Semua tertawa dan ada sebagian yang menunjukkan mimik muka kaget dan seakan tidak percaya dengan apa yang ditanyakan oleh moderator setelah pemutaran film “Suster Apung”. Si moderator kembali bertanya untuk kedua kalinya, “Saya ingin mendengarkan komentar penonton yang tadi melihat. Disini mungkin lebih banyak laki-laki, laki-laki yang melihat sosok seorang perempuan seperti itu.”
Lalu lanjut si moderator,” Pertanyaan saya adakah yang mau atau tidak punya istri seperti Suster Rabiah (tokoh dalam film tersebut)?” Dia memilih profesi sebagai Suster Apung, keliling kemana-mana anda ditinggalkan dan dia bilang, “Tunggu ya nanti saya kembali lagi!”
Hal ini terjadi di acara kerjasama CINEMATICA dan BaKTI dengan tajuk “Perempuan Pembawa Perubahan” di Backyard BaKTI, Jl. Dr. Soetomo, Makassar tanggal 31 Maret 2011 lalu. Mengusung tema besar event Yayasan BaKTI, yakni ”Berbagi untuk Perubahan”, dalam rangka memperingati Hari Perempuan se-Dunia tahun 201 dirangkaikan dengan kegiatan bulanan CINEMATICA. Yayasan BaKTI bekerjasama Rumah Ide Makassar ingin berbagi pengalaman inspiratif dari para perempuan Indonesia yang sukses dibidang kerjanya maupun pengabdian untuk masyarakat dan keluarga, melalui sebuah pemutaran film dan talkshow bagi para pelaku pembangunan di Sulawesi Selatan agar dapat saling belajar dan bertukar pengetahuan.
Setiap tahun masyarakat internasional maupun di Indonesia memperingati Hari Perempuan se-Dunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Sejarah bangkitnya perempuan Indonesia ditandai dengan perjuangan Kartini yang tidak hanya memperjuangkan emansipasi tetapi juga meletakan dasar pemikiran baru untuk kaum perempuan Indonesia. Akan tetapi budaya patriarki yang masih kuat terjadi di masyarakat kita hingga saat ini tentu berimplikasi terhadap berkurangnya aktivitas perempuan dalam kegiatan masyarakat.
Hari Perempuan se-Dunia sesungguhnya merupakan cerita mengenai perempuan-perempuan luar biasa yang menoreh catatan sejarah; walaupun pada awalnya mereka semua adalah perempuan biasa, tetapi karena kegigihan dan perjuangan mereka untuk membawa perubahan, hal itulah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Contohnya, di dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu, karena pada jaman itu hak suara tidak diberikan kepada pihak perempuan. Lalu di Indonesia sendiri, melalui pemutaran film “Suster Apung”, kita bisa melihat sosok Rabiah, seorang suster yang kuat dan tangguh, walaupun harus berkorban menanggung bahaya diterpa badai dan ombak untuk mengunjungi pasien-pasiennya di pelosok memakai perahu, oleh karena itu Rabiah dijuluki “Suster Apung”.
Menjawab pertanyaan moderator tadi, seorang peserta, Wawan Kurniawan, mahasiswa Psikologi UKM PI memberikan pendapatnya, “Perempuan seperti ibu Rabiah merupakan sumber inspirasi dan saya mencari perempuan seperti sosok Ibu Rabiah untuk dijadikan pasangan hidup.” Lain halnya dengan Pak Muhammad Djabir yang berpendapat bahwa sedikit orang yang bersedia menjadi seperti ibu Rabiah. “Saya tidak mau mendapatkan istri seperti itu karena akan kehilangan peran sebagai ibu dari anak-anak.” Hal ini disambut oleh pernyataan dari salah satu narasumber, Ibu Nuraeni, yang menyatakan bahwa sosok Rabiah adalah sosok perempuan yang kuat dan patut diteladani. “Ibu Rabiah adalah suatu contoh kekuatan perempuan dan saya meyakini perempuan lebih kuat dari laki-laki,” lanjutnya.Ada dua narasumber dalam acara ini yang ikut memberikan warna melalui opini dan pendapatnya mengenai perempuan. Kedua narasumber yaitu Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK, MA (Pembantu Rektor IV Univ. Hasanuddin) dan Dra. Nuraeni (Ketua Koperasi Wanita Nelayan Fatimah Az - Zahrah Kelompok Pengelola hasil laut sekaligus ketua RT).
Kedua narasumber bercerita pengalaman mereka masing-masing dalam usaha mereka untuk membuat kaum perempuan diakui keberadaannya. Ibu Nureni bercerita, ”Saya adalah seorang ibu dengan 3 anak lelaki yang menjanda karena suami saya telah meninggal dunia. Saya pernah menjadi pendamping di Kecamatan Ujung Tanah, Pulau Lanjukang, dimana penduduknya terisolasi dan memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek.” Pada saat itu saya melihat banyak nelayan yang tertekan oleh para punggawa, dan banyak istri nelayan yang sulit membantu para suami yang sudah terikat dengan punggawa. Oleh karena itu, Ibu Nuraeni mendekati para istri dan mendirikan koperasi Az-Zahra. Dimulai dari Majelis Taklim dan mengelola sumber daya yang ada sehingga menginisiasi terbentuknya koperasi yang memproduksi abon ikan tuna. ”Saya dapat menjadi ketua RT di lingkungan pemabuk karena saya melakukan pendekatan sebagai seorang ibu,” imbuhnya.Berbeda dengan Ibu Dwia yang menceritakan pengalamannya sebagai dosen. ”Mulai 2006 saya ditunjuk sebagai PR IV perempuan satu-satunya di UNHAS. Saya sering terkena budaya patriarki yang sangat kental di birokrasi,” kenangnya. Untuk menjadi dosen, tantangannya sangat besar ketika melanjutkan pendidikan di luar karena potensi mendapat pertentangan dari keluarga besar suami. Namun semua kendala dihadapi dengan membuktikan diri bahwa dia bisa melakukan semua itu.
Baik Ibu Dwia dan Ibu Nuraeni sepakat bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi perlu adanya kesetaraan. Ibu Dwia menjawab, “Perempuan adalah negoisator yang ulung tapi laki-laki menjadi negosiator dengan orientasi win or lose. Dengan strategi mediasi secara persuasif bisa mendapatkan perhatian. Contohnya Ibu Nuraeni yang menghadapi punggawa ataupun pemabuk bisa melakukan pendekatan karena strategi mediasi yang khas perempuan.”Baik Ibu Nuraeni dan Ibu Dwia berpendapat bahwa gerakan feminis yang diklaim merupakan gerakan anti laki-laki adalah salah. Sebenarnya feminis adalah gerakan kebersamaan. Yang dilawan bukan laki-lakinya tapi budaya patriarkinya. Bahkan sudah banyak kaum laki-laki yang sudah menyadari hal ini. ”Contohnya suami saya, yang konsisten berjalan bersama dan berani mengambil resiko dari kesetaraan,” jawab Bu Dwia.
Seiring perkembangan waktu, peluang dan kesempatan bagi perempuan Indonesia di era modernisasi untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan semakin terbuka. Hal ini didukung dan diperkuat oleh beberapa regulasi misalnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Against Women/CEDAW) yang diratifikasi Indonesia menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984 dan Inpres RI no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional.
Terlepas dari kondisi-kondisi diatas, bukan berarti perempuan bisa disepelekan dan dianggap tidak memiliki kapasitas. Justru karena situasi seperti inilah yang memacu semangat perempuan Indonesia untuk terus berkarya dan berbuat untuk suatu perubahan yang lebih baik bagi keluarga maupun masyarakat yang lebih luas. Saat ini, sudah banyak perempuan Indonesia yang sukses diberbagai bidang seperti menduduki posisi penting di pemerintahan, politik, bisnis, sektor pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya. Moderator pun menutup acara dengan kalimat penutup; “Dibalik pria-pria yang hebat terdapat perempuan-perempuan yang hebat.”
Info Tentang Yayasan BaKTI Klik di SINI
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs (Member Yayasan BaKTI)
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar