Nadziroh sedang asyik memantulkan bola basketnya dengan sesekali dia menoleh ke pelatihnya yang dengan semangat berteriak ,”Ayo, ayo Nadziroh kamu bisa!” Disela-sela latihan itu seorang Ibu mengajak Nadziroh duduk untuk beristirahat sambil meminta anak perempuan yang sekarang berumur 12 tahun itu untuk menandatangani absen kehadiran.
”Hebat Nadziroh sudah bisa tandatangan,” begitu kata Ibu itu. Nadziroh pun sumringah, dia tersenyum sambil menundukan kepalanya. Lalu ada Aswin, anak lelaki berumur 17 tahun, dia sedang siap-siap untuk ikut latihan renang. Sambil berlari-lari kecil dia menghampiri pelatihnya. Sempat ngobrol dan bercanda dengan pelatihnya sebelum akhirnya dia terjun ke kolam renang. Satu putaran dengan cepat dia selesaikan. Sementara itu terlihat di samping kolam renang sang pelatih dengan serius mencatat waktu pencapaian Aswin. ”Dua menit empat puluh detik,” sahut seorang pelatihnya. ”Dia bisa kok sampai dua menit tujuhbelas detik,” imbuh seorang pelatih lainnya. Beralih ke si kecil Yana, berumur 8 tahun, yang sepertinya masih mengantuk ketika ibunya, Yuliana, membangunkan Yana untuk pergi ke sekolah. Dengan sedikit menggerutu, akhirnya Yana mandi di tengah dinginnya pagi. Ia mandi sendiri sambil ibunya memperhatikan dan membantu Yana mengenakan seragam sekolahnya. Pulang sekolah dengan bimbingan ibunya, Yana berlatih menulis huruf di papan tulis yang disediakan ibunya. Ia sempat marah ketika ibunya mencoba membantunya menulis huruf.
Kejadian diatas sepertinya adalah kejadian lumrah dan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua mengantarkan anaknya untuk pergi ke sekolah, menyiapkan sarapan pagi dan mendampingi mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler yang mereka ikuti, olahraga, misalnya dan kegiatan lainnya. Baik Nadziroh, Aswin dan Yana mereka adalah anak-anak yang ceria, aktif dan bersemangat dengan apa yang mereka lakukan, layaknya anak normal lainnya. Ada satu kesamaan yang dimiliki oleh Nadziroh, Aswin dan Yana yaitu mereka sama sama penderita Down Syndrome (DS).
Istilah Down Syndrome memang bukan istilah yang populer dan dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia. Namun realita DS (begitu sering disingkat) sudah berlangsung sejak lama, hanya saja sebagian besar masyarakat Indonesia menganggapnya sebagai keterbelakangan mental atau menyamakan dengan istilah idiot, yang tidak punya harapan di masa depannya. Itu sebabnya, keberadaan anak DS biasanya kemudian menjadi beban orang tuanya. Bukan semata beban materi karena mereka memiliki kebutuhan khusus, akan tetapi yang tak kalah beratnya adalah beban psikologis, karena malu mempunyai anak cacat mental. Keberadaan anak-anak DS kemudian ditutup-tutupi dengan jalan mengurung mereka di dalam rumah atau bahkan dalam kamar. Tak jarang pada masyarakat yang masih tradisional, kemudian mereka malah dipasung.
Keberadaan Nadziroh, Aswin dan Yana dalam kehidupan sehari-hari mematahkan stigma bahwa anak-anak penderita DS adalah anak-anak yang tidak mampu berbuat apa-apa, tidak punya masa depan dan tidak bisa membuat orang tuanya bangga. Nadziroh dan Aswin bahkan menjadi perwakilan daerahnya untuk mengikuti Special Olympics Indonesia dan memberikan medali untuk daerah yang mereka wakili. Yana pun bisa seperti anak normal lainnya, walaupun Yuliana sang ibu melakukan beberapa pendekatan khusus untuk merawat anaknya. Masih banyak anak-anak DS lainnya yang memiliki prestasi dan kebanggaan serupa seperti Nadziroh, Aswin dan Yana. Anak-anak penderita DS adalah anak-anak yang memiliki hak tumbuh kembang, mendapat perlakuan sama dan pendidikan seperti anak normal lainnya.
Hal ini menjadi diskusi hangat di acara hasil kerjasama CINEMATICA (merupakan program dari Rumah Ide Makassar) dan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia). Acara diadakan pada tanggal 25 Februari lalu ini juga bekerjasama dengan ScreenDocs InDocs dan SLB Pembina Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, diawali dengan dua pemutaran film dokumenter dengan yang dibuat oleh SOINA (SpecialOlympics Indonesia) dan film ’Serupa Tapi Tak Sama’. Dua film dokumenter dan diskusi diadakan di Backyard BaKTI mulai dari pukul 19.30 sampai selesai. Anak-anak SLB Pembina Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan juga mempersembahkan tarian tradisional Sulawesi Selatan sebelum acara diskusi dimulai. Dra. Fatimah Azis, M.Pd. - Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan hadir sebagai narasumber dalam acara ini. BaKTI sebagai lembaga pertukaran pengetahuan di Kawasan Timur Indonesia, mendukung acara diskusi ini dengan tema ”Berbagi Untuk Perubahan’ dengan harapan peserta saling belajar dan bertukar pengetahuan melalui diskusi yang diadakan setiap satu bulan sekali dengan berbagai macam tema tentang pembangunan.
Hadir pada acara ini orang tua dari anak penderita DS, guru-guru di SLB, anak-anak penderita DS dan pemerhati penderita DS. Seorang ibu bercerita bahwa ia memiliki anak penderita DS. Walaupun dia juga seorang guru SMA, memelihara seorang anak penderita DS memiliki banyak suka dan dukanya. ”Menjadi orang tua anak seperi itu (penderita DS) tidak harus membuat dunia menjadi kiamat,” kata ibu yang memiliki anak penderita DS bernama Wa Ode Rahma. Dia bercerita bahwa setelah Rahma lulus SMP, ada rencana untuk memindahkan anaknya dari SLB ke SMA biasa. Namun kemudian suaminya bertanya, apakah mereka siap. Siap dalam arti bukan masalah si anak yang akan tersinggung atau terluka hatinya. Malahan biasanya nanti yang tersinggung atau terluka hatinya adalah orangtuanya. ”Yang penting ikhlas, Bapak dan Ibu, seperti film tadi, surga sudah ada ditangan kita, Allah itu baik, pasti kita sanggup” sambungnya. Seorang Bapak bernama Hanafi orang tua dari Adnan Hidayat penderita DS mengungkapkan bahwa sebagai orang tua harus sabar, setiap kekurangan yang dimiliki oleh anak pasti selalu ada kelebihan. ”Anak saya yang normal saja tidak pernah pulang membawa medali emas,” katanya sambil tersenyum. Anaknya ikut Special Olympics Indonesia di Jakarta dan memenangkan medali emas yang membuat Pak Hanafi bangga.
Dari cerita-cerita tersebut, Ibu Fatimah Azis mengatakan bahwa pada prinsipnya anak-anak DS adalah anugerah, jangan disepelekan dan jangan dipandang sebelah mata. Orang tua memiliki tanggungjawab untuk membesarkan mereka. Prinsipnya, bagaimana mereka dididik agar bisa mandiri, bagaimana orang tua menyediakan kebutuhan khusus karena mereka memiliki kebutuhan khusus. Ibu Fatimah juga mengingatkan bahwa anak-anak DS juga memiliki kemampuan, sekecil apapun kemampuan itu. Yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa melatih dan merawat diri sendiri, karena pada akhirnya anak-anak ini tidak akan selalu didampingi orang tua. Perlu pendidikan dan keahlian yang membuat mereka tidak tergantung pada lingkungannya. ”Walaupun itu harus bertahap dan perlahan untuk mandiri paling tidak untuk dirinya sendiri,” tambah Ibu Fatimah. Bahkan satu anak seharusnya diajar oleh empat guru, untuk keperluan audio, visual, edukasi dan sosial. ”Tapi paling tidak satu guru ada empat anak di kelas, ini juga karena mengingat dana pendidikan yang terbatas.” sambungnya.
Jika ada keluarga atau kerabat atau tetangga yang memiliki anak yang menderita DS, mungkin ada baiknya berinteraksi serta menggabungkan diri dengan komunitas DS setempat. Dengan bergabung pada orang-orang yang memiliki kesamaan perjuangan, relatif lebih mendapat masukan yang positif, setidaknya dalam hal mendidik anak DS agar lebih mandiri, juga saling menguatkan dan mengupayakan agar dapat mendukung sang anak bisa seperti anak normal lainnya. Mereka sama, hanya memiliki kebutuhan khusus, itu saja.
Info Tentang Yayasan BaKTI Klik di SINI
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs (Member Yayasan BaKTI)
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar