Masa uji coba kebijakan “Kantong Plastik Tidak Gratis” (surat edaran
nomor S. 1230/PSLB3-PS/2016) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diterapkan oleh 22 kota dan 1
provinsi, telah berakhir pada tanggal 31 Mei 2016, semenjak pertama
diluncurkan pada tanggal 21 Februari 2016.
Konsumen, utamanya yang tahu betul mengenai bahaya sampah plastik
terhadap lingkungan dan reputasi Indonesia di mata internasional
(Indonesia mendapatkan peringkat kedua pembuang sampah plastik di
lautan), memberikan dukungan positif terhadap kebijakan ini, walau tak
diragukan terjadi resistensi di beberapa daerah. Namun secara umum,
kebijakan ini berhasil memberikan pengetahuan dan memicu kesadaran
masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah: apa yang terjadi manakala
masa uji coba ini berakhir? Dan bagaimana hasilnya selama kebijakan
“Kantong Plastik Tidak Gratis” diterapkan?
Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada
tanggal 5 Juni, KLHK mengadakan acara Pekan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan 2016 di Jakarta Convention Centre. Salah satu kegiatan dalam
rangkaian acara tersebut adalah “Dialog Kantong Plastik: Gratis VS
Berbayar” pada hari Jumat, 10 Juni 2016.
Tujuan daripada dialog ini adalah untuk membentuk pemahaman publik
terkait pentingnya mengurangi penggunaan kantong plastik, menangkap
aspirasi publik mengenai kebijakan kantong plastik tidak lagi gratis,
memberikan contoh kepada publik mengenai perilaku yang mencerminkan
pembatasan kantong plastik, dan mendorong pihak retail modern untuk
membatasi penggunaan kantong plastik dengan tidak memberikan kantong
plastik secara gratis. Dialog tersebut dihadiri oleh akademisi, media,
pengusaha, asosiasi, komunitas, NGO, dan masyarakat umum lainnya.
Acara dimulai dengan video yang menunjukkan bahaya sampah plastik dan
MC Rahyang Nusantara, Koordinator Harian Gerakan Indonesia Diet Kantong
Plastik (GIDKP), yang menyambut semua audiens. Dialog secara resmi
dibuka dengan sambutan dari Bapak Sudirman, Direktur Persampahan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mempertegas
komitmen pemerintah (KLHK) untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya
kantong plastik melalui, antara lain, kebijakan pemerintah, dan
menyampaikan observasi lapangan setelah satu bulan penerapan kebijakan
tersebut. Hasilnya sebagai berikut:
- Sebanyak 21 dari 27 kota melaksanakan uji coba penerapan kantong plastik tidak gratis sesuai surat edaran KLHK. Kota Surakarta dan 5 kota administratif di Provinsi DKI Jakarta tidak menerapkan uji coba karena memiliki kebijakan yang berbeda dari KLHK.
- Sebanyak 22 dari 27 kota telah melakukan sosialisasi uji coba penerapan kantong plastik tidak gratis kepada Pengusaha Ritel dan Masyarakat. Ada 5 kota administratif di Provinsi DKI tidak melakukan sosialisasi.
- Sebanyak 22 dari 27 kota telah mengeluarkan kebijakan daerah dalam bentuk Perda (Bandung, sejak 2012 dan saat ini sedang menyusun Peraturan Walikota), surat edaran walikota (Ambon, Balikpapan, Depok, Makassar, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Semarang), draft Peraturan Gubernur (Provinsi DKI Jakarta), dan draft Peraturan Walikota (Banda Aceh, Bekasi, Banjarmasin, Kendari, Yogyakarta, Malang, dan Jayapura.)
- Sebanyak 15 dari 21 kota menerapkan harga kantong plastik Rp200,¬ Sebanyak 6 kota menetapkan harga yang berbeda. Namun demikian temuan di lapangan, toko/ritel anggota APRINDO seluruhnya menetapkan harga kantong plastik yang sama yaitu Rp 200.
- 5. Sebanyak 21 dari 27 kota telah menginventarisasi data jumlah gerai ritel modern baik yang anggota APRINDO maupun yang bukan.
- Seluruh PEMDA BELUM menginventarisasi data dan jumlah penggunaan kantong plastik di gerai ritel modern baik yang anggota APRINDO maupun yang bukan.
- MC memanggil moderator Nadia Mulya, penulis dan presenter, yang tengah hamil sembilan bulan dan menyampaikan bahwa anak-anaknyalah yang mendorong dirinya untuk menjadi relawan Diet Kantong Plastik, sebagai aksi nyata untuk mewariskan Indonesia yang (lebih) hijau untuk generasi mendatang.
Dialog dimulai dengan mengundang para narasumber:
− Bpk. Yosef Adityo, General Manager Corporate Secretary Gramedia,
− Bpk. Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo),
− Dinni Septianingrum, pendiri Seasoldier,
− Nadine Chandrawinata, pendiri Seasoldier.
− Bpk. Yosef Adityo, General Manager Corporate Secretary Gramedia,
− Bpk. Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo),
− Dinni Septianingrum, pendiri Seasoldier,
− Nadine Chandrawinata, pendiri Seasoldier.
(Dari kiri ke kanan : Bpk Sudirman (Direktur Persampahan KLHK); Bpk
Yosef Adityo (General Manager Corporate Secretary Gramedia); Bpk Roy
Mande (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia); Dinni
Septianingrum (Seasoldier); Nadine Chandrawinata (Seasoldier); Nadia
Mulya (DKP Ranger dan moderator); dan Bpk Hamdi (Kepala BLH
Banjarmasin).
Kesempatan pertama diberikan kepada Bpk. Yosef yang menceritakan
Gramedia sudah sejak lama menjual kantong belanja bahan, bahkan telah
melakukan berbagai variasi seperti kantong belanja bahan dengan aneka
motif yang dapat diwarnai, sesuai dengan tren adult coloring book
yang tengah digandrungi saat ini. Kendati demikian, Gramedia menjumpai
beberapa resistensi dari masyarakat, utamanya di daerah, ketika kasir
memberitahukan bahwa kantong plastik kini dihargakan Rp 200. Ada kasus
dimana konsumen tidak jadi membeli dan ada pula yang melempar buku ke
kasir! Bpk. Yosef mengeluhkan tidak mendapatkan panduan baku mengenai
penjelasan apa yang sebaiknya diberikan kepada konsumen agar mereka bisa
lebih menerima kebijakan ini, termasuk menjelaskan bagaimana bentuk
harga Rp 200 per kantong plastik yang akhirnya disimpulkan konsumen
sebagai keuntungan bagi toko. Beliau juga berharap agar penjelasan itu
bersifat seragam antar semua peritel agar lebih efektif lagi mengedukasi
konsumen.
Mencatat kendala yang dihadapi oleh Gramedia, moderator kemudian
meminta Nadine dan Dinni untuk menceritakan mengenai latar belakang
pendirian Seasoldier, lingkup pekerjaannya dan temuan di lapangan
mengenai sampah plastik. Seperti diketahui, saat ini terbentuk suatu
“pulau buatan” dari sampah plastik yang terbawa arus dan berkumpul di
lautan Pasifik utara yang dikenal dengan nama “The Great Pacific Garbage
Patch” atau “Pacific Trash Vortex.” Luas pastinya tidak diketahui,
tetapi estimasi mencatat hingga 700.000 km2! Bila Indonesia adalah
penyumbang kedua terbanyak sampah plastik di lautan, terbayang banyak
diantara sampah plastik tersebut adalah merek produk rumah tangga
Indonesia. Sungguh memalukan.
Seasoldier didirikan sebagai bentuk cinta lingkungan, utamanya lautan
beserta semua biotanya, yang menjadi kekayaan bangsa ini. Saat ini
tercatat sekitar 500 anggota dan ratusan lagi simpatisan. Setiap anggota
mendapatkan nomor untuk menunjukkan keterlibatan dan komitmennya dan
rajin posting kegiatan positif di sosial media dengan tujuan mengedukasi dan menyebarkan virus melestarikan lingkungan.
Walau namanya adalah Seasoldier alias pendekar lautan, fokus mereka
juga ke daratan. Karena di daratanlah (hulu) sumber sampah itu mengalir
ke hilir hingga akhirnya mencemari laut. Nadine dan Dinni melaporkan
jumlah sampah (plastik) baik di lautan maupun di daratan kian
mengenaskan. Dan perilaku masyarakat sekitar serta turis, yang
sebelumnya hormat dengan keindahan alam, makin mengalami pergeseran
dengan membuang sampah sembarangan dan aksi lain yang mencemar
lingkungan. Hal ini sangat disayangkan Nadine, karena menurutnya
Indonesia kaya akan kearifan lokal yang dapat menjadi solusi terhadap
masalah sampah plastik. Contohnya di Papua, masyarakat terbiasa
menggunakan Noken (semacam reusable bag) jauh sebelum isu ini mencuat.
Seasoldier merupakan satu dari sekian komunitas yang mendukung kebijakan
kantong plastik tidak gratis, dan menantikan kepastian selanjutnya.
Selanjutnya moderator mempersilakan Bpk. Roy Mande untuk menyampaikan
pelaksanaan kebijakan pada anggotanya. Anggota Aprindo meliputi 35.000
toko yang terbentang di 514 kabupaten/kota dari Aceh hingga Jayapura,
dengan 70 DPD/DPC. Aprindo mendukung kebijakan kantong plastik tidak
gratis dengan secara sukarela men-training para front liner (kasir) dan menyediakan promotional/educational tools
(alat peraga di setiap kasir, X banner, dan lain-lain), namun
mengeluhkan kebijakan yang bersifat parsial (hanya 22 kabupaten/kota)
maka mengalami kesulitan dalam sistem. Setiap toko bersifat jaringan,
sehingga perlu dilakukan adjustment yang bersifat sementara. Dan setelah
masa uji coba, banyak anggota kembali memberikan kantong plastik secara
cuma-cuma dikarenakan tidak adanya surat resmi dari Kementerian
mengenai kelanjutan. Beberapa anggota yang berinisiatif tetap
memberlakukan harga Rp 200 per kantong plastik, mendapat reaksi keras
dari beberapa konsumen.
Oleh karena itu, Bpk. Roy juga senada dengan Bpk. Yosef mengenai
akuntabilitas Rp 200 yang dikenakan pada kantong plastik. Beliau
menyampaikan bahwa ia dan front liner dari semua ritel yang
bergabung di bawah Aprindo, sama halnya seperti yang dihadapi Gramedia,
harus menghadapi tuduhan peritel memperkaya diri. Maka dari itu
pentingnya meluruskan istilah BERBAYAR. Karena, istilah itu memberikan
konotasi bahwa ada pihak yang menerima pembayaran atau diuntungkan.
Menanggapi berbagai kendala selama ini, Bpk. Yosef juga menyampaikan
bahwa kebijakan yang bersifat parsial memberi peluang kepada peritel
yang tidak bergabung dengan Aprindo atau bahkan oknum kasir, untuk
mendapatkan keuntungan dengan menukar dan menjual kantong plastik.
Moderator menyimpulkan sebuah fakta yang ternyata masih kurang
disosialisasikan dan dipahami masyarakat, yang manakala dikomunikasikan
dengan benar bisa merubah dan mentransformasi pemahaman konsumen
mengenai kantong plastik tidak gratis. Selama ini kantong plastik memang
ada biayanya yang dimasukkan sebagai fixed cost ke dalam
komponen harga jual, dan ditanggung konsumen. SELAMA INI KONSUMEN
MEMBAYAR KANTONG PLASTIK. Kebijakan ini justru memberikan PILIHAN kepada
konsumen untuk membayar atau tidak membayar (jika menggunakan kantong
belanja sendiri).
Tentunya manakala kebijakan ini diberlakukan secara masif, maka peritel perlu melakukan adjustment
atau penyesuaian pada harga dengan mengeluarkan komponen harga kantong
plastik dari harga jual barang dagangan. Sementara bila kantong plastik
diperlakukan sebagai barang dagangan, maka artinya ada kewajiban pajak.
Selain itu perlu dipikirkan standar baku mengenai harga, ukuran atau
spesifikasi kantong plastik, dan berbagai detil teknis lain. Bpk. Roy
menutup statemennya dengan harapan agar keputusan atau kebijakan apapun
itu bersifat jelas, firm, dan luas, sehingga dunia ritel dapat membuat
keputusan bisnis dan menyesuaikan diri berdasarkan peraturan yang ada.
Memang pada akhirnya adalah inisiatif dari para individu dan instansi
untuk menginisiasi dan terus menggerakkan roda perubahan. Bapak Hamdi,
Kepala BLH Banjarmasin menceritakan kisas suksesnya di kota seribu
sungai, yang sayangnya merasakan dampak sampah plastik mencemari
sungai-sungainya. Beliau menyadari betul dampak dari kebijakan kantong
plastik tidak gratis tersebut sehingga begitu masa uji coba sudah
berakhir, Pemerintah Kota berinisiatif untuk membuat keputusan
lanjutannya dalam bentuk Peraturan Walikota.
Selanjutnya, Natalya Kurniawati dari YLKI melaporkan monitor dan
evaluasi masa uji coba kebijakan Kanotng Plastik Tidak Gratis ini.
Sebelumnya, ia mengharapkan Peraturan Menteri (PerMen) merupakan satu
paket lengkap dengan sosialisasi dan edukasi agar konsumen tidak merasa
terbebani manakala terpaksa membeli kantong plastik, melainkan secara
ikhlas tidak membelinya karena paham bahaya sampah plastik dan ingin
berpartisipasi terhadap pelestarian lingkungan secara nyata.
Poin penting yang disimpulkan dari hasil Survei Efektivitas Uji Coba Kebijakan Kantong Plastik YLKI:
− Kesadaran konsumen untuk lebih peduli terhadap lingkungan sudah ada, tetapi pemahaman terhadap tujuan kebijakan ini yang masih kurang.
− Kebijakan ini sejalan dengan visi green consumer yang diusung oleh YLKI demi mengampanyekan kepada konsumen agar lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik.
− Efektivitas kebijakan di lapangan walaupun sudah ada pengurangan sementara jumlah konsumsi kantong plastik, tetapi masih ada 50%-60% konsumen yang tetap menggunakan kantong plastik.
− Konsumen masih memiliki persepsi bahwa kebijakan ini kurang jelas dari segi sosialisasi, mekanisme & ketersediaan alternatif solusi bagi konsumen.
− Pemerintah agaknya masih belum siap dengan kebijakan ini melihat masih belum matangnya media dan informasi yang disampaikan ke ritel maupun ke konsumen
− Dari ritel sendiri belum siap dengan keseragaman SOP yang berlaku pada kasir, dan ketersediaan alternatif wadah belanja non plastik bagi konsumen.
Secara garis besar, kesimpulan dari YLKI adalah bahwa 66% konsumen mengetahui tujuan dari kebijakan kantong plastik berbayar, mengharapkan peritel menyediakan kantong belanja non plastik dengan harga terjangkau yakni kisaran Rp 5.000 – Rp 8.000 (direkomendasi agar peritel menerapkan standar baku untuk kantong plastik berbayar yakni harga yang standar sehingga tidak ada polemik dan take profit perbedaan harga, dan menyediakan kantong plastik putih tanpa merek, atau dengan pesan mengenai lingkungan dan bahaya sampah plastik – sama halnya seperti iklan rokok), dan mayoritas konsumen (35,3% atau peringkat pertama) menyarankan MENIADAKAN KANTONG PLASTIK SAMA SEKALI.
− Kesadaran konsumen untuk lebih peduli terhadap lingkungan sudah ada, tetapi pemahaman terhadap tujuan kebijakan ini yang masih kurang.
− Kebijakan ini sejalan dengan visi green consumer yang diusung oleh YLKI demi mengampanyekan kepada konsumen agar lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik.
− Efektivitas kebijakan di lapangan walaupun sudah ada pengurangan sementara jumlah konsumsi kantong plastik, tetapi masih ada 50%-60% konsumen yang tetap menggunakan kantong plastik.
− Konsumen masih memiliki persepsi bahwa kebijakan ini kurang jelas dari segi sosialisasi, mekanisme & ketersediaan alternatif solusi bagi konsumen.
− Pemerintah agaknya masih belum siap dengan kebijakan ini melihat masih belum matangnya media dan informasi yang disampaikan ke ritel maupun ke konsumen
− Dari ritel sendiri belum siap dengan keseragaman SOP yang berlaku pada kasir, dan ketersediaan alternatif wadah belanja non plastik bagi konsumen.
Secara garis besar, kesimpulan dari YLKI adalah bahwa 66% konsumen mengetahui tujuan dari kebijakan kantong plastik berbayar, mengharapkan peritel menyediakan kantong belanja non plastik dengan harga terjangkau yakni kisaran Rp 5.000 – Rp 8.000 (direkomendasi agar peritel menerapkan standar baku untuk kantong plastik berbayar yakni harga yang standar sehingga tidak ada polemik dan take profit perbedaan harga, dan menyediakan kantong plastik putih tanpa merek, atau dengan pesan mengenai lingkungan dan bahaya sampah plastik – sama halnya seperti iklan rokok), dan mayoritas konsumen (35,3% atau peringkat pertama) menyarankan MENIADAKAN KANTONG PLASTIK SAMA SEKALI.
Berdasarkan temuannya, YLKI memberikan rekomendasi:
− Mengacu pada UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pemerintah selaku regulator dan pelaku usaha WAJIB memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas pada konsumen terkait mekanisme kebijakan dan transparansi dana yang telah dikeluarkan konsumen untuk kantong plastik berbayar.
− Ritel seharusnya memasang media KIE di gerainya di lokasi yang strategis untuk terlihat oleh konsumen, melakukan training pada kasir, dan menyediakan alternatif kantong belanja non plastik dengan harga murah bagi konsumen, serta melakukan tanggung jawab pengelolaan sampah (Extended Producer Responsibility /EPR) dengan menarik kembali sampah kantong plastik yang berasal dari gerainya.
− Ritel dan pemerintah beralih untuk menerapkan kebijakan dalam taraf ekstrem, yaitu TIDAK LAGI MENYEDIAKAN KANTONG PLASTIK untuk mengurangi potensi sampah kantong plastik secara signifikan. Bisa dilakukan dengan mekanisme seperti car free day yg dimulai 1x per minggu ke gerai ritel yang tergabung dalam APRINDO.
− Konsumen dihimbau untuk melakukan perencanaan sebelum berbelanja dan selalu membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Melakukan 3R, dan bijak dalam menggunakan kantong plastik.
YLKI juga menghimbau KLHK melibatkan perwakilan konsumen dalam pembahasan draft PerMen dan juga road map pelaksanaannya.
− Mengacu pada UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pemerintah selaku regulator dan pelaku usaha WAJIB memberikan sosialisasi dan informasi yang jelas pada konsumen terkait mekanisme kebijakan dan transparansi dana yang telah dikeluarkan konsumen untuk kantong plastik berbayar.
− Ritel seharusnya memasang media KIE di gerainya di lokasi yang strategis untuk terlihat oleh konsumen, melakukan training pada kasir, dan menyediakan alternatif kantong belanja non plastik dengan harga murah bagi konsumen, serta melakukan tanggung jawab pengelolaan sampah (Extended Producer Responsibility /EPR) dengan menarik kembali sampah kantong plastik yang berasal dari gerainya.
− Ritel dan pemerintah beralih untuk menerapkan kebijakan dalam taraf ekstrem, yaitu TIDAK LAGI MENYEDIAKAN KANTONG PLASTIK untuk mengurangi potensi sampah kantong plastik secara signifikan. Bisa dilakukan dengan mekanisme seperti car free day yg dimulai 1x per minggu ke gerai ritel yang tergabung dalam APRINDO.
− Konsumen dihimbau untuk melakukan perencanaan sebelum berbelanja dan selalu membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Melakukan 3R, dan bijak dalam menggunakan kantong plastik.
YLKI juga menghimbau KLHK melibatkan perwakilan konsumen dalam pembahasan draft PerMen dan juga road map pelaksanaannya.
Mendengarkan penjabaran dari YLKI terutama respon positif masyarakat
terhadap kebijakan ini, Bpk. Roy dengan mantap menyatakan, kalau
demikian, sekalian saja peritel tidak menyediakan kantong plastik.
Karena sesungguhnya, penyediaan kantong plastik adalah sebagai bentuk
pelayanan/servis kepada konsumen. Manakala tidak signifikan lagi atau
justru menimbulkan banyak problema dalam pelaksanaannya yang merugikan
retailer (dianggap meraup keuntungan, harus mengubah sistem, training
pegawai, menyediakan berbagai alat peraga dan lain-lain), maka sekalian
saja ikuti rekomendasi YLKI yaitu TIDAK LAGI MENYEDIAKAN KANTONG
PLASTIK.
Respons Bpk. Roy yang tegas mengundang semangat positif dari
audiens, utamanya penggiat lingkungan.
Sesi dibuka untuk pertanyaan dan pernyataan dari audiens. Yang
pertama adalah Yudi Komarudin, pengurus Aprindo. Beliau menyampaikan uneg-uneg-nya
yaitu sepertinya hanya peritel saja yang ditargetkan dengan kebijakan
ini, padahal dalam konteks pencemaran laut, sampah yang banyak ditemukan
adalah botol minuman dan sampah plastik rumah tangga. Bagaimana
pengaturan untuk mereka dan juga pasar tradisional? Mengapa hanya retail
saja dengan kantong belanja plastik yang dibidik? Selain itu, beliau
memohon untuk sosialisasi dan edukasi PerMen, apapun itu keputusannya,
agar memiliki standar yang baku dan juga dianggarkan. Selama ini
training front liners dan promotional tools ditanggung oleh retailer, padahal industri retail sedang lesu (mengalami penurunan dari 14,5% menjadi 13,5%.)
Menanggapi hal ini, Bpk. Dirman mengatakan bahwa tujuan utama
nantinya adalah mentargetkan semua, termasuk pasar tradisional yang
menyumbangkan hampir 90% dari sampah kantong plastik. Hemat moderator,
karena Aprindo adalah asosiasi yang terstruktur dan taat sehingga lebih
mudah untuk dimonitor dan dijadikan case study. Manakala PerMen sukses, maka dapat direplikasi untuk masalah sampah plastik lainnya.
Pernyataan selanjutnya datang dari Bpk. Wartono, Asosiasi Daur Ulang
Plastik, yang menyampaikan “hitung-hitungan”nya terhadap hasil penjualan
kantong plastik. Beliau juga mengingatkan “kebohongan” daripada oxydegradable plastic bags yang dengan masa hancur lebih cepat, tetap saja terurai menjadi partikel mikro plastik yang tetap mencemari tanah dan air.
Audiens selanjutnya, masih dari Asosiasi Daur Ulang Plastik, Bpk.
Ahmad, berpesan untuk memikirkan dampak sosial bagi masyarakat yang
selama ini bergantung dengan sampah plastik. Bila industri pengrajin
sampah plastik ini hendak dimatikan, dimatikanlah secara langsung dan
tuntas, jangan dibiarkan terkatung-katung kemudian mati perlahan.
Kembali moderator menilai perlunya suatu kebijakan yang bersifat tegas,
agar semua stake holders dapat segera membuat keputusan berdasarkan
kebijakan tersebut demi kelangsungan bisnis dan semua yang
menggantungkan hidupnya pada bisnis tersebut.
Kesimpulan yang dirangkum oleh moderator adalah :
1. Semua pihak yaitu pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha retail, dan konsumen SEPAHAM dan SEVISI mengenai bahaya sampah plastik dan upaya untuk mengurangi sampah plastik.
1. Semua pihak yaitu pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha retail, dan konsumen SEPAHAM dan SEVISI mengenai bahaya sampah plastik dan upaya untuk mengurangi sampah plastik.
2. Berangkat dari pemahaman yang sepakat tersebut, sekarang yang penting
dilakukan adalah PERUMUSAN kebijakan selanjutnya yang dalam hal ini
berbentuk Peraturan Menteri (PerMen) yang diharapkan menghasilkan WIN-WIN SOLUTION bagi semua stakeholders,
termasuk peritel modern yang saat ini memang sedang lesu. Karena walau
target utama adalah pelestarian lingkungan, tidak dapat ditampik bahwa
kebijakan yang memajukan industri ritel akan turut meningkatkan
perekonomian bangsa.
Yang diharapkan daripada perumusan kebijakan tersebut:
− SCOPE atau cakupan kebijakan bersifat menyeluruh (nasional) poin ini telah disepakati dan menjadi bagian daripada draf PerMen.
− PRICE atau harga kantong plastik yang bersifat baku agar tidak memberikan peluang bagi oknum untuk take profit dari perbedaan harga ataupun peluang konsumen untuk menyerang peritel dengan membandingkan harga.
Menghimbau peritel untuk menyediakan alternatif kantong belanja dengan harga terjangkau.
− Mengundang stakeholders dalam penjabaran PerMen ini.
− Memikirkan DAMPAK SOSIAL seperti pada asosiasi daur ulang sampah plastik yang mempekerjakan pemulung dan pengrajin yang selama ini mengolah sampah plastik
− ENFORCEMENT. Penalti manakala ada peritel yang memberikan kantong plastik secara cuma-cuma. Untuk ini, peritel harus dapat bekerja sama dalam hal PELAPORAN.
− PRICE atau harga kantong plastik yang bersifat baku agar tidak memberikan peluang bagi oknum untuk take profit dari perbedaan harga ataupun peluang konsumen untuk menyerang peritel dengan membandingkan harga.
Menghimbau peritel untuk menyediakan alternatif kantong belanja dengan harga terjangkau.
− Mengundang stakeholders dalam penjabaran PerMen ini.
− Memikirkan DAMPAK SOSIAL seperti pada asosiasi daur ulang sampah plastik yang mempekerjakan pemulung dan pengrajin yang selama ini mengolah sampah plastik
− ENFORCEMENT. Penalti manakala ada peritel yang memberikan kantong plastik secara cuma-cuma. Untuk ini, peritel harus dapat bekerja sama dalam hal PELAPORAN.
3. Semua stakeholder menginginkan kebijakan dan penerapannya yang bersifat ALL OR NOTHING.
Maksudnya agar pemerintah tegas memutuskan dan konsekuen mengeksekusi
kebijakan agar tidak bersifat tebang pilih dan dapat dijadikan model case untuk industri lain dengan masalah sampah plastik.
4. EDUKASI dan SOSIALISASI yang bersifat seragam dan DIANGGARKAN.
Adanya panduan yang baku namun fleksibel untuk disampaikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal, tanpa mengurangi inti daripada pesan kantong plastik tidak gratis tersebut.
Panduan yang dimaksud adalah penjelasan kepada konsumen (lisan serta tulisan pada poster yang dipasang disetiap kasir) mengenai, antara lain:
− Menanyakan apakah konsumen membawa kantong belanja sendiri.
− Apresiasi kepada konsumen yang menggunakan kantong belanja dan mempertegas aksi tersebut membantu mengurangi sampah plastik.
− Bila tidak membawa kantong belanja sendiri, menawarkan kantong belanja yang dijual dan penghematan yang dilakukan konsumen untuk jangka yang lebih panjang.
− Bila konsumen tetap ingin membeli kantong plastik, menjelaskan mengenai bahaya sampah plastik, dan mengingatkan untuk membawa kantong belanja sendiri lain kali berbelanja.
− Menjelaskan bahwa harga kantong plastik itu bukanlah keuntungan bagi peritel, melainkan kantong plastik dianggap sebagai barang dagangan.
Perumusan panduan dapat dibantu oleh GIDKP dimana salah satu dari ketiga pilarnya adalah edukasi (mengajak masyarakat untuk bijak dalam menggunakan kantong plastik).
Sebagai perpanjangan dari sosialisasi dan edukasi, peritel dapat membuat program promosi di toko seperti gift with purchase atau customer appreciation programme dengan memberikan kantong belanja special edition.
Adanya panduan yang baku namun fleksibel untuk disampaikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal, tanpa mengurangi inti daripada pesan kantong plastik tidak gratis tersebut.
Panduan yang dimaksud adalah penjelasan kepada konsumen (lisan serta tulisan pada poster yang dipasang disetiap kasir) mengenai, antara lain:
− Menanyakan apakah konsumen membawa kantong belanja sendiri.
− Apresiasi kepada konsumen yang menggunakan kantong belanja dan mempertegas aksi tersebut membantu mengurangi sampah plastik.
− Bila tidak membawa kantong belanja sendiri, menawarkan kantong belanja yang dijual dan penghematan yang dilakukan konsumen untuk jangka yang lebih panjang.
− Bila konsumen tetap ingin membeli kantong plastik, menjelaskan mengenai bahaya sampah plastik, dan mengingatkan untuk membawa kantong belanja sendiri lain kali berbelanja.
− Menjelaskan bahwa harga kantong plastik itu bukanlah keuntungan bagi peritel, melainkan kantong plastik dianggap sebagai barang dagangan.
Perumusan panduan dapat dibantu oleh GIDKP dimana salah satu dari ketiga pilarnya adalah edukasi (mengajak masyarakat untuk bijak dalam menggunakan kantong plastik).
Sebagai perpanjangan dari sosialisasi dan edukasi, peritel dapat membuat program promosi di toko seperti gift with purchase atau customer appreciation programme dengan memberikan kantong belanja special edition.
5. Harapan ke depan agar kebijakan ini tidak hanya ditargetkan pada
ritel modern yang sesungguhnya hanya menyumbang kurang dari 10% kantong
plastik, melainkan kepada pasar tradisional yang adalah penyumbang
terbesar sampah plastik.
Diharapkan bila diterapkan secara masif dan konsisten, maka
resistensi akan semakin kecil. Manakala sudah menjadi peraturan yang di-enforce
secara tegas, maka masyarakat pasti akan mengikuti, sama halnya seperti
saat kita ke Singapura dan tidak membuang sampah sembarangan, atau
membayar reusable plastic packaging saat take away
makanan di Australia. Banyak negera sukses menerapkan peraturan yang
akhirnya membentuk kebiasaan penduduknya. Indonesiapun bisa. Dan
manakala kebijakan kantong plastik tidak gratis sukses diberlakukan,
akan menjadi tonggak membanggakan bagi Indonesia yang sebelumnya
terpuruk sebagai negara penghasil sampah plastik, menjadi success story.
Dialog ditutup dengan ucapan terima kasih kepada moderator dan
narasumber oleh Bapak Sudirman dengan memberikan tas daur kriya yang
terbuat dari spanduk bekas dan sesi foto bersama. Media yang hadir
melanjutkan mewawancarai para narasumber dengan antusias, dan berbagai feedback
dari audiens menunjukkan semangat yang positif terhadap kelanjutan
kebijakan kantong plastik. Mari kita nantikan dan dukung PerMen serta
berbagai upaya yang ada guna mencapai Indonesia Bebas Sampah 2020.
*penulis adalah presenter, penulis buku, relawan, dan Duta Diet Kantong Plastik.
Sumber Artikel: WebSite GIDKP
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar