Pelepah
pisang mungkin masuk kategori barang yang tidak ada gunanya. Namun bagi
Tien Soebandiri limbah yang satu ini bisa membuatnya terkenal hingga
Spanyol, Mesir, Italia dan Jepang.
Perempuan
berusia 66 tahun ini mengubah pelepah pisang menjadi boneka dan aneka
kerajinan tangan lainnya, seperti karangan bunga dan bros. Setiap pulang
dari luar negeri suami ibu Tien selalu membawa oleh-oleh, seperti
boneka.
Dari situlah muncul ide membuat boneka pelepah pisang yang ringan dan mudah dibawa oleh wisatawan.
Awalnya,
ia menggunakan kulit jagung, namun beralih ke pelepah pisang karena
bahan ini lebih lentur sehingga mudah dibentuk. Tien mendapat bahan
pelepah pisang dari wilayah Yogyakarta dan Bojonegoro. Ia tidak
membutuhkan banyak pelepah pisang karena boneka yang dibuatnya berukuran
kecil.
“Kita
tidak butuh banyak, jadi kalaupun tidak ada supplier, tapi punya pohon
pisang bisa kita tebang sendiri. Lain kalau misalnya untuk dibuat kursi
yang membutuhkan banyak pelepah pisang,” katanya.
Gedebok pisang itu dikeringkan dan dibelah jadi dua, sehingga bagian dalam dan luarnya bisa digunakan. Untuk
boneka besar yang lebih dari 20 cm kerangkanya dibuat dari kawat.
Setelah dibentuk sesuai dengan keinginan, kerangka dibalut dengan kertas
koran dan dilem. Selanjutnya dilapisi dengan pelepah pisang yang sudah
diproses. Sementara baju bonekanya bisa dibuat dari kulit jagung.
Menurut
Tien, semua jenis pelepah bisa digunakan, namun yang paling cocok
adalah pelepah pisang klutuk karena memiliki warna yang alami
kecoklatan. Ia juga lebih suka menggunakan pelepah yang sudah kering di
pohon karena bisa ditipiskan dan dipotong kecil-kecil.
Sebuah
boneka kecil ukuran 20 senti dihargainya antara 50 hingga 70 ribu
rupiah. Sementara yang lebih besar bisa mencapai 100 hingga 150 ribu
rupiah. Menurut Tien, order paling ramai jika ada pameran
dan musim pernikahan karena banyak pesanan boneka untuk dijadikan
suvenir. Sebulannya ia bisa mendapat keuntungan hingga 5 juta rupiah.
Tien mengaku tidak menemui kendala dalam memasarkan produknya. Ia juga tidak mau ngoyo dalam membuat kerajinan tangan. Kalau ada pesanan baru buat, kalau tidak ya santai saja, katanya sambil tertawa.
Tien tidak memiliki karyawan. Setiap mengerjakan pesanan ia dibantu kelompok ibu-ibu yang ada di sekitar rumahnya Jalan Ciliwung 15 Surabaya. Selain itu, ia juga merekrut anggota Asosiasi Bunga Kering dan Bunga Buatan Surabaya.
“Kita
berkelompok, misalnya 10 orang. Bisa saja orang-orang itu kemudian
berdiri sendiri atau pindah, ganti lagi orang baru. Kalau ada pesanan
banyak kita kumpulkan kembali. Tapi ada standar tertentu sehingga semua
produknya seragam. Karena kalau tidak sama, kita kirim nanti akan
dikembalikan lagi,” papar Tien.
Usaha
yang sudah dirintis sejak 1996 ini sudah menghasilkan berbagai macam
jenis boneka unik, seperti petani yang meniup suling, gadis desa
berkimono, lelaki yang menunggang kuda lumping, dan masih banyak lagi.
Semua boneka ini terpajang rapih di ruang tamu rumahnya.
Menurut
Tien, boneka dengan bentuk tradisional ini lebih diminati turis asing
ketimbangan boneka yang bentuknya kebarat-baratan. Produksi rumahan ini
dititipkannya ke sejumlah teman yang memiliki perusahaan besar untuk
dijual ke luar negeri.
Tien
juga rajin memberi pelatihan untuk anggota Asosiasi Bunga Kering dan
Bunga Buatan yang ingin mengikuti jejaknya. Ia juga sering diudang
hingga ke Malang dan Sidoarjo.
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar