Indonesia adalah salah satu negara modern dengan dampak urbanisasi
dan industrialisasi yang begitu terasa. Kemiskinan dan masalah pribadi
menjadi dampak yang tak terelakkan akibat modernitas itu. Ditambah lagi
dengan perubahan ekonomi, politik yang kian rumit telah berdampak pada
makin banyaknya terungkap masalah sosial di Indonesia yang perlu
dipecahkan.
Bencana alam yang beruntun menuntut solusi yang jelas dan
tegas serta berkesinambungan. Pekerja sosial serta pendidikan profesinya
kembali banyak mendapatkan perhatian. Inilah saatnya profesi pekerja
sosial kembali harus berbenah diri untuk menentukan kemana arah yang
akan dituju. Pendidikan pekerja sosial adalah kuncinya.
Siapa saja yang bisa dianggap pekerja sosial profesional? Maraknya
institusi pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan pekerja
sosial di Indonesia merupakan salah satu pertanda baik meningkatnya
kesadaran lingkar akademik akan tuntutan masyarakat akan profesi ini.
Dinamika pendidikan profesi pekerja sosial di Indonesia berada pada
titik yang positif dimana diskusi yang ada mengarah pada kejelasan
status profesi pekerjaan sosial di tanah air. Ini adalah proses
perubahan yang harus dilewati profesi pekerja sosial di Indonesia.
Proses ini bukanlah hal unik yang hanya dialami Indonesia. Jepang, China
dan Vietnam adalah beberapa negara yang mengalami perjalanan yang
serupa dalam menghadirkan profesi ini.
Sejauh mana pendidikan tinggi mampu menghadirkan profesi ini dengan
berkualitas dan memenuhi syarat adalah pertanyaan yang harus kita jawab
bersama. Tulisan ini tentu hanya sebagai titik awal kita untuk
memutuskan apakah pekerja sosial adalah profesi yang sesuai dengan
kebutuhan Indonesia? Kalau iya, bentuk pekerja sosial seperti apa yang
sesuai? Apakah pekerja sosial di Indonesia dapat menjadi sebuah profesi?
Apakah kurikulum pendidikan pekerja sosial yang ada dapat
dikoordinasikan sehingga terjadi keseragaman?
Selayang Pandang Lahirnya Pekerja Sosial di Amerika
Pekerjaan sosial adalah profesi yang sangat berhubungan erat dengan
konteks dimana profesi ini dibangun. Dalam diskursus profesi secara
umum, sebuah profesi yang ideal adalah sebuah profesi yang merespon
kebutuhan masyarakat akan suatu keahlian, contohnya pekerja sosial dalam
konteks Amerika Utara.
Profesi ini adalah respon dari dampak negatif yang diakibatkan oleh
industrialisi dan urbanisasi pada tahun 1880-an. Ehrenreich menyebut era
ini sebagai Era Progresif (sekitar 1880 hingga 1920), dua dekade
sebelum Perang Dunia I dimana krisis melanda Amerika secara ekonomi,
sosial dan politik.
Perubahan ini berdampak pada hidup orang banyak dan institusi sosial
seperti perubahan masyarakat pedesaan menjadi lebih urban, imigrasi
besar-besaran karena industrialisasi. Pada masa ini muncul banyak
pertanyaan kepada pemerintah akan tanggungjawabnya kepada warga negara
dan hubungan antara individu dan masyarakatnya. Pekerjaan sosial modern
muncul karena tuntutan solusi yang lebih sistemik terhadap
masalah-masalah pribadi yang lebih rumit yang diakibatkan oleh
kemiskinan dan stres.
Pada bentuk awalnya, peran pekerja sosial di Amerika adalah melayani
mereka yang dianggap tidak dapat berpartisipasi pada proses
industrialisasi karena masalah fisik dan mental, atau ketidakmampuan
untuk mengakses sumber-sumber yang ada agar dapat berpartisipasi ke
dalam pasar kerja, dan munculnya masalah-masalah pribadi seperti depresi
yang tidak lagi dapat ditangani oleh keluarga karena fungsi keluarga
besar yang melemah, dan tidak dapat pula ditangani oleh institusi
masyarakat, karena lemahnya sistem yang dimiliki oleh institusi semacam
ini hingga tidak mampu menampung, mengatasi dan mengatur banyaknya
kasus.
Profesi pekerja sosial muncul dengan menawarkan perspektif akademis
sehingga pelayanan terhadap masyarakat memiliki mekanisme yang jelas,
teratur dan dapat dievaluasi. Seperti yang dikutip oleh Ehrenreich,
secara historis pekerjaan sosial memiliki dua komitmen besar. Pertama
adalah komitmen untuk meningkatkan fungsi individu. Kedua, komitmen
bersama untuk mempromosikan masyarakat yang lebih baik. Perdebatan tajam
antara pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial atau kebijakan sosial
tidak sejalan dengan kedua komitmen awal profesi pekerja sosial.
Pekerjaan Sosial atau Kesejahteraan Sosial?
Yang menarik adalah perbedaan nama antara pekerjaan sosial dan
kesejahteraan sosial. Ada beberapa dua perspektif dalam melihat kedua
istilah ini. Sebagai pemahaman definitif, pekerjaan sosial memiliki
sejarah yang berakar dari tradisi filantropi atau charity movement
yang lahir pada Era Progresif di Amerika tahun 1880-an. Pendekatan yang
dilakukan pekerjaan sosial lebih bersifat klinis–beberapa menyebutnya
generalis. Ranah-ranah yang ada dalam pekerjaan sosial pun sangat
spesifik, beberapa di antaranya adalah asesmen keluarga dan perlindungan
anak.
Yang menarik dari hal ini adalah di Indonesia banyak yang menganggap
bahwa pendekatan klinis bukanlah pendekatan yang relevan untuk konteks
Indonesia. Namun ketrampilan ini sebenarnya merupakan elemen yang sangat
penting bagi Indonesia, karena tren intervensi sosial yang ada di
Indonesia lebih bergerak menuju layanan yang berbentuk pencegahan
berbasis masyarakat (community-based prevention) dibanding model institusi untuk memecahkan persoalan yang akut.
Lain halnya dengan kesejahteraan sosial (social welfare), istilah ini lebih bersifat umum. Gerakan ini muncul dari pergerakan settlement house yang dibidani Jane Adams, yang lebih bersifat community organizing, aktivisme, advokasi dan juga kebijakan. Karena kesejahteraan sosial berkait dengan well-being
masyarakat, maka pelaku dalam ranah ilmu kesejahteraan sosial tidak
melulu harus pekerja sosial tapi bisa juga ekonom, politisi, dan semua
profesi yang berhubungan dengan kesejahteraan orang banyak.
Namun seorang pekerja sosial yang mendalami ilmu kesejahteraan sosial
akan berbeda dengan mereka yang datang dari profesi lain. Misalnya,
analisis kebijakan kemiskinan seorang pekerja sosial akan lebih
menggunakan pisau analisis kelayakan (kualitas hidup) dan teori PIE (people in environment) yang melihat dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat. Sedangkan seorang ekonom lebih menggunakan pendapatan (income dan earnings)
untuk menganalisa fenomena kemiskinan. Tentu saja contoh ini sangat
sederhana dibanding proses analisa yang dilakukan di lapangan, yang
lebih rumit.
Perspektif kedua adalah, penamaan pekerjaan sosial dan ilmu
kesejahteraan sosial pada universitas adalah masalah “hubungan publik”.
Artinya, penamaan ini terkait dengan pesan apa yang ingin disampaikan
oleh suatu program pekerjaan sosial. Di Jepang, misalnya, pada masa awal
pembentukan program pendidikan pekerjaan sosial, untuk alasan politis
dan melihat pasar, nama ilmu kesejahteraan sosial lebih dipilih karena
stigma akan pekerjaan sosial sangat kental di masyarakat. Namun ketika
profesi ini sudah lebih dikenal, beberapa program kembali menggunakan
istilah “pekerjaan sosial”. Di Amerika sendiri ada program yang
menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial menggunakan istilah “social
work” (Columbia University School of Social Work) dan juga “social
welfare” (UCLA School of Public Affairs, Department of Social Welfare),
namun mereka bernaung di bawah CSWE (Council of Social Work Education).
Amerika Serikat dan Kanada serta Inggris–walaupun sedikit berbeda dengan
latar belakang historis yang berbeda–memiliki tren yang sama akan
penamaan program mereka.
Standarisasi Kurikulum
Wenocur dan Reisch memandang profesionalisasi pekerja sosial sebagai
suatu kepemilikan komoditas layanan yang spesifik, jelas, dan
monopolistik (yang hanya dimiliki oleh pekerjaan sosial) dengan reward materi juga status. (Another monopolistic hold on a distribution of a particular service commodity with concomitant materials and status rewards.)
Jadi ketika membicarakan pendidikan pekerja sosial, kita harus dapat
menjawab pertanyaan penting: sebagai pekerja sosial hal apa yang harus
kita ketahui? Dan apa yang diharapkan dari seorang pekerja sosial? Tentu
saja hal ini banyak mengundang perdebatan antara mereka yang terlibat
di lapangan layanan sosial, para pendidik pekerja sosial, pembuat
kebijakan, akademisi dan semua orang yang merasa terlibat. Perbedaan
antara apa dan bagaimana menamakan pekerjaan sosial sebagai sebuah
disiplin adalah dinamika awal terbentuknya pekerjaan sosial di Amerika.
Di Indonesia, hal ini sedang berlangsung, kita semua sedang mencari
bentuk dan formula untuk membentuk sebuah pekerjaan sosial yang dianggap
ideal.
Tentu kita harus dapat bergerak cepat dan tidak berputar-putar dalam
pembentukan sebuah nama, namun mencari titik persamaan akan bagian apa
yang dapat kita lakukan. Dengan berjalannya waktu, ketika tuntutan
profesi pekerja sosial kian menuntut keahlian yang spesifik, jelas dan
sinambung, profesi pekerja sosial di Indonesia dituntut untuk memiliki
tingkat akademik yang cukup hingga dapat menghasilkan tenaga profesional
dengan kemampuan spesifik dan berkualitas sehingga dapat berkompetisi
dengan profesi yang lainnya.
Ketika hal ini tidak dilakukan, lahan pekerja sosial menjadi lahan
yang dapat diserbu siapa saja. Yang dimaksud lahan di sini adalah ranah
pekerjaan dimana dibutuhkan keahlian yang sangat spesifik dan itu hanya
bisa dilakukan oleh pekerja sosial. Ini bukan hal yang mudah. Ini bukan
berarti kita dapat melabel satu produk yang bukan milik kita. Di Aceh
pasca-tsunami misalnya, banyak orang yang melihat pekerja sosial
profesional melakukan pekerjaan yang sangat berbeda dibanding dengan
mereka yang tidak profesional. Misalnya, “produk” yang dimiliki oleh
pekerja sosial profesional adalah produk dengan rangkaian sistematis,
terarah dan terukur.
Keahlian ini tentu saja tidak bisa dilakukan dengan tingkatan pelatihan (training
versus pendidikan tinggi). Contoh yang tepat adalah usaha penting yang
dilakukan oleh SWPRC dalam perlindungan anak yang diawali dari Aceh
pasca-tsunami dan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Perlindungan
anak adalah salah satu area yang seharusnya dapat diklaim sebagai area
andalan pekerjaan sosial di Indonesia yang bisa kita jadikan titik awal
spesialisasi yang bisa dilakukan oleh pekerja sosial profesional di
Indonesia.
Standarisasi kurikulum adalah tuntutan dari munculnya beberapa
program kesejahteraan sosial di Indonesia. Standarisasi adalah suatu
proses yang tidak terelakkan. Standarisasi adalah kepentingan profesi,
penting bagi kita untuk memiliki titik persamaan untuk jangka panjang,
walaupun standarisasi bukanlah hal yang besar bagi konsumen dan pasar
karena bila produk yang dihasilkan memiliki kualitas baik, pasar tidak
terlalu melihat standarisasi sebagai ukuran.
Salah satu cara standarisasi yang dapat diambil oleh profesi
pekerjaan sosial yaitu mengadakan konsorsium yang terdiri dari para ahli
pekerjaan sosial, akademisi, pemerintah, organisasi-organisasi yang
menyerap tenaga pekerja sosial dan beberapa tokoh masyarakat. Langkah
ini diambil agar kita memiliki tolok ukur akan tujuan yang ingin dicapai
oleh pendidikan pekerja sosial. Ambil contoh di beberapa negara yang
telah memiliki profesi pekerja sosial lebih awal dari Indonesia,
misalnya CSWE di Amerika Utara, adalah badan pendidikan pekerja sosial
yang menentukan isi kurikulum inti pekerjaan sosial universitas.
Namun tolok ukur ini bukanlah ukuran yang baku yang harus diikuti
mentah-mentah. Setiap universitas memiliki otoritas masing-masing
bagaimana mereka ingin menyelenggarakan kurikulumnya. Pertanyaan
selanjutnya, tentang apa saja yang harus dimasukan sebagai isi kurikulum
tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan
“pasar” dari pekerjaan sosial itu sendiri. Di Vietnam, misalnya,
memasukkan ketrampilan komunikasi sebagai salah satu inti dari kurikulum
mereka. Keseragaman menjadi penting bagi pendidikan pekerja sosial di
Indonesia, karena kalau tidak, pekerja sosial sangat mustahil untuk
diterima sebagai profesi, karena setiap lulusan tidak memiliki titik
persamaan sama sekali.
Di luar universitas, standarisasi lainnya adalah menyelenggarakan bar exam dan grandfathering. Bar exam artinya semua orang yang ingin memiliki lisensi pekerja sosial harus melewati ujian ini dan lulus. Sedangkan grandfathering
adalah pemberikan lisensi profesi bagi mereka yang memang sudah lama
terjun di profesi ini tanpa melalui tes. Di Amerika serikat, bar exam dan grandfathering
diberlakukan berbeda di setiap negara bagian. Di California, semua
orang dapat mengikuti ujian ini, sedangkan New York hanya membatasi
ujian ini bagi mereka yang memang lulusan pekerja sosial. Lain halnya
dengan Jepang yang hanya karena memberlakukan bar exam, banyak
mereka yang bekerja di area pekerjaan sosial dan sangat senior tidak
memiliki lisensi, sekalipun mereka adalah profesor senior di program
pekerjaan sosial. Pertanyaan selanjutnya bagi konteks Indonesia, apakah
kita sudah saatnya melakukan ini?
Berusaha untuk memahami nature pendidikan profesi pekerja
sosial di Indonesia–terapan dan akademis–penting bagi kita untuk kembali
melihat sejarah profesi ini secara runtut dan menyeluruh. Lahirnya STKS
(KDSA pada tahun 1987) sebagai lembaga pendidikan pekerja sosial di
Indonesia ini menjadi begitu menarik untuk dibahas. Keterlibatan
pemerintah secara langsung mendirikan badan pelatihan sebuah profesi
adalah bagian sejarah dari banyak profesi di negara berkembang seperti
China dan Turki. Keterlibatan pemerintah ini adalah salah satu langkah
jangka pendek untuk dapat menyediakan pekerja sosial yang terlatih dan
dapat memenuhi perangkat tuntutan struktural dalam pengembangan satu
negara kesejahteraan (welfare state).
Salah satu yang dialami di Indonesia adalah posisi pendidikan pekerja
sosial yang berada pada departemen yang berbeda. STKS yang dinaungi
oleh Depsos, misalnya, lebih berorientasi pada program praktek, terlihat
dari beberapa tesis, skripsi dan makalah yang ada, yang telah dilakukan
oleh lulusan STKS, yang memiliki komitmen riset yang lebih berbasis
pada apa yang terjadi di lapangan. Sedangkan UI, UIN dan lainnya berada
di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, yang
isunya lebih mengarah pada perbedaan ilmu dan profesi.
Untuk UI, program yang berada di bawah Departemen Pendidikan lebih
mendalami analisa masalah dan kurang memiliki penekanan pada profesi
pendidikan pekerja sosial. Untuk UIN, paling tidak ada isu mendasar
yaitu peraturan pemerintah tentang persyaratan yang harus dimiliki
seorang lulusan, tuntutan universitas mengharuskan mahasiswa untuk
memiliki pengetahun akademis tertentu, sedangkan tuntutan profesi
menuntut mahasiswa untuk memiliki kredit praktikum yang tidak sedikit.
Jadi yang menjadi isu di sini bukan universitas yang tidak menekankan
isu praktikum, namun lebih pada sistem “manajemen” yang berbeda. Untuk
kasus UIN Jakarta, misalnya, 800 jam praktik sudah mulai diterapkan,
namun supervisi masih menjadi kendala terbesar selain isu-isu lainnya.
Penutup
Pengembangan pendidikan pekerja sosial di Indonesia adalah bagian
yang penting dalam proses terbentuknya profesi pekerja sosial mengalami
beberapa tantangan yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Tantangan yang pertama adalah pendidikan profesi pekerja sosial yang
ideal membutuhkan pendidik dengan kualifikasi pekerja sosial dan
pengalaman, tidak hanya sebagai tenaga pengajar tetapi juga dapat
melakukan supervisi praktikum. Kalau tidak, pendidikan profesi ini
kekurangan mereka yang memiliki persyaratan tersebut.
Tantangan kedua adalah kesesuaian kultur. Bila tantangan pertama
dipecahkan dengan mendatangi para ahli yang datang dari tradisi
pekerjaan sosial yang berbeda, akan sangat mungkin bila pekerjaan sosial
yang diperkenalkan adalah praktik dan alur berpikir yang sesuai dengan
konteks dimana ahli ini berasal dan belum tentu sesuai untuk Indonesia.
Kenyataannya adalah pekerjaan sosial memiliki wujud yang berbeda di
seluruh dunia dengan adaptasi sesuai dengan konteks yang berlaku.
Contohnya, bila perlindungan anak menjadi salah satu area praktik yang
dapat diklaim di Indonesia, karakter perlindungan anak di Indonesia
tentunya adalah karakter unik dibandingkan negara lain.
Namun tantangan pendidikan profesi pekerja sosial di Indonesia yang
ada sekarang adalah tantangan serupa yang dihadapi di tempat lain.
Walaupun ada beberapa masalah spesifik yang dialami Indonesia, kita
masih dapat belajar dari negara-negara yang telah memiliki profesi
pekerja sosial yang mapan dan juga negara yang masih pada tingkat
perkembangan profesi ini. Pada saat bersamaan, kita dapat menciptakan
visi kita sendiri akan profesi ini dan akhirnya mampu menciptakan bentuk
baru pekerjaan sosial Indonesia yang unik dan dapat kita kembangkan.
Oleh Dorita Setiawan
Ref: fasilitator-masyarakat.org
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
Selasa, 12 Juli 2011
Mengembangkan Profesi Pekerja Sosial di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar