Perpres PLTSa Digugat ke MA [dok_Asrul] |
WinNetNews.com (15 Juli 2016) - Beberapa
organisasi masyarakat sipil dan individu yang bergerak di bidang
pengelolaan sampah dan lingkungan hidup yang tergabung di Koalisi
Nasional Tolak Bakar Sampah pada Jumat (15/7) mendaftarkan permohonan
uji materiil kepada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di tujuh kota.
Tujuh kota tersebut yakni Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
Permohonan uji materiil ini bakal
diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh 15 orang pemohon perorangan yang
berasal dari kota-kota yang menjadi sasaran Perpres 18/2016 dan lima
lembaga swadaya masyarakat yaitu Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, KRuHA dan
Gita Pertiwi.
“Permohonan Judicial Review yang diajukan oleh koalisi
masyarakat sipil ini sekaligus untuk mengingatkan Presiden RI selaku
pemegang mandat konstitusi, bahwa kebijakan yang dikeluarkan harusnya
mengedepankan aspek keselamatan rakyat dan aspek kehati-hatian dini,
bukan sebaliknya. Perpres No. 18/2016 ini justru mengabaikan aspek
keselamatan rakyat dan sangat berisiko tinggi," terang Nur Hidayati,
Direktur Eksekutif Nasional WALHI melalui siaran resminya pada Jumat
(15/7).
Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, menegaskan dalam skala yang lebih luas, uji materiil ini adalah sinyal mereka kepada Presiden bahwa masyarakat sipil mengawasi percepatan proyek-proyek infrastruktur. Menurut dia percepatan tak boleh mengesampingkan dampak kesehatan publik dan lingkungan. Pemerintah harus pastikan proyek-proyek percepatan tak bertentangan dengan peraturan lain yang telah dikeluarkan lebih dahulu.
Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, menegaskan dalam skala yang lebih luas, uji materiil ini adalah sinyal mereka kepada Presiden bahwa masyarakat sipil mengawasi percepatan proyek-proyek infrastruktur. Menurut dia percepatan tak boleh mengesampingkan dampak kesehatan publik dan lingkungan. Pemerintah harus pastikan proyek-proyek percepatan tak bertentangan dengan peraturan lain yang telah dikeluarkan lebih dahulu.
Dwi Retna Astuti, salah satu
pemohon individu yang bertempat tinggal di Gedebage, Bandung, merasa
keberatan dengan diterbitkannya Perpres 18/2016 sebab akan mengancam dan
memperburuk kualitas kesehatan dan lingkungan tempat tinggalnya.
Sebagai informasi, Retna Astuti bertempat tinggal 300 meter dari calon
lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Bandung. Semenjak tahun 2006 dan
mengetahui rencana pembangunan PLTSa di dekat rumahnya pada tahun 2006,
pemohon semakin kritis terutama terkait dengan potensi pencemaran udara
dan pencemaran air yang berpotensi berdampak terhadap kesehatannya dan
keluarganya.
Sedangkan, Asrul Hoesein, salah satu pemohon individu warga
Jakarta, mengajukan keberatan sebab khawatir dengan adanya Perpres
18/2016 itu kesehatan lingkungan bakal menurun dan upaya serta usahanya
selama ini mengedukasi masyarakat untuk mengelola sampah dengan
pendekatan ramah lingkungan jadi sia-sia.
Sedangkan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengungkapkan bahwa ada sejumlah kendala yang membuat PLTSa selama bertahun-tahun lamanya tak begitu banyak terbangun di Indonesia. Salah satu hambatan utamanya adalah penguasaan sampah. Sampah biasanya dianggap tidak bernilai, bebas dipungut. Tetapi ketika akan dijadikan sumber energi, akan ada pihak-pihak yang mengklaim menguasai sampah tersebut dan meminta pengembang PLTSa untuk membeli sampah."Begitu sampah bisa menjadi duit, makin susah mengumpulkannya," kata Ridak usai konferensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/5/2016).
Sedangkan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengungkapkan bahwa ada sejumlah kendala yang membuat PLTSa selama bertahun-tahun lamanya tak begitu banyak terbangun di Indonesia. Salah satu hambatan utamanya adalah penguasaan sampah. Sampah biasanya dianggap tidak bernilai, bebas dipungut. Tetapi ketika akan dijadikan sumber energi, akan ada pihak-pihak yang mengklaim menguasai sampah tersebut dan meminta pengembang PLTSa untuk membeli sampah."Begitu sampah bisa menjadi duit, makin susah mengumpulkannya," kata Ridak usai konferensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/5/2016).
Salah satu kunci
keberhasilan untuk pengembangan PLTSa adalah penguasaan sampah oleh
pengembang listrik (Independent Power Producer/IPP). Inilah yang membuat
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani berhasil membangun PLTSa di kotanya.
Berkaca dari hal tersebut, maka Perpres Nomor 18 Tahun 2016 menetapkan
bahwa pengembang listrik dan pengolah sampah kota harus dipegang 1
perusahaan. Ini dilakukan supaya tidak ada pihak-pihak yang mengklaim
hak atas sampah yang diolah untuk listrik.
Sumber: Winnetnews
Baca postingan terkait Opini Prokontra Listrik Sampah
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar