Adipura ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak
1986 kemudian terhenti pada tahun 1998. Pada tahun 2002 Program Adipura ini
kembali dicanangkan oleh pemerintah dan berlangsung sampai sekarang. Meraih
Piala Adipura sudah menjadi semacam harapan sekaligus kewajiban setiap bupati
dan walikota, dan kesan keberhasilan seorang kepala pemerintahan di nilai
apakah kepala daerah tersebut dapat memboyong piala yang bergengsi tersebut
dari Istana Presiden menuju kantor pemerintahan setempat. Paradigma ini pula
harus dirubah oleh pemerintah kabupaten dan kota, jangan hanya fokus untuk
mendapatkan hadiahnya, tapi melupakan substansi dan makna diadakannya penilaian
ini, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya, artinya ada pengelolaan secara
berkelanjutan (sustainable).
Sementara fakta yang terjadi, setelah usai penilaian, berahir pula
aktifitas. Semua daerah di Indonesia bernafsu untuk mendapat penghargaan kota
terbersih dengan Piala Adipura. Sebagian ada yang benar-benar layak
mendapatkannya. Namun sebagian besar lagi menggunakan cara-cara yang tidak
pantas dan diduga terjadi permainan dengan Tim Penilai Pusat dan Pemda. Suap,
adalah praktik ilegal pertama yang ditemukan dalam penilaian Adipura. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2011 menemukan adanya aliran dana tak
wajar dari Pemkot Bekasi yang dipimpin oleh Mochtar Muhammad ke panitia
Adipura. Sekedar mengingatkan saat disidang, Mochtar didakwa dengan empat
perkara sekaligus. Yakni, suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, serta suap kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penyalahgunaan anggaran makan-minum. Total
kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 5,5 miliar.
Rebranding Adipura Sekedar Formalitas
Wakil Presiden, Jusuf Kalla pada saat penyerahan penghargaan Adipura di Siak
pada 22 Juli 2016, yang menyampaikan agar adanya aturan dan kriteria yang lebih
ketat dalam pelaksanaan program Adipura ke depan. Selanjutnya Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2016, mereformulasi penghargaan
Adipura dengan strategi Rebranding Adipura. Salah satu proses penilaian yang
harus dilalui oleh para bupati/walikota nominator penerima Adipura adalah
presentasi dan wawancara di depan Dewan Pertimbangan Adipura, praktisi
pengelolaan sampah dan bidang pemasaran, pejabat KLHK, akademisi perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta rekan-rekan media massa. Rebranding
yang dimaksud KLHK ini pula tidak punya arti apa-apa dalam penilaian, semua
sebatas seremoni belaka. Tetap bertolak belakang dengan fakta lapangan.
Rebranding Strategy Adipura. Sebagai dasar hukum pelaksanaan program Adipura
disusun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
P.53/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura.
Dalam Permen LHK ini, program Adipura diharapkan mampu mendorong penyelesaian
berbagai isu lingkungan hidup yaitu Pengelolaan Sampah dan Ruang Terbuka Hijau,
Pemanfaatan Ekonomi dari Pengelolaan Sampah dan RTH, Pengendalian Pencemaran
Air, Pengendalian Pencemaran Udara, Pengendalian Dampak Perubahan Iklim,
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan,
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Penerapan Tata Kelola
Pemerintahan yang baik.
Melalui rebranding Adipura, tentu KLHK berupaya untuk melakukan sistematika
ulang Penghargaan Adipura agar mudah dipahami oleh masyarakat. Terlebih isu
lingkungan semakin kompleks sehingga harus diiringi dengan peningkatan tata
pemerintahan yang berorientasi pada lingkungan. Melalui penyusunan sistematika
ulang, dengan fokus tertentu, misalnya orientasi sosial dan pemberdayaan
masyarakat. Semuanya tetap formalitas belaka, Pelaksanaan Adipura tetap sebagai
kegiatan insidentil saja. Fakta, umumnya pemda belum merevisi perda sampah
sesuai regulasi, malah ada daerah yang ikut Adipura tapi tidak memiliki perda
persampahan. Intinya Adipura ini rapi diluar tapi hancur di dalam, terlalu
banyak pengaturan yang terjadi untuk mendapatkan piala yang dianggap bergensi
oleh Bupati/Walikota ini.
Regulasi Sampah Tidak Berjalan Sesuai Amanatnya
Moratorium Penilaian Adipura Yes or No ?! Sebuah aktifitas pemerintah dan
pemeritah daerah yang hanya menggerus dana rakyat (APBD dan APBN). Begitupun
dalam penilaian tidaklah sportif sesuai fakta dilapangan. Dalam sorotan
opini ini, kembali mengingatkan lagi bahwa perlunya Presiden Jokowi turun
tangan untuk "stop atau moratorium event adipura".
Adipura harus tetap di moratorium oleh Presiden Joko Widodo, banyak
penyimpangan khususnya regulasi sampah tidak dijalankan sebagaimana mestinya,
juga tidak nampak sinergitas lintas kementerian dalam menjalankan regulasi
persampahan yaitu UU.No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan
Pemerintah No.81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga. Termasuk beberapa keputusan menteri yang menjadi
pedoman dasar pelaksanaan pengelolaan sampah tidak ada keserasian gerak
kementerian termasuk tidak ada sinergitas SKPD di daerah dalam menjalankan
UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan PP. No.81 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, serta
beberpa peraturan menteri diantaranya; Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13
Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduse, Reuse dan Recycle melalu Bank
Sampah, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2013 Tentang
Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah
Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (Permendagri ini sangat
perlu dihidupkan kembali setelah Mendagri mencabut permen ini parmen ini pada
bulan juni yang lalu). Pastinya perlu “perubahan” khususnya moral dan pemahaman
tentang pengelolaan sampah kepada pemerintah daerah serta tim penilai, baik
dari pusat sampai ke daerah kabupaten dan kota di Indonesia.
Tidak Ada Sinergitas Antar Kementerian/Lembaga/SKPD
Banyak kabupaten dan kota di Indonesia telah melakukan pengelolaan sampah
“katanya terpadu”. Menurut riset yang penulis lakukan di beberapa kabupaten dan
kota di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dll. Itu sebenarnya terjadi kekeliruan
pengertian “terpadu”. Fakta di beberapa TPA itu memang ada beberapa sarana dan
prasarana penunjang pengelolaan sampah semisal; mesin pemilah sampah, mesin
pencacah sampah, beberapa kolom pengomposan manual, sampai dengan rumah singgah
pemulung? tapi semua ini hampir tidak berfungi (tidak difungsikan), hanya
“etalase” saja untuk sekedar membuktikan “adanya pengadaan barang/jasa”. Begitu
juga kondisi rumah kompos yang ada di beberapa wilayah TPS, memang sebagian ada
(khususnya kabupaten dan kota yang mengikuti penilaian Adipura), namun semuanya
itu hampir tidak punya aktifitas. Sebatas seremonial saja…Inikah yang disebut
terpadu atau berbasis komunal (masyarakat)….????? Contoh paling aktual, Kota
Makassar (2015 dan 2016) memperoleh Adipura, sementara TPA Kota Makassar yang
berada di Tamangapa Kota Makassar tersebut hanya berjarak sekitar 5-6 meter
saja dari pemukiman warga disana. Apakah ini layak dapat Adipura ? Sementara
TPA tidak memenuhi standar SNI TPA yang ada, termasuk yang tertuang pada Permen
PU. No. 03/PRT/M/2013 itu. Begitupun daerah-daerah lain masih banyak mengelola
sampahnya di TPA dengan Open Dumping padahal pola ini sudah tidak dibenarkan
lagi, tapi masih juga menjadi peserta Adipura. Diduga banyak permainan curang
terjadi dalam event Adipura ini. Siapa yang dirugikan? Ya tentu masyarakat
secara umum.
Pemerintah (KLHK, PUPera, Kemenkes dan Kemendagri serta khususnya DPR) juga
khusus KPK agar menyikapi kondisi yang terjadi penyimpangan dalam penilaian
Adipura di kabupaten dan kota ini. Jangan dibiarkan kebohongan publik terjadi,
STOP semua itu dan segera moratorium penilaian Piala Adipura ini (teliti dan
analisa kembali), karena sesungguhnya substansi event Adipura sangat bagus
namun aplikasinya diduga banyak keluar dari eksistensinya. Utama dalam memilih
teknologi pengolahan sampah adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini
(precautionary principle), dimana perlunya menerapkan kehati-hatian dalam
menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan (preventive principle),
yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah lebih baik daripada
mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang
dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta; prinsip holistik (holistic
principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-hidup yang terpadu untuk
pengambilan keputusan masalah lingkungan (HAH)
Download Pedoman Pelaksanaan. Program Adipura
Jakarta, 25 April 2017
H.Asrul Hoesein
Berita Terkait Adipura:
- Kontroversi Adipura, Dari Suap Hingga Kebersihan Pura-pura
- Kasus Korupsi Masuk Syarat Penilaian Adipura, Ini Reaksi Bupati Karimun
- Jika Samarinda Raih Piala Adipura, Wakil Ketua DPRD Akan Protes, Kenapa??
- Masalah Sampah Indonesia Bukan Kelemahan Regulasi
- Stop Pembohongan Publik!!! (Adipura Bitung)
0 komentar :
Posting Komentar