Program Jabodetabekjur Zero Waste 2013-2023 |
Menanggapi berita “Problemnya Di Regulasi, Presiden Jokowi: Belum Ada Kota Yang Berhasil Tangani Sampah”, serta menyimak pernyataan serta arahan Presiden Joko Widodo
pada rapat terbatas (ratas) kabinet kerja dalam membahas masalah sampah
di Kantor Presiden, Jakarta (23/6/2015), sungguh miris mendengarnya.
Karena diduga mendapat informasi yang keliru dari pembantu-pembantu
presiden. Khususnya informasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ibu Dr. Siti Nurbaya Bakar,
dimana kementerian ini sebagai leading sector yang mengurus persampahan
dan lingkungan di Indonesia, disamping beberapa kementerian lainnya
yang saat ini ikut pula beramai-ramai. Sehingga nampah seksi urusan
sampah zaman now, termasuk banyak ahli-ahli sampah dadakan yang muncul,
bagaikan pahlawan di siang bolong. (Baca: Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi)
Dalam
ratas kabinet Jokowi, Presiden Joko Widodo menyebutkan, di Indonesia,
problem-problem yang ada lebih banyak di sisi regulasi. “Saya pernah
mencoba menjadi walikota, kesulitan karena regulasi kita yang ruwet. Di
DKI juga sama, karena regulasi yang ada,” ujarnya. (Ikuti dan simak
Jokowi Bicara Sampah Klik YouTube di Sini dan Berita Humas Setkab. Klik di Sini).
Pernyataan
tentang regulasi sampah Pak Jokowi pada ratas kabinet kerja pertama
tersebut, sungguh menarik, karena ternyata Pak Jokowi sendiri merasakan
keruwetan regulasi sampah itu sendiri. Baik pada saat Walikota di Solo
maupun saat Gubernur DKI Jakarta.
Kenapa bisa ruwet (pakai istilah
Pak Jokowi), karena memang senyatanya pemerintah pusat melalui KLHK,
diduga menutup informasi dan arahan pada ruang regulasi agar pemerintah
daerah (pemda) kabupaten dan kota untuk berkreasi, tidak serius
menjalankan regulasi, terkesan membuka ruang "kesempatan" permainan yang
sengaja tidak diaplikasi dengan terbuka. Ahirnya pemahaman dan tradisi
ini menjangkit ke seluruh seluruh Indonesia, itu terjadi sampai
sekarang. Akibat ini pula sehingga setiap ide atau gagasan dari
masyarakat terhambat, ruang ide tertutup oleh oknum-oknum di KLHK itu
sendiri. Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan bahwa “Tidak ada daerah
yang berhasil mengurus sampahnya, tidak ada”.
Itulah penyebabnya
sehingga tidak ada satupun daerah di Indonesia yang full menjalankan
regulasi dengan benar. Dugaan bahwa ide-ide masyarakat sengaja
dipersulit oleh oknum birokrasi agar pengelolaan sampah tetap dimonopoli
dengan pola paradigma lama. Agar tetap seenaknya melakukan pengelolaan
secara terpusat atau sentralisasi. Dengan paradigma lama yang
sentralistik ini, banyak dana-dana sampah mudah dipermainkan. Termasuk
permainan dana tipping fee.
Kondisi keruwetan ini bisa saja
menjangkiti seluruh pemda di Indonesia, kecuali ada pemda yang kritis
dan berani berbeda dalam menyikapi regulasi persampahan dan tidak
menunggu arahan dari pemerintah pusat. Tapi kalau pemda sendiri acuh tak
acuh, apalagi ada dengan mudah menemukan sebuah atau beberapa ruang
“permainan” di persampahan ini, maka terjadilah stagnasi dalam mengemban
amanat regulasi sampah itu sendiri. Seperti yang terjadi sampai
sekarang. Fakta mungkin 90% kabupaten dan kota di Indonesia belum pernah
menyentuh atau merevisi bahkan belum menerbitkan perda pengelolaan
sampahnya sejak UU.18 Tahun 2008 efektif berlaku pada tahun 2013.
Sehingga pengelolaan sampah di semua daerah di Indonesia semacam
pekerjaan monoton saja.
Sebenarnya Pak Jokowi sudah melakukan
perubahan mendasar untuk mengikuti arah regulasi dan berani berinovasi
mengelola sampah Jakarta, sampai mengganti tiga kali kepala dinas
kebersihan Jakarta dalam waktu singkat sebelum menjadi presiden,
ditengarai kepala dinas saat itu tidak mampu mengikuti arah dan kemauan
Pak Jokowi yang akan melakukan perubahan drastis dalam menyelesaikan
sampah Jakarta yang semakin menggunung, sekitar 6.500 ton/hari.
Pak
Jokowi sebenarnya sangatlah faham mengenai sampah. Fakta, telah membuat
terobosan besar mengatasi sampah Jakarta. Dimana tahun pertama menjadi
Gubernur DKI Jakarta, peraturan daerah (perda) pertama yang di teken Pak
Jokowi (10/6/13) setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, adalah Perda No.3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Jakarta
(Pengganti atau Revisi Perda No.5 Tahun 1988 tentang Kebersihan
Lingkungan Dalam Wilayah DKI Jakarta). Lalu pada saat itu, atas usulan
penulis yang berparner dengan dua orang sahabat, yaitu Dr. Ing Benjamin
Abdurrahman dan Wilda Yanti, melalui sebuah presentase pengelolaan
sampah Jakarta di Balaikota Jakarta dan Gedung BKSP Sunter Jakarta
Utara, maka terbentuklah sebuah program “Jabodetabekjur Zero Waste”
dengan bekerja dibawah koordinasi Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
Jabodetabekjur, dibawah komando tiga gubernur (Jawa Barat, Banten dan
DKI Jakarta), untuk menangani 15 kabupaten dan kota, dalam menyiapkan
program pengelolaan sampah berbasis kawasan. Tapi ahirnya stag, karena
dukungan internal birokrasi sendiri sebagai eksekutor dan lintas
kementerian kurang respon. Ini pengalaman langsung penulis bersama Pak
Jokowi dalam menangani sampah Jakarta dan sekitarnya, karena pada saat
itu, kebetulan penulis dipercaya sebagai Sekretaris Tim Manajemen
Program Jabodetabekjur Zero Waste dengan Surat Keputusan BKSP
(2013-2023), waktu itu BKSP diketuai oleh Gubernur Jawa Barat.
Bukan Salah Regulasi, Tapi Salah Kelola Regulasi
Regulasi
sampah Indonesia sudah sangat tepat dan up to date. Justru yang
bermasalah adalah birokrasi pelaksananya saja. Pak Jokowi, tidak perlu
perlu perbaiki regulasi sampah, hanya mental pelaksana yang mis-regulasi
dan diduga koruptif, itu yang perlu di restorasi. Penulis menduga
Menteri LHK, Ibu Dr. Siti Nurbaya Bakar mendapat informasi AIS (Asal Ibu
Senang) dari oknum tertentu, info itu bisa datang dari Direktorat
Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (Ditjen PSLB3) atau
oknum-oknum dari Direktorat Pengelolaan Sampah pada Ditjen PSLB3 KLHK.
Penulis yakini itu, karena beberapa kebijakan penulis sempat kritis dan
sumbang-saran secara langsung kepada KLHK khususnya pada Ditjen PSLB3
yang membidangi persampahan, antara lain kebijakan Kantong Plastik
Berbayar (KPB), Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan
PLTSa, Pelaksanaan Adipura dll. Karena penulis menduga semua ini terjadi
mis regulasi dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of
power). Makanya itu penulis sangat paham, bahwa bukan regulasi yang
bermasalah, tapi oknum-oknum di kementerian yang bermasalah, termasuk di
pemda kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Berdasar kondisi
laporan yang tidak valid tersebut, maka sampai juga tentunya kepada
Presiden Jokowi bahwa regulasi yang mengganggu pengelolaan sampah di
Indonesia. Alibi dari informasi ini adalah terbitnya Perpres 18 Tahun
2016 Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah
di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya
dan Makassar. Padahal walau tanpa perpres ini, bisa saja terjadi
pembangunan infrastruktur persampahan dengan berdasar regulasi yang ada
terdahulu. Namun Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa inipun telah
digugat oleh Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah (penulis termasuk salah
seorang penggugat didalamnya) ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016
dan selanjutnya MA mencabut perpres listrik sampah tersebut.
Sampai
sekarangpun KLHK yang dikuatkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman dan
Kemenko Bidang Ekonomi, Kementerian ESDM tetap selalu berusaha
memunculkan dan/atau berkeinginan menerbitkan kembali perpres listrik
sampah dengan segala upayanya, seakan dipaksa-paksakan (begitu kami baca
disetiap presentase kementerian tentang PLTSa ini). Sungguh kasian dan
muak melihat tingkah-polah oknum birokrasi seperti ini. Semoga Presiden
Jokowi tidak menyetujui lagi kebijakan yang mis regulasi itu. Karena
pelanggaran atas UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah ini
berpotensi digugat secara pidana, bukan hanya menggugat pencabutan atau
pengguguran di Mahkamah Agung. Ingat bahwa Pasal 13 UU. 18 Tahun 2008
itu menggunakan klausul “wajib”. Sangat memungkinkan penggunaan upaya
pidana bagi pelanggaran undang-undang persampahan ?!.
Perlu penulis jelaskan bahwa regulasi sampah sudah sangat komprehensif. Perundangan utama persampahan adalah UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
sesungguhnya undang-undang ini sudah mempunyai turunan untuk
pelaksanaannya di daerah, hanya perlu dikuatkan dengan perda yang
mengacu pada regulasi sampah nasional, antara lain turunannya :
- Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
- Permendagri 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (namun permendagri ini sudah dicabut oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada bulan Juni 2016), Pencabutan ini keliru karena tanpa alasan yang jelas oleh kemendagri. Permendagri ini sangat dibutuhkan untuk pedoman pemerintah daerah dalam mengelola sampah. juga menjadi kekuatan pemda untuk bergerak dalam mengawal UU.18 Tahun 2008 tsb. Maka sepantasnya permendagri ini dihidupkan kembali (sebagai catatan dan usulan).
- PerMen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah (permen ini juga seperti dilacikan oleh birokrasi)
- Permen PU Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (permen ini hampir tidak dilirik dan diaplikasi oleh KLHK dan PUPera sendiri secara serius)
- Regulasi penunjang lainnya misalnya tentang limbah Berbau, Berbahaya dan Beracun (B3) Industri, Limbah medis dll. semua sudah ada dan lengkap, hanya perlu disinergikan antar turunan regulasi tersebut. Nah bila pengelolaan sampah B3 dan Medis atau rumah sakit ini dijalankan, tanpa mengikuti arah regulasi induk. Maka jelas sebuah pelanggaran pidana.
Makanya selalu penulis
dalam kapasitas sebagai pemerhati sampah, sampaikan di setiap pertemuan
dengan pemerintah dan pemda termasuk di banyak tulisan atau opini, media
cetak mainstream lainnya dan media elektronik, bahwa regulasi sampah
sudah cukup bagus dan komprehensif. Cuma regulasi ini tidak dijalankan
dengan benar dan fokus oleh pemerintah dan pemda, khususnya Pasal 13 UU.
18 Tahun 2008.tersebut. Pasal 13 ini seperti dilacikan, karena menjadi
“pencegah” perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme secara massif. Karena
out put Pasal 13 ini adalah setiap pengelola atau penguasa kawasan
wajib memilah dan/atau mengelola sampahnya dengan melibatkan masyarakat
sekitarnya. Jelas terjadi minimalisasi sampah ke Tempat Pembuangan
sampah Ahir (TPA), bahkan akan terjadi minimasi sampah ke Tempat
Pembuangan sampah Sementara (TPS).
“Pengelolaan sampah di luar negeri, termasuk beberapa negara yang pernah penulis survey, semua mencerminkan regulasi sampah Indonesia, termasuk Singapore, Korea Selatan, Jepang, Thailand. dll. Kadang penulis iri pada negara-negara tersebut, karena sepertinya mereka copas regulasi Indonesia, dimana kita tidak menjalankannya. Tapi ternyata dalam amatan penulis di luar negeri, orientasi birokrasi luar negeri itu pada proses, mereka menghargai proses, bukan pada hasil. Walau mereka tidak miliki seabrek regulasi seperti Indonesia. Mereka jujur dan berkarakter dalam menjalankan tugasnya. Itu perbedaan signifikan dengan Indonesia, yang berorientasi hasil. Ujungnya terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”
Kenapa dan Ada Apa Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 terkesan di“musuh”i oknum birokrasi dan mitranya ?
Karena bila Pasal 13 ini dijalankan, maka:
Karena bila Pasal 13 ini dijalankan, maka:
PERTAMA;
Pengelolaan sampah tidak sepenuhnya dikuasai oleh Dinas Lingkungan
Hidup dan Kebersihan, tapi akan diserahkan sebagian pekerjaan itu di
masing-masing kawasan (sesuai bunyi pasal tersebut), atau kepada
kelompok pengelola sampah atau pengelola Bank Sampah, tentu dengan
koordinasi Camat, Lurah/Desa. SKPD terkait lebih berfungsi atau memiliki
tugas pada fasilitasi, monitoring dan evaluasi yang tidak lagi menjadi
eksekutor utama. Tantangannya; karena otomatis fulusnya kurang ditingkat
SKPD dan/atau Bupati atau Walikota untuk dikuasai. Terjadi penyerahan
sebagian besar urusan persampahan kepada pemerintah terdepan
(Camat/Desa/Kelurahan), Silakan baca semua regulasi yang telah penulis
sebut diatas.
KEDUA; Secara bertahap, sampah
sangat minim diangkut ke TPA, karena dikelola dikawasan, dengan prinsip
sampah hari itu diselesaikan hari itu juga. Artinya angkutan sampah ke
TPA ini, banyak dana terserap dan potensi dipermainkan dalam anguktan
sampah, termasuk pengadaan mobil atau sarana angkutan sampah lainnya,
semua ini tidak diinginkan oleh SKPD terkait.
KETIGA;
Dana pengelolaan sampah di TPA akan berkurang (berarti minim peluang
permainan di TPA). Bila operasionalisasi sampah terpusat di TPA, sangat
banyak dana bisa menguap dan memang sangat mudah dipermainkan, yaitu
mulai dari tiping fee, pengadaan alat berat, permainan volume sampah
yang masuk yang diangkut dan tidak diangkut ke TPA (permainan angkutan)
sampai kepada permainan Dana Kompensasi Warga Terdampak TPA. Dana-dana
semua ini sangat rentan dipermainkan oleh oknum-oknum terkait dalam
pengelolaan sampah.
Masih banyak indikasi lain (pengadaan
prasarana dan sarana persampahan dll) atas ketidaksetujuan birokrasi
elit bila Pasal 13 ini dijalankan dengan jujur dan bertanggungjawab.
Peluang atau kesempatan untuk kongkalikong antara penguasa dan pengusaha
akan hilang, karena terjadi pencegahan korupsi oleh pelaksanaan Pasal
13 UU 18 Tahun 2008 tersebut.
Padahal, bila Pasal 13 UU.18
Tahun 2008 dilaksanakan dengan benar berarti akan terjadi progres
"Paradigma Baru Kelola Sampah" atau "Stop Sampah ke TPA" atau terjadi
optimalisasi fungsi TPS. Secara otomatis akan terbuka lapangan kerja
baru dan sumber ekonomi baru masyarakat dan termasuk sumber PAD baru
bagi daerah yang bersangkutan. Begitu hebatnya regulasi sampah bila di
jalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Beginilah seharusnya
amanat regulasi persampahan yang ada itu. Sungguh hebat regulasi sampah
ini yang merupakan produk pemerintahan SBY-JK pada tahun 2008. Regulasi
yang baru pertama kali terbit sejak Indonesia Merdeka.
Sesungguhnya
apa yang Presiden Jokowi harapkan agar pengolahan sampah ini dapat
menjadi sebuah program yang sangat penting dan pengelolaannya bisa
dilakukan terpadu, sistemik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah,
masyarakat dan dunia usaha. Itu tidaklah susah bila stakeholde
persampahan Indonesia (pusat dan daerah) kembali sadar menjalankan
perundang-undangan yang ada. “Yang paling penting, pengolahan sampah
memberikan manfaat baik secara ekonomi dan tentu saja sehat lingkungan
bagi masyarakat, Dan yang paling penting, dapat mengubah perilaku
masyarakat,” tegas Presiden Jokowi. Apa yang diungkapkan Presiden Jokowi
ini, adalah amanat regulasi itu sendiri.
"Pertanyaannya, dimana letak “Permasalahan dan Kekurangan Regulasi Sampah ini, yang dipersoalkan ? Kenapa setiap kebijakan KLHK mendapat resistensi, ya karena melabrak regulasi sampah yang pro-rakyat, pro-pengusaha, pro-industri serta pro-investasi. Terkecuali tidak Pro-Koruptor. Itulah napas dan kehendak regulasi sampah yang ada sejak tahun 2008"
Pelaksana Regulasi Sampah Perlu Revolusi Mental
Harapan
penulis menyingkap tabir regulasi sampah Indonesia ini, agar semua
pihak membuka mata dan telinga dalam mengatasi sampah yang penuh
intrik-intrik, juga semata untuk mengungkap kebenaran. Jangan sampai
Presiden Jokowi ikut larut dalam ketidakpastian menyikapi persampahan
ini. Terkhusus dengan adanya tulisan ini, masyarakat memahami kondisi
persampahan Indonesia yang sebenarnya, serta memahami hak dan
kewajibannya dalam menyikapi sampah. Masyarakat mempunyai hak dalam
regulasi sampah, bukan cuma kewajiban semata. Karena tanpa menjalankan
regulasi sampah tersebut mustahil target pemerintah tercapai pada tahun
2020 untuk Indonesia Bebas Sampah.
Coba bayangkan Ratas Pertama Kabinet Kerja Jokowi-JK pada tahun 2015 (terlampir YouTube Ratas Kabinet) sampai pada Ratas Kabinet Teakhir di Bandung (16/1/2018).
Dari ratas pertama dan terakhir, tidak ada perubahan substansi bahasan,
semisal evaluasi program yang telah berjalan atas follow up ratas
pertama. Ingat antara ratas pertama dan terahir itu pemerintah pusat
sabang hari rapat, FGD, seminar dan semacamnya hanya mencari dan mencari
solusi, kami fahami semua ini. Karena penulis sering pula diundang
sebagai narasumber atau peserta. Solusi yang diberikan oleh masyarakat
(termasuk solusi dari penulis) itu diabaikan. Kenapa diabaikan, ya
karena solusi berbasis Pasal 13 tersebut. Itu masalahnya. Maka sejarah
mencatat, solusi cerdas dan amanah yang penulis sumbangkan pada republik
ini, tersimpan rapi, dilaci-laci oknum tertentu masing-masing di kantor
lintas kementerian. Termasuk kritisi dan solusi sampah kami berikan dan
kirimkan kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
[Rekomendasi] Solusi Sampah Indonesia
Berdasar
carut-marut pengelolaan sampah di tingkat birokrasi elit tersebut
diatas, maka kami mengusulkan solusi berkelanjutan (efektif dan efisien
sesuai regulasi) dalam mengatasi sampah Indonesia, sebagai berikut:
- Terbitkan Perpres atau Nota Perintah Presiden tentang Penguatan Pelaksanaan Regulasi Persampahan, khususnya penguatan Pasal 13 UU.18 Tahun 2008, untuki ditindaklanjuti oleh pemda, atau
- Bentuk Satuan Kerja yang bekerja dibawah dan/atau bertanggungjawab langsung kepada presiden, atau
- Bentuk Badan Pengelola Sampah Nasional.
- Terlebih penting dan sangat penting, adalah keterbukaan dan kerelaan hati semua stakeholder, lebih khusus pada birokrasi, pemerhati dan lembaga penggiat sampah dan lingkungan serta akademisi untuk “berbesar hati” menjalankan regulasi yang telah ada itu. Jangan sembarang merekomendasi tanpa dasar yang kuat. Karena kitalah yang sesungguhnya diamanahkan oleh Tuhan YMK serta seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi lokomotif perubahan dan menjadi panutan perubahan paradigma dalam urusan persampahan ini.
- Sesusngguhnya tanpa pun regulasi bila kita sadar-sedarnya, masalah sampah ini sangatlah mudah kita atasi. Tidak perlulah Presiden Jokowi turun tangan mengatasinya. Malu rasanya menyaksikan Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet membahas solusi sampah yang tidak ada ujung-pangkalnya. Sungguh masalah ini sangatlah sederhana, yang membuat ruwet adalah cara pandang kita menghadapi dunia yang fana.
Sebelum dilaksanakan salah
satu solusi tersebut, kami usulkan kepada Presiden Joko Widodo, untuk
mengarahkan sekali lagi diadakan pertemuan lintas menteri yang dihadiri
oleh pemerhati atau lembaga non pemerintah yang independen, untuk
menguji kebenaran dugaan penulis ini. Agar jangan sembarang menerbitkan
kebijakan berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Mari
berpikir.....!!!
Berita Terkait:- Problemnya Di Regulasi, Presiden Jokowi: Belum Ada Kota Yang Berhasil Tangani Sampah.
- Catatan untuk Presiden Jokowi Terkait Revitalisasi Sungai Citarum.
- Petisi Presiden Jokowi, Indonesia Butuh Badan Persampahan.
- Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi.
- [YouTube] Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi.
- [YouTube] Presiden Jokowi Bicara Tentang Sampah di Ratas Kabinet Kerja.
- [Petisi] Presiden Joko Widodo "Bentuk Badan Pengelola Sampah Nasional”
- Kepada Media Cetak dan Elektronik, ingin penjelasan lebih detail, silakan kontak - sms-wa - dengan nomor tertera dibawah (termasuk mahasiswa/i untuk kebutuhan karya ilmiah atau karya tulis, kami siap share membantu Adik-adik)
Green Indonesia Foundation
H.Asrul Hoesein
08119772131, 081287783331
0 komentar :
Posting Komentar