Konvensi Stockholm [dok_Asrul] |
Setelah hampir delapan tahun sejak
menandatangani Konvensi Stockholm, akhirnya Indonesia akan segera
meratifikasi Konvensi Stockholm, mengikuti 163 negara lain yang telah
meratifikasinya. Pada tanggal 12 Mei 2009 Sidang Paripurna DPR-RI
memutuskan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi
Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten) menjadi
undang-undang.
Sepuluh fraksi di Komisi VII DPR-RI
yaitu Fraksi Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Kebangkitan Bangsa,
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi,
Fraksi Partai Bintang Reformasi, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi
Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi
Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan memberikan
pandangan akhir yang menyetujui usulan Pemerintah untuk meratifikasi
Konvensi Stockholm. Sebelumnya pada tanggal 6 Mei 2009, 10 fraksi
tersebut telah menandatangani naskah RUU Pengesahan Konvensi Stockholm
bersama-sama dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dan
Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda.
Konvensi Stockholm berkaitan sekali
dengan bahan pencemar organik persisten, yaitu senyawa kimia yang
memiliki sifat-sifat persisten atau tidak mudah mengalami degradasi,
bioakumulatif atau cenderung mengalami akumulasi pada sistem lingkungan
terestrial dan akuatik serta dapat berpindah lintas batas negara dan
benua (long-range transboundary movement). Bahan pencemar organik
persisten atau biasa disebut bahan POPs tersebut, dewasa ini banyak
digunakan manusia seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun demikian, bahan POPs dapat mengakibatkan dampak negatif
pada lingkungan dan kesehatan manusia baik secara langsung atau melalui
rantai makanan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh negara-negara maju, paparan bahan POPs dalam jangka
panjang dapat menyebabkan antara lain penyakit kanker, kerusakan pada
sistem susunan saraf, sistem kekebalan tubuh, gangguan sistem reproduksi
dan perkembangan pada bayi dan balita walaupun dalam konsentrasi yang
sangat rendah. Selain itu, paparan bahan POPs pada lingkungan dapat
menyebabkan penurunan populasi burung, ikan, dan penipisan sel kulit
telur burung pemakan ikan.
Saat ini terdapat dua belas jenis
senyawa kimia yang memenuhi kriteria sebagai bahan POPs atau yang
dikenal dengan nama the dirty dozen. Kedua belas senyawa kimia tersebut
diklasifikasikan sebagai POPs pestisida, POPs bahan industri, dan POPs
yang terbentuk tidak sengaja dari kegiatan manusia. Yang termasuk POPs
pestisida adalah Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endrin, Heptachlor,
Mirex, dan Toxaphene. Adapun Hexachlorobenzene (HCB) merupakan bahan
POPs yang digunakan dalam kegiatan industri sedangkan Polychlorinated
Biphenyls (PCBs) digunakan sebagai minyak trafo dan kapasitor. Dioxin
(PCDDs) dan furan (PCDFs) merupakan hasil samping proses pembakaran yang
tidak sempurna dari kegiatan industri atau kegiatan lainnya, seperti
pembakaran sampah dan kebakaran hutan.
Kekhawatiran akan dampak beredarnya
bahan POPs mendorong negara-negara menyepakati pengaturan pelarangan
penggunaan 12 bahan POPs pada tahun 2001 dalam Stockholm Convention on
Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar
Organik yang Persisten). Konvensi Stockholm diadopsi pada tanggal 23
Mei 2001 oleh 151 negara termasuk Indonesia dan berlaku pada tanggal 17
Mei 2004.
Ratifikasi Konvensi Stockholm
merupakan langkah menuju keanggotaan Indonesia sebagai negara pihak pada
Konvensi Stockholm. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan ini
antara lain adalah sebagai berikut.
-
Pada aspek keamanan, sebagai negara kepulauan yang terletak pada lintasan di antara dua benua, Indonesia dinilai rawan sebagai jalur transit perpindahan bahan POPs dengan sengaja. Melalui ratifikasi Konvensi Stockholm, diharapkan perlindungan terhadap keamanan nasional Indonesia dari pengaruh bahan POPs dapat ditingkatkan, sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Stockholm.
-
Ratifikasi Konvensi Stockholm akan meningkatkan status Indonesia menjadi negara pihak. Status Indonesia sebagai negara pihak akan memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan kebijakan di tingkat internasional mengenai POPs sesuai dengan kepentingan nasional.
-
Sebagai negara pihak, Indonesia dapat memanfaatkan program-program bantuan teknis dan bantuan finansial dari Konvensi Stockholm. Salah satu bantuan teknis yang dapat digunakan Pemerintah adalah pemanfaatan Clearing House Mechanism. Mekanisme ini dirancang untuk membantu negara pihak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perumusan kebijakan yang tepat untuk mengurangi atau menghapuskan pelepasan POPs ke lingkungan, dengan menyediakan informasi yang transparan, netral, efisien dan user friendly.
Dengan diratifikasinya Konvensi
Stockholm, secara teknis dan ekonomis tidak akan mempengaruhi
berjalannya dunia industri nasional, karena sepuluh bahan POPs telah
dilarang penggunaannya sejak tahun 2001, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Baracun. Adapun bahan POPs yang dihasilkan secara tidak
sengaja, terutama dioxin dan furan, pengurangan dan penghapusannya tidak
akan diterapkan secara langsung atau serta merta melainkan secara
bertahap sesuai dengan kondisi dan berdasarkan teknologi yang tersedia
serta dapat diterapkan (best available technique and best environmental
practices). /AHS
Sumber: web KLHK
Asisten Deputi Urusan Pengembangan Peraturan Perundang-undangan dan Perjanjian Internasional
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Jalan D.I. Panjaitan Kav.24, Gedung A Lt. V
Jakarta Timur
Telepon/faksimili (021-8517185),
e-mail: azidnurhuda@yahoo.com
0 komentar :
Posting Komentar