TOLAK BAKAR SAMPAH_rul+YPBB |
Permohonan uji materiil ini akan diajukan ke Mahkamah
Agung (MA) oleh 15 orang pemohon perorangan yang berasal dari kota-kota yang
menjadi sasaran Perpres
18/2016 dan
6 lembaga swadaya masyarakat yaitu Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, KRuHA, Gita
Pertiwi dan Perkumpulan YPBB.
Ada lima alasan uji materiil mengapa diajukan (1) Bagian terkait
“Percepatan” dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan kerangka hukum
pencegahan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup; (2) Pembatasan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan
teknologi termal dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan sistem pengelolaan
sampah dan tujuan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; (3) Keberadaan
Perpres 18/2016 menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap
lingkungan hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU
Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang
Persisten dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) Bagian
terkait “Percepatan” dalam Perpres 18/2016 merupakan penyalahgunaan kewenangan
Presiden dan para Kepala Daerah yang berpotensi merugikan keuangan negara; dan
(5) Pengundangan Perpres 18/2016 dilakukan tanpa mempertimbangkan Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, khususnya “dapat
dilaksanakan” dan “kedayagunaan dan kehasilgunaan” sehingga bertentangan dengan
Pasal 5 huruf d dan e UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa
“Permohonan Judicial Review yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil ini
sekaligus untuk mengingatkan Presiden RI selaku pemegang mandat konstitusi,
bahwa kebijakan yang dikeluarkan harusnya mengedepankan aspek keselamatan
rakyat dan aspek kehati-hatian dini, bukan sebaliknya. Perpres No. 18/2016 ini
justru mengabaikan aspek keselamatan rakyat dan sangat berisiko tinggi”.
“Dalam skala yang lebih luas, uji materiil ini merupakan sinyal kami kepada
Presiden bahwa masyarakat sipil mengawasi percepatan proyek-proyek
infrastruktur,” ujar Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran
ICEL. “Percepatan tidak boleh mengenyampingkan dampak kesehatan publik dan
lingkungan. Pemerintah harus memastikan proyek-proyek percepatan tidak
bertentangan dengan peraturan lain yang telah dikeluarkan lebih dahulu.”
Dwi Retna Astuti, salah satu pemohon individu yang bertempat tinggal di
Gedebage, Bandung, merasa keberatan dengan diterbitkannya Perpres 18/2016
karena akan mengancam memperburuk kualitas kesehatan dan lingkungan tempat
tinggalnya. Ibu Retna Astuti bertempat tinggal 300 meter dari calon lokasi
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Bandung. Sejak tahun 2006, Sejak mengetahui
rencana pembangunan PLTSa di dekat rumahnya pada tahun 2006, Pemohon semakin
kritis terutama terkait dengan potensi pencemaran udara dan pencemaran air yang
berpotensi berdampak terhadap kesehatannya dan keluarganya.
Selain kelonggaran pengurusan ijin lingkungan, Perpres
18/2016 juga berisiko tinggi mempromosikan teknologi yang belum tentu sesuai
untuk sampah Indonesia. “Teknologi termal yang diarahkan dalam Perpres 18/2016
ini belum melalui kajian kelayakan. Alih-alih mendapatkan bonus listrik yang
diharapkan, ketujuh kota kemungkinan akan mendapat bonus limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3),” ujar Yuyun Ismawati dari BaliFokus. “Proses pengolahan
sampah dengan teknologi termal menghasilkan residu pembakaran berupa abu
terbang, abu serta kerak yang berkarakteristik limbah B3. Jumlahnya cukup
signifikan, bisa mencapai 25% dari jumlah sampah yang dibakar. Implementasi
Perpres 18/2016 di 7 kota dengan teknologi termal diperkirakan akan
menghasilkan limbah B3 baru sebanyak 1750 ton per hari. Pencemaran udara, air
dan tanah diperkirakan akan meningkat dan mengancam hak masyarakat untuk hidup
di lingkungan yang sehat. Balita dan anak-anak, terutama, berisiko tumbuh dan
hidup di lingkungan kota yang tercemar.”
Sementara itu, Asrul Hoesein (Direktur Green Indonesia Foundation Jakarta), salah satu pemohon individu warga Jakarta,
mengajukan keberatan karena kuatir dengan adanya Perpres 18/2016 kesehatan
lingkungan akan menurun dan upaya serta usahanya selama ini mengedukasi
masyarakat untuk mengelola sampah dengan pendekatan ramah lingkungan menjadi sia-sia.
Dari Surakarta, Titik Eka Sasanti, dari Yayasan Gita Pertiwi menyatakan
bahwa “Dalam menghadapi kondisi darurat sampah, solusi dengan teknologi termal
tidak ekologis, tidak ekonomis dan tidak manusiawi,” ujar Titiek. “Edukasi
perlu dilakukan terhadap semua lapisan masyarakat dan semua sektor, termasuk
pemerintah dan pembuat kebijakan, agar kiat mengurangi timbulan sampah,
melakukan pemilahan, memaksimalkan daur ulang, meningkatkan retribusi sampah
dan mengembangkan teknologi zero waste yang sebenarnya sebagai pilihan cerdas
untuk mengatasi sampah.”
“Pemerintah perlu fokus
untuk mempercepat penerapan sistem pengelolaan sampah yang lebih sesuai dengan
UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 yang memperkenalkan “paradigma baru”
pengelolaan sampah secara komprehensif. UU Pengelolaan Sampah mengatur
pengelolaan sampah dari bagian hulu, sebelum suatu produk dibuat. Pertimbangan
disain produk dan potensi akhir menjadi sampah didorong dan meninggalkan
pendekatan yang hanya bertumpu pada pendekatan akhir, kata David Sutasurya,
dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB). “Pemerintah harus
segera menyusun Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sampah Nasional yang telah
terlambat lebih dari 5 tahun”, tambah David.
Informasi lebih lanjut silakan menghubungi:
1. Margaretha Quina (Quina), ICEL (Indonesian Center for
Environmental Law), HP 081287991747, email: margaretha.quina@icel.or.id
2. Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Manajemen
Bencana Eksekutif Nasional WALHI, HP 08156104606, email: dsawung@gmail.com
Sumber:
Request for Judicial
Review of the Presidential Decree No. 18/2016 regarding the Acceleration of
Waste to Energy development in 7 Cities filed to the Supreme Court
Jakarta, July 15, 2016 - A number of civil
society organizations and individuals concerned about waste management and
environmental health, members of the National Coalition Against Mass Burning,
this morning submitting a request for judicial review of the Presidential
Decree No. 18 Year 2016 regarding the Acceleration of the development of
Electricity from Waste Facilities in Jakarta, Tangerang City, Bandung City,
Semarang, Surakarta, Surabaya and Makassar City (hereinafter referred to as
"the Presidential Decree No. 18/2016").
Petition for judicial
review was submitted to the Supreme Court (Mahkamah Agung) by 15 individual
petitioners who come from cities that were targeted by the Presidential Decree
18/2016 and 6 non-governmental organizations, namely the Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (
WALHI), BaliFokus, KRuHA (People’s Coalition for the Rights of Water), Gita
Pertiwi Foundation dan YPBB.
There are five reasons
why the request for a judicial review filed (1) The
"Acceleration" in the Presidential Decree 18/2016 is in contrary to
the legal framework for the prevention of the Act No. 32 of 2009 on the
Protection and Environmental Management; (2) The thermal technology recommended
by the Presidential Decree 18/2016 is contradicting with the waste management
system and the purpose of Law No. 18 of 2008 regarding Solid Waste Management;
(3) The release of the Presidential Decree 18/2016 pose a serious threat that
can not be restored to the environment and human health that contrary to the Health
Law, the Law on Ratification of Stockholm Convention on Persistent Organic and
Protection Act and Environmental Management; (4) The relevant section of
"Acceleration" within the Presidential Decree 18/2016 is an abuse of
authority of the President and the Regional Head that potentially devastating
the financial status of the state and the respective city authorities; and (5)
the promulgation of Presidential Decree 18/2016 conducted without considering
the principle of the establishment of legislation that is sound and just,
especially the "workable" and "usability and effectivity"
are in contrary to Article 5 d and e of Law Establishment of Legislation.
Nur Hidayati, WALHI
National Executive Director, states that "The submission of this request
for Judicial Review filed by the coalition of civil society aims to remind the
President, as the mandate holder of the constitution, that the policy issued
should prioritize people's safety aspects and the precautionary principle, not
vice versa. The Presidential Decree No. 18/2016 ignore the safety aspect of the
people and created a very high risk program."
"In a broader
scale, the judicial review is our signal to the President that the civil
society oversee the acceleration of all infrastructure projects," said
Margaretha Quina, Head of the Pollution Control Division of ICEL. "The
acceleration shall not exclude the impact of the project to public health and
the environment. The government must ensure the acceleration of projects do not
conflict with other regulations that have been issued in advance. "
Retna Dwi Astuti, one of
the individual applicants who reside in Gedebage, Bandung, objecting to the
issuance of Presidential Decree 18/2016 because it would threaten their health
and worsen the environmental quality of the neighborhood. Retna Astuti, a
mother of two, lives 300 meters from the proposed location of Bandung’s waste
incineration plant. Since 2006, knowing that the development of the waste to
energy plant has been designated near her home in 2006, the applicant is
increasingly critical, especially related to potential pollution of air and
water pollution that could potentially have an impact on her health and her
family.
In addition to the
environmental permits leeway, the Presidential Decree 18/2016 also risk
promoting technologies that is not necessarily appropriate for Indonesia’s
trash. "Thermal technology that was recommended by the Presidential Decree
has not been verified and validated for Indonesia’s context. Instead of getting
electricity as the expected output, the seven cities will likely to get a toxic
bonus - a very hazardous and toxic waste (B3)," said Yuyun Ismawati of
BaliFokus. "Waste processing using thermal treatment technology produces
combustion residues such as fly ash, ash and slag that has the toxics
characteristics. The amount is significant enough, up to 25% of the amount of
waste burned. The implementation of the Presidential Decree 18/2016 in 7 cities
with thermal technology is expected to generate new B3 waste as much as 1750
tonnes per day. Pollution of air, water and soil will escalate and threaten the
right of people to live in a healthy environment. Toddlers and children,
especially, will have an increased risk to growing and living in a polluted
urban environment," added Yuyun.
Meanwhile, Asrul
Hoesein, an individual applicant, Jakarta resident, filed an objection with
concern about the declining environmental health. His efforts to educate the
public to manage waste with an environmentally friendly approach to be in vain.
From Surakarta, Titik
Eka Sasanti of the Gita Pertiwi Foundation states that, "In the period of
waste crisis, thermal technology solutions is not ecological, uneconomical and
inhuman," said Titik. "Education needs to be done at all levels of
society and all sectors, including the government and policy makers, in order
to reduce the issue of solid waste, separation, maximizing recycling, improving
waste retribution and developing technology that are genuine zero waste as a
smarter choice to address the waste crisis."
"Government needs
to focus on accelerating the implementation of the waste management system more
in line with the Waste Management Act No. 18 of 2008 which introduced a
"new paradigm" of waste management in a comprehensive manner. Waste
Management Act governing the management of garbage from upstream, before a
product is made. Design considerations and the potential end product of garbage
and approaches that relies not only on the final approach,” said David
Sutasurya, of the Foundation for the Development of Bioscience and
Biotechnology (YPBB). "The government should immediately prepare for the
Policy and the National Solid Waste Management Strategy that was long overdue,
more than five years," added David.
For further details, contact:
1. Margaretha Quina
(Quina), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), HP 081287991747,
email: margaretha.quina@icel.or.id
2. Dwi Sawung, Pengkampanye
Perkotaan dan Manajemen Bencana Eksekutif Nasional WALHI, HP 08156104606,
email: dsawung@gmail.com
Sumber:
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar