Perbankan dan Industry perlu beradaptasi secara “mutlak” interdependensial dengan lingkungan sebagai cara untuk memenangkan persaingan pasar sekaligus turut melestarikan lingkungan yang semakin parah ini. Mengapa demikian? Karena perbankan dan industry tentulah tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupun lingkungan hidup yang lestari.
Akibat pembabatan hutan (illegal logging) serta kesemrawutan tata (landskap) kota membuat perubahan iklim begitu fenomenal. Fenomena ini seharusnya tidak membuat kita tinggal diam. Menjadi green industry serta green bank bukan sekedar menjalankan aktivitas “Go Green”.
Menurut Bank Dunia, Green Bank adalah suatu institusi keuangan yang memberikan prioritas pada sustainability dalam praktek bisnisnya. Begitu pula Green Industry menurut saya. Pada pemahaman ini, khususnya green banking setidaknya bersendikan empat unsur kehidupan yakni nature, well-being, economy dan society. Bank atau industry yang “hijau” akan memadukan keempat unsur tadi ke dalam prinsip bisnis yang peduli pada ekosistem dan kualitas hidup manusia. Sehingga pada akhirnya yang muncul adalah output berupa efisiensi biaya operasional perusahaan, keungulan kompetitif, corporate identity dan brand image yang kuat serta pencapaian target bisnis yang seimbang. Ini merupakan sebuah strategi bisnis jangka panjang yang selain bertujuan profit juga mencetak benefit kepada pemberdayaan dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan di masyarakat.
Seminar Strategi Menuju Green Banking di Jakarta, Ekonom Indef Aviliani berpendapat bahwa upaya perwujudan green banking di Indonesia harus didahului sosialisasi. "Green banking masih banyak yang harus dibenahi. Jangan bicara banking-nya, tapi green industrinya dulu," ujar Aviliani dalam seminar tersebut.
Saya setuju dengan pendapat Aviliani tersebut. Namun bagi saya (sebagai titipan kepada Bank Indonesia dan DPR), dalam aplikasi dari program ini ke depan pada pembahasan atau pembuatan regulasi tentang hal ini, setidaknya memasukkan unsure yang sangat penting bagi kami sebagai pengelola “sampah” lingkungan adalah al;
- Setiap perbankan termasuk Industry yang dipercayakan atau menerima dana ini untuk mengelola, harus terlebih dahulu menerapkan sendiri prinsip “pro green” ini di lingkungannya, apakah dalam aplikasi Dana CSR mereka selama ini (setidaknya 1 tahun terakhir) sudah terlaksana apa belum. Diragukan dana ini nantinya akan jatuh pada peruntukan yang lain, atau hanya konglomerasi atau keluarga pejabat sendiri yang menikmatinya.
- Kementerian Negara Lingkungan Hidup, harus mengeluarkan atau memberi sertifikasi terhadap perbankan atau industry atau usaha-usaha (semua sector usaha) yang mengarah atau melaksanakan prinsip “pro green” untuk mengelola sebagaimana point satu diatas. Karena diragukan bukan programnya yang tidak bagus tapi pengusahanya yang tidak sustainable alias memanfaatkan dana ini (membonceng) untuk program lainnya. Serta bentuk tim pemantau independent yang melibatkan unsure masyarakat didalamnya serta LSM yang bergerak dalam bidang pengelolaan lingkungan atau lembaga yang pro green dengan manajemen berjenjang sampai ke daerah (kab/kota).
- Regulasi Berbasis Comunal; Selama ini banyak program hijau yang telah dijalankan, tapi mati suri. Kenapa? Karena pemahaman tentang hal green ini masih berada di kulit saja, termasuk pemahaman oleh (oknum) pemerintah sendiri. Pemahaman hanya semata menanam pohon, padahal jauh dari itu. Hal ini yang paling penting adalah semua kegiatan harus berbasis communal (communal basic) dalam setiap program mkironya. Dalam mengupayakan hal ini (regulasi) nantinya, semua stakeholder harus terlibat penuh, termasuk masyarakat itu sendiri.
Beri peluang atau kesempatan usaha kepada kelompok masyarakat terdepan untuk berpartisipasi aktif didalamnya (pengelolaan berkelompok), tapi kelompok produktif yang dibuat sendiri oleh masyarakat, bukan kelompok buatan pemerintah; Terkhusus dalam industry pengelolaan sampah harus berbasis communal, karena masyarakat sebagai produsen sampah terbesar. Dimana sampah ini menjadi masalah besar pula di Indonesia yang harus mendapat penanganan yang serius.
Dalam (regulasi) pelaksanaan Green Industry dan Green Banking ini, harus ditekankan perlunya “harus” semua pemerintah daerah (kab/kota) di Indonesia menyesuaikan “revisi” perdanya dalam antisipasi hal ini, agar terjadi kesamaan visi untuk Indonesia Hijau. Ada sanksi kepada pemda bila tidak melaksanakan kebijakan ini. Kebijakan ini perlu radikal, karena memang mendesak untuk dilakukan. Karena bila tidak ada penyesuaian akan perda maka hanya orang dekat birokrasi atau perbankan saja yang menikmati program ini, masyarakat akan jadi penonton, akhirnya akan gagal lagi.
Adaptasi bisnis perbankan dapat dilakukan pada sisi lending, funding dan services. Untuk sektor pembiayaan proyek-proyek ramah lingkungan maka perbankan dapat memulai pada pengembangan industry atau pengelolaan sampah kota berbasis communal serta pengembangan energi terbaharukan yang sangat potensi dilakukan di Indonesia, agar Indonesia bisa keluar dari karut-marut subsidi BBM atau apalah bahasa lainnya. Masyarakat sudah bosan mendengar dan menonton perdebatan yang tidak berujung, tapi masyarakat cuma butuh aplikasi riil yang berpihak pada mereka.
Mari kita laksanakan program Gren Banking dan Green Industry ini dengan cerdas dan bijaksana, hilangkan atau setidaknya minimalisir korupsi didalamnya. Hati-hatilah terhadap lingkungan atau sampah. Lingkungan dan sampah tidak pernah berdosa, malah sebaliknya amal terus didapatnya, karena setiap saat bertasbih (dzikir) mengingat Allah Swt.
Postingan ini juga saya posting di:
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
Topik Terkait [Related Post]
0 komentar :
Posting Komentar