LSM Green Indonesia Foundation [dok.Asrul] |
Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power). Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut yaitu:
Pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya. Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operative ventures) dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolatif) serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.
Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi “sokoguru masyarakat" (civil society). Dan apa yg disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yg dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP, Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association).
David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM. Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare" . LSM generasi ini memfokuskan kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yg menyandang masalah sosial.
Generasi kedua, memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM di sini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek2 pengembangan masy. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development. Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu masyarakat memecahkan masalah mereka, misal program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan dan lain-lain. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan Ikannya!"
Generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai kiblat saja dari masalah regional atau nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan kalau ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM generasi ini disebut sebagai "sustainable system development".
Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. Visi dasarnya adalah cita2 terciptanya dunia baru yg lebih baik. Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan bukan organisasi yang terstruktur.
Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui perspektif sejarah dan mengacu pada pembagian generasi di atas, ada yang berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia telah ada sejak pra-kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama).
Tahun 50-an tercatat muncul LSM yg kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah, dua pelopornya misal LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial.
Tahun 60-an lahir beberapa lembaga yg bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan. Pendekatan dengan proyek-proyek mikro menjadi ciri utama masa ini, terutama yang menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan. Pada kurun waktu ini pula lembaga-lembaga ini merintis jaringan kerjasama nasional misal lahir Yayasan Sosisal Tani Membangun yg kemudian berkembang menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.
Ciri LSM yg muncul dan berkembang pada th 70-an merupakan fenomena yang unik. Ini dipengaruhi oleh ORBA. LSM merupakan reaksi sebagian anggota masyarakat atas kebijakan pembangunan yang ditempuh saat itu. Dasar penggeraknya adalah motivasi untuk mempromosikan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Meski juga berorientasi pada proyek mikro, juga mengaitkan persoalan kebijaksanaan pada tingkat makro, Contohnya LSM yang lahir pada generasi ini adalah LBH, YLKI, LP3ES.
Sejak masa itu sampai kini, perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat. Visi, misi, pendekatan dan isu beragam. Perkembangan LSM tidak bisa lagi dilihat secara linier dan mengikuti urutan waktu generasi per generasi.
Perjalanan LSM di Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang merupakan terjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu lembaga bisnis (swasta), organisasi profesi, klub olah raga, kelompok artis, jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semua organisasi yang bukan pemerintah. Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi tatanan sosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing memperjuangkan kepentingannya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil).
Segala sesuatu dimulai dari masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi, adanya kesan dan anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi negatif seakan-akan melawan pemerintah (jaman ORBA alergi sekali dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah). Di lain pihak, dalam kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini dilandasi oleh suatu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan membangun kesadaran, tidak semata-mata "bukan pemerintah/non government". Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya menimbulkan perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism", sedangkan LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang dibangun oleh LSM bukan "non kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi LSM sesungguhnya telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar. Formalisasi kemudian dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun 1982 ttg pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian diatur pula dgn UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan, dan Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan : "Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan Hidup", sedangkan dalam penjelasannya LSM mencakup antara lain:
a. Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan
b. Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya
c. Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.
Batasan, fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan pengertian aslinya (dalam arti NGO) menjadi teredusir. Karena keberadaan LSM terutama saat ORBA sarat dgn intervensi pemerintah maka ada beberapa LSM yg kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk Yayasan, karena Yayasan lebih fleksibel.
Dalam PBB, sejak tahun 1970-an, NGO memperoleh status resmi (consultative status). NGO juga mempunyai kode etik yang berlaku secara internasional. Sampai sekarang hampir semua kesempatan dalam pertemuan delegasi NGO berhak hadir dengan suara penuh/disediakan forum2 khusus untuk NGO. Kehadiran NGO dalam sistem PBB ini telah pula dilembagakan secara permanen, di bawah UNDP, di sebut NGO Forum, di Indonesia NGO Forum ini mungkin karena kekaburan makna dan keunikan LSM kita, sering menjadi olok-olok "Gongo" (Government NGO), atau LSM-LSM plat merah.
Perkembangan selanjutnya di Indonesia, UU No. 4 tahun 1982 digantikan oleh UU No. 23 tahun 1997 , UU ini tidak menjelaskan definisi LSM (tapi paling tidak UU ini mengakui environment legal standing) sementara itu UU. No. 8 tahun 1985 telah dicabut diganti dgn UU politik Dji Sam Soe/No. 2, 3, 4 yg tdk memuat mengenai LSM (jadi untuk sementara ini, LSM diatur dgn Inmendagri, tapi logikanya Inmendagri ini juga tidak berlaku karena peraturan yg di atasnya telah dicabut) dan kemudian di era Reformasi bentuk Yayasan pun mulai diintervensi pemerintah dengan dikeluarkannya UU Yayasan.
Ada suatu wacana menarik bahwa kemudian NGO merupakan alat bagi neo liberalism, memang bisa saja neo liberalism beroperasi dalam dua lini: ekonomi dan budaya politik, dua level: rezim dan rakyat kelas bawah. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali pihak berduit/pihak asing yang tertarik mendanai kegiatan-kegiatan yang dilakukan NGO di Indonesia dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Yang perlu menjadi catatan penting adalah sejauh mana tingkat independensi dan bargaining posisition terhadap penyandang dana, terlebih lagi evaluasi kerja LSM dilakukan mereka. Dan bagaimana pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat, jadi masyarakat sendirilah yang menilai keberadaan LSM di tengah-tengah mereka. Jangan kaget kalau suatu saat ada elemen masyarakat yang berkata LSM itu Lembaga Suka Menipu, dan lain-lain. Hal itu merupakan serangkaian pengalaman yang dialami masyarakat, karena ada LSM yang menyelewengkan dana JPS misalnya.
Melihat sejarah dan fenomena tentang LSM di atas, mari kita cermati kembali bagaimanakah LSM yang ada saat ini?
sumber:
Oleh: Dyah Paramita
Soloraya.Net
Best regards,
Owner TrashGoogleBlogs
Print this page
0 komentar :
Posting Komentar